A.
Bangsa
Arab sebagai Ras Semit dan Semenanjung Arab sebagai Tempat Kelahirannya
Bangsa Semit pada awalnya membangun peradaban di Mesopotamia dan Syria,
kemudian perlahan-lahan mereka kehilangan dominasi politik mereka disebabkan
serangan dari bangsa nomad Semit dan bangsa non Semit. Bangsa Aram, Akkadia,
Asiria, dan Minean berbicara dalam bahasa yang hampir sama dengan bahasa Semit.
Bangsa Semit kehilangan kekuasaannya tepat pada serangan Persia dan kedatangan
bangsa Yunani pada 330 SM.
Setelah penyerangan itu, bangsa Semit menyebar ke segala bagian.
Kebanyakan dari suku bangsa ini berpindah ke daerah selatan dan daerah utara,
di mana bangsa Arab akan berkembang di sana. Bangsa Arab di utara membangun
sebuah peradaban yang dinamakan peradaban Arab Nabatea. Kemudian, Arab bagian
Selatan membentuk kafilah-kafilah yang tersebar. Kafilah-kafilah ini kemudian
membentuk sebuah kerajaan di daerah Yaman, yang disebut oleh bangsa Yunani
sebagai Arabia Felix yang berarti "kawasan Arab yang beruntung".[1]
Semenanjung Arab merupakan
semenanjung barat daya Asia, sebuah semenanjung terbesar dalam peta dunia.
Wilayahnya memiliki luas 1.745.900 km2.[2]
Jazirah Arab menjelang kelahiran Islam diapit oleh dua kerajaan besar,
yaitu kerajaan Romawi Timur di sebelah barat dan kerajaan Persia di sebelah timur.
Membicarakan wilayah geografis bangsa Arab sebelum Islam hanya terbatas pada Jazirah
Arab.[3]
Jazirah Arab artinya “pulau Arab”. Jazirah Arab berbentuk empat persegi panjang
yang sisinya tidak sejajar, di sebelah barat berbatas dengan Laut Merah, di
sebelah selatan dengan Laut India, di sebelah timur dengan Teluk Arab (Persia),
dan di sebelah utara dengan gurun (padang pasir) Irak dan Syria.[4]
Jazirah Arab ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian tengah dan bagian
pesisir (bagian tepi). Bagian tengah terdiri dari padang pasir Sahara yang
memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda yang kemudian dibagi menjadi 3
bagian:[5]
1.
Sahara
Langit, memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke
barat, disebut juga Sahara Nufud, oase dan mata air sangat jarang dan daerahnya
berdebu.
2.
Sahara
Selatan yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan
Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus dan pasir
bergelombang, disebut al-Rub al-khali (bagian yang sepi)
3.
Sahara
Harrat, daerah yang bertanah liat dan berbatu hitam.
Sebagian ilmuan membagi Jazirah Arab
bagian tengah ini menjadi dua bagian, bagian utara disebut Nejed dan bagian
selatan disebut al-Ahkab (al-Rub al-khali). Jazirah Arab bagian
tengah kebanyakan bersuku Badui yang nomadik, yaitu berpindah dari suatu daerah
ke daerah lain guna mencari air dan rumput untuk binatang gembalaannya. Jazirah
Arab bagian pesisir mempunyai curah hujan yang teratur, oleh karena itu
penduduknya tidak mengembara, tetapi menetap. Mereka mendirikan kota-kota dan
kerajaan sehingga membentuk sebuah kebudayaan. Mereka disebut ahl
al-hadharah. Pada bagian tepi ini terdapat kota-kota dan kerajaan-kerajaan
seperti al-Ansa (Bahrain), Oman, Mahra, Hadramaut, Yaman dan Hijaz. Di bagian
tepi sebelah utara pernah berdiri kerajaan yang bernama Hirah dan Gassasinah.
Keadaan alam Arab bagian tengah
kejam dan mengerikan, hawanya kering dan tanahnya mengandung garam, tidak
didapati satu sungai pun yang berarti yang terus menerus mengalir dan bermuara
ke laut, dan tidak ada satupun sungai-sungai yang dapat diarungi. Sebagai
gantinya adalah wadi, wadi hanya ada selama hujan turun, manfaat lain dari wadi
adalah sebagai jalan bagi kafilah-kafilah dan orang-orang yang pergi melakukan
haji.[6]
Bangsa Arab termasuk rumpun bangsa Semit
(Samiyah), mereka keturunan Syam bin Nuh. Selain bangsa Arab, dalam rumpun
bangsa Semit itu terdapat juga bangsa Asyuria, Babilonia, Phunisia dan Ibrani.
Secara garis besar, penduduk Jazirah Arab terbagi kepada dua bagian, yaitu al-Arab
al-Baidah (Arab baidah) dan al-Arab al-Baqiyah (Arab Baqiyah). Arab
Baidah adalah kabilah-kabilah terdahulu dan telah punah jauh sebelum Islam,
mendiami Jazirah Arab sebelah Utara. Kabilah-kabilah mereka yaitu “’Ad, Tsamud,
‘Amaliqah, Yudisa dan Amien. Arab Baqiyah terbagi kepada dua golongan, Arab ‘Aribah
(al-Qahthaniyah) dan Arab Musta’rabah (al-Adnaniyah). Arab ‘Aribah
mendiami daerah Yaman yang terdiri dari beberapa suku seperti Jurhum, Kahlan
dan Himyar. Sedangkan Arab Musta’rabah adalah keturunan dari Nabi Ismail yang
melahirkan suku Quraisy.[7]
Dari segi territorial, penduduk
Jazirah Arab terbagi kepada dua bagian, yaitu penduduk kota (ahl al-hadharah)
dan penduduk pedalaman (badui). Mata pencaharian penduduk kota adalah berdagang
dan bercocok tanam, kafilah perdagangan dari kota Mekah menjadi penghubung bagi
hasil-hasil perdagangan antara dunia timur dan barat. Sedangkan penduduk badui
hidupnya nomaden, tidak mempunyai perkampungan yang tetap, berpindah-pindah
mencari oase dan mata pencaharian mereka berternak.
B.
Arab
Utara dan Arab Selatan serta Kerajaan-kerajaannya
Berdasarkan wilayah geografisnya bangsa
Arab dibagi kepada Arab Selatan dan Arab Utara. Orang-orang Arab Utara
kebanyakan merupakan orang-orang nomad yang tinggal di “rumah-rumah bulu” di Hijaz
dan Nejed. Dan orang Arab Selatan kebanyakan adalah orang-orang perkotaan yang
tinggal di Yaman, Hadramaut dan di sepanjang pesisirnya. Orang Arab Utara
berbicara dengan bahasa yang sama dengan bahasa al-Qur’an, bahasa Arab paling
unggul, sementara orang Arab Selatan menggunakan bahasa Semit kuno, Sabea atau
Himyar yang dekat dengan bahasa Etiopia di Afrika.[8]
Orang Arab terdahulu, baik Arab Utara
maupun Arab Selatan telah menjalin hubungan internasional berupa hubungan
perdagangan dengan Mesir, Sumeria, Babilonia dan Assyiria, karena Arab terkenal
dengan hasil buminya berupa rempah-rempah dan wewangian.
1.
Saba’ dan Negeri-negeri lainnya di Arab Selatan
Orang-orang
Saba adalah bangsa Arab pertama yang melangkah menuju pintu peradaban. Mereka
menempati posisi penting sebagaimana terungkap dalam tulisan-tulisan kuno yang
muncul belakangan. Ujung barat daya semenanjung merupakan tempat tinggal
orang-orang Saba.
Kesuburan
tanah yang mendapatkan curah hujan yang cukup, kedekatannya dengan laut dan
posisinya yang strategis di jalur perjalanan menuju India menjadi faktor
penentu perkembangan negeri itu.
Orang-orang
Saba adalah orang Phoenisia dari laut selatan, mereka mengenal rute perjalanan,
karang dan pelabuhannya, menguasai pergantian musim yang tidak stabil dan
memenopoli perdagangan selama satu seperempat abad terakhir sebelum masehi.
Perdagangan merupakan indeks keberhasilan utama yang dicapai oleh orang-orang
Arab Selatan. Kerajaan-kerajaan yang
mereka bangun bukanlah kerajaan militer.
Beberapa
ilmuan telah melakukan penelitian ke Arab Selatan dan menemukan banyak
tulisan-tulisan di sana sebagai bukti telah majunya peradaban di sana. Bahasa
Arab Selatan atau bahasa Minea-Saba (di sebut juga bahasa Himyar) memiliki 29
huruf alfabet. Namun, dengan menurunnya kebudayaan Yaman, bahasa Arab Selatan
juga menghilang dan digantikan oleh bahasa Arab Utara.
Sejarah
kerajaan-kerajaan yang terdapat di Arab selatan pada zaman kuno, dapat dilihat
secara umum sebagai berikut:
a. Kerajaan Saba (750-115 S.M)
Kerajaan
Saba dan Minea merupakan kerajaan pertama yang berhasil diketahui keduanya
hidup pada masa yang sama dalam beberapa abad. Kedua kerajaan itu pada awal
berdirinya merupakan kerajaan teokrasi dan kemudian berubah menjadi kerajaan
sekuler. Tanah air orang Saba terletak di sebelah selatan Najran di daerah
Yaman. Sirwah adalah ibu kota Saba. Bangunan utamanya adalah kuil al-Maqoh sang
dewa bulan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Minea-Saba (bahasa Himyar).
b.
Kerajaan Minea, Qathaban, dan Hadramaut
Kerajaan
Minea (750-115 S.M) berkembang di Jawf, Yaman, dan pada masa keemasanya wilayah
kerajaan itu meliputi sebagian besar kawasan Arab Selatan. Ibu kotanya adalah Qarnao,
kini disebut kota Ma’in. Orang-orang Minea berbahasa sama dengan orang-orang
Saba dengan sedikit perbedaan dialek.
Selain
kerajaan Minea dan Saba, dua kerajaan penting lainnya yang muncul di wilayah
ini adalah Qathaban dan Hadramaut. Negeri Qataban terletak di sebelah timur ‘Adan
yang kini berada di sekitar Hadramaut. Kerajaan monarki Qataban (400-50 S.M),
yang beribu kota di tamna’ (kini bernama kuhlan). Kerajaan monarki Hadramaut (Abad
ke-5-1 S.M), beribu kota Syabwah (pada masa lalu disebut Sabota).
Kerajaan-kerajaan itu selama beberapa waktu berada di bawah kerjaan Saba dan
Minea.
c. Kerajaan Himyar I (115 S.M-78 S.M)
Pada
periode pertama Himyar ini, semua kerajaan-kerajaan jatuh ke tangan suku
Himyar, puncak kejayaan orang-orang Arab Selatan telah berlalu. Ketika
orang-orang Yaman memonopoli rute perdagangan di laut tengah, mereka berkembang
menjadi bangsa yang makmur, tapi kini kendali tersebut lepas dari genggaman
mereka. Orang-orang Romawi mulai masuk ke Laut India dan daerah Arab Selatan,
mereka membeli rempah-rempah hingga
berhasil memonopoli perdagangan di sana. Ini menyebabkan berakhirnya kemakmuran
orang-orang Arab Selatan, karena kemunduran ekonomi mengakibatkan kehancuran
politik.
d. Kerajaan Himyar ke Dua (78 S.M-525 M)
Sekitar
300 M. Gelar-gelar raja di Arab Selatan berubah menjadi raja penguasa Saba, Dzu- Raydan, Hadramaut, dan Yamanat.
Hal ini menunjukkan bahwa pada masa ini Hadramaut telah kehilangan
independensinya. Raja-raja Himyar kembali menggunakan gelar-gelar mereka yang
panjang dan mempertahankan kekuasaannya hingga 525 M.
Agama
di Arab selatan pada dasarnya adalah sebuah sistem perbintangan yang memuja dan
menyembah dewa bulan. Bulan dianggap sebagai dewa laki-laki dan kedudukannya
lebih tinggi dari matahari, Syams, yang merupakan pasangannya. Agama yahudi
juga tersebar di Yaman pada masa pemerintahan Himyar. Dari sanalah kemungkinan
awal penyebarannya ke Arab Utara.
e. Periode kekuasaan Abessinia (525-571 M)
Meski
orang-orang Abessinia pada awalnya datang sebagai penolong, tetapi pada
akhirnya mereka berposisi sebagai bangsa penakluk. Orang-orang Abessinia
kristen jelas berhasrat untuk mengkristenkan negeri itu dan menyaingi
masyarakat Pagan di Mekkah, yang saat itu menjadi pusat ibadah haji di utara. Kota
Mekah diincar karena ibadah haji saat itu menjadi sumber pendapatan terbesar
bagi penduduknya.
Salah
satu peristiwa penting yang terjadi pada periode itu adalah jebolnya bendungan
besar Ma’rib yang disebabkan oleh banjir besar, peristiwa tragis yang disebutkan dalam al-Qur’an (Q.S 34:19)
itu diperkirakan terjadi antara 542-570 M.[9]
Lalu serangan ke ka’bah juga dipimpin oleh raja kerajaan ini, Abrahah dengan
pasukan bergajahnya pada tahun 571 M , tepat waktu kelahiran nabi Muhammad SAW.
2.
Kerajaan Nabasia dan Kerajaan Kecil lainnya di Arab Utara
dan Tengah
Kerajaan-kerajaan Arab Utara ini secara umum mendapatkan kekuatan mereka
berkat perdagangan dan sama sekali bukan karena kekuatan militer, baik saat
berdirinya maupun pada masa perkembangannya.
a. Kerajaan Nabasia (312 SM- 105 M)
Nabasia
merupakan kerajaan paling awal di Arab Utara. Selama periode empat ratus tahun,
yang dimulai dari penghujung abad ke-4 SM, Petra menjadi kota kunci dalam rute
perjalanan kafilah antara Saba dan Mediterania.
Meskipun
bahasa Arab menjadi bahasa percakapan mereka sehari-hari, orang-orang Nabasia
mengunakan huruf Aramaik yang dipakai oleh tetangga mereka di sebelah utara.[10]
Sepanjang
dua abad pertama masehi, ketika perdagangan dari utara ke selatan bergerak
lebih ke timur mengikuti rute perjalanan ibadah haji dan jalur kereta api di
Hijaz, Petra kehilangan posisi pentingnya dan pamor kerajaan Nabasia mulai
menurun.
b. Kerajaan Palmyra (+42 SM-272 M)
Palmyra
(bahasa Arab: Tadmur) adalah kota yang reruntuhannya saat itu menjadi sisa
peninggalan zaman kuno yang paling menakjubkan tapi paling sedikit dipelajari.
Terletak di antara dua kerajaan yang selalu bersaing, yaitu Persia dan Romawi,
keamanan Palmyra bergantung pada upaya untuk mempertahankan keseimbangan antara
dua kekuatan itu dan tetap bersikap netral.
Peradaban
Palmyra merupakan perpaduan menarik antara unsur-unsur budaya Yunani, Suriah,
dan Persia (Iran). Ia bukan saja penting pada dirinya sendiri, tetapi juga
memberikan gambaran tentang ketinggian budaya yang bisa dicapai orang-orang
Arab gurun. Orang-orang Palmyra merupakan keturunan asli Arab, ini terlihat
jelas dari nama-nama mereka dan seringnya bahasa Arab digunakan dalam tulisan-tulisan mereka. Bahasa yang mereka
gunakan adalah dialek Aramaik Barat yang mirip dengan Aramaik Nabasia dan
Mesir.
c.
Kerajaan Gassan (+Abad ke-3 M-636 M)
Orang-orang
Gassan mengklaim sebagai keturunan bangsa Arab Selatan kuno, yang sebelumnya
dipimpin oleh ‘Amr Muzayqiya Ibn Amir Ma’al Sama’ yang diriwayatkan melarikan
diri dari Yaman ke Hauran dan Al-Balqo’ menjelang akhir abad ke-3 Masehi saat
bendungan Ma’rib jebol. Jafna, anak laki-laki ‘Amr, dipandang sebagai pendiri
dinasti tersebut. Kerajaan Gassan mencapai kejayaannya selama abad ke-6 M, di
bawah kepemimpinan al-Harits dan anaknya al-Munzir.
Tingkat
budaya yang dicapai oleh orang-orang Gassan lebih tinggi dari pencapaian budaya
musuhnya di perbatasan Persia yaitu kerajaan Lakhmi. Muncul sebuah peradaban
baru di sepanjang perbatasan timur Suriah yang merupakan perpaduan antara unsur
budaya Arab, Suriah, dan Yunani. Sejumlah penyair Arab pra Islam mendapatkan
dukungan penuh dari raja kecil Gassan.
d. Kerajaan Lakhmi (226 M-633M)
Berdiri
pada abad ke-3 M dengan ibu kota pemerintahannya Hirah. Masa pemerintahan yang
paling terkenal dalam catatan sejarah kerajaan Lakhmi adalah masa Munzir (Awal
abad ke-6 M). Ia merupakan duri bagi Suriah Romawi. Pengaruh kerajaan Romawi
masuk ke kerajaan ini, baik budayanya ataupun agama kristennya.
Peradaban
Arab di Hirah, yang berhadapan dengan Persia, tidak mencapai tingkat peradaban
setinggi peradaban Arab di Petra, Palmyra dan Gassan yang berada di bawah
pengaruh Suriah dan Bizantium. Orang-orang Arab dan Hirah sehari-harinya
berbicara dalam bahasa Arab, tetapi menggunakan tulisan Suriadh seperti halnya
orang-orang Nabasia dan Palmyra yang berbicara bahasa Arab dan menulis dalam
bahasa Aramaik.
e. Kerajaan Kindah (Abad ke-4-529 M)
Sementara
kerajaan Gassan menjadi sekutu Bizantium dan kerajaan Lakhmi menjadi sekutu
Persia, raja-raja Kindah di Arab Tengah menjalin hubungan dengan raja Tubba’
terakhir di Yaman. Di kawasan semenajung, mereka adalah satu-satunya penguasa
yang menerima gelar Malik (raja), gelar yang biasanya ditujukan oleh bangsa
Arab pada para penguasa asing. Mereka berasal dari Arab Selatan, dan menjelang
masa kelahiran Islam mendiami kawasan sebelah barat Hadramaut.
Kemunculan
Kindah, dianggap menarik tidak hanya karena sejarahnya sendiri, tetapi juga
menggambarkan upaya pertama orang-orang Arab untuk menyatukan sejumlah suku ke
dalam sebuah kepemimpinan tunggal yang terpusat.
C.
Hijaz
Menjelang Kelahiran Islam
Secara umum, sejarah Arab terbagi ke
dalam tiga periode utama:[11]
1.
Periode
Saba-Himyar, yang berakhir pada awal abad keenam Masehi.
2.
Periode
Jahiliah, yang dalam satu segi dimulai dari "penciptaan Adam" hingga
kedatangan Muhammad, tetapi secara lebih khusus meliputi kurun satu abad
menjelang kelahiran Islam.
3.
Periode
Islam, sejak kelahiran Islam hingga masa sekarang.
Istilah Jahiliah, yang biasanya
diartikan sebagai "masa kebodohan" atau "kehidupan
barbar", sebenarnya berarti bahwa ketika itu orang-orang Arab tidak
memiliki otoritas hukum, nabi, dan kitab suci. Pengertian itu dipilih karena
kita tidak bisa mengatakan bahwa masyarakat yang berbudaya dan mampu baca tulis
seperti masyarakat Arab Selatan disebut sebagai masyarakat bodoh dan barbar.
Berbeda dengan orang-orang Arab
Selatan, sebagian besar masyarakat Arab Utara, termasuk Hijaz dan Nejed,
adalah masyarakat nomad. Sejarah orang-orang badui pada dasarnya dipenuh dengan
kisah peperangan gerilya, yang disebut dengan ayyaam al-‘Arab (hari-hari
orang Arab). Selama periode itu sering terjadi berbagai serangan dan
perampokan, tanpa pertumpahan darah. Masyarakat yang bermukim di Hijaz dan
Nejed tidak dikenal sebagai pemilik peradaban yang maju. Karenanya, keadaan
mereka berbeda dengan tetangga dan kerabat mereka, yaitu orang-orang Nabasia,
Palmyra, Gassan dan Lakhmi.
Sumber-sumber yang menjelaskan
periode ini, karena orang-orang Arab Utara tidak punya budaya tulis, hanyalah
riwayat, legenda, peribahasa, dan terutama syair. Orang-orang Arab Utara baru
mengembangkan budaya tulis menjelang masa Muhammad.
Namun, orang Arab sebelum Islam
memang tidak mempunyai kebiasaan menulis sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah
disimpan di dalam ingatan mereka, bukan (hanya) karena mereka buta aksara, akan
tetapi juga karena mereka beranggapan bahwa kemampuan mengingat lebih
terhormat. Semua peristiwa sejarah diingat dan diceritakan berulang-ulang.[12]
Istilah orang-orang Arab, seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, dalam pengertiannya yang luas meliputi semua
penduduk di Semenanjung Arab. Dalam pengertian sernpit, kata itu merujuk pada
orang-orang Arab Utara, yang tidak menonjol dalam percaturan internasional
hingga munculnya kekuatan Islam. Sama halnya, yang disebut bahasa Arab adalah
bahasa Himyar-Saba, juga dialek Hijaz sebelah utara,
tetapi karena yang terakhir menjadi bahasa agama Islam dan sepenuhnya
menggantikan dialek Yaman sebelah selatan, maka ia menjadi bahasa Arab yang
diakui. Karena itu, ketika kita menyebut orang-orang Arab dan bahasa Arab, maka
yang kita maksudkan adalah orang-orang Arab Utara dan hahasa Arab al-Qur’an.[13]
Salah satu fenomena sosial yang
mengejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan
sebutan “Hari-hari orang Arab” (Ayyaam al-‘arab). Ayyaam al-‘arab merujuk
pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar
hewan ternak, padang rumput atau mata air.
Diantara peperangan yang terkenal
adalah perang Bu'ats (Fijar), yang berlangsung antara dua suku bertetangga di
Madinah, yaitu Aws dan Khazraj, perang Basus (Abad ke-5 M) antara Banu Bakr dan
Banu Taghlib, dan perang Dahis dan al-Ghabra, yang
menjadi salah satu peristiwa paling terkenal dari periode jahiliah.
- Syair
sebagai Ciri Khas dan Catatan Sejarah Bangsa Arab
Bangsa Arab adalah bangsa yang
memiliki apresiasi paling besar terhadap kata-kata. Kita sulit menemukan bahasa
yang mampu mempengaruhi pikiran para penggunanya sedemikian dalam selain bahasa
Arab. Ritme, bait syair, dan irama bahasa itu
memberikan dampak psikologis kepada mereka, layaknya hembusan "sihir yang
halal" (sihr halal).
Satu-satunya keunggulan artistik masyarakat
Arab pra-Islam adalah dalam bidang puisi. Pada bidang itulah rnereka menuangkan
ekspresi estetis dan bakat terbaiknya. Kecintaan orang-orang badui terhadap
puisi merupakan salah satu aset kultural mereka. Seperti yang telah menjadi
ciri khas rumpun Semit, Watak seni mereka dituangkan ke dalam satu media:
ungkapan. Jika orang-orang Yunani mengungkapkan daya seninya terutama dalam
bentuk patung dan arsitektur, orang-orang Arab menuangkannya dalam bentuk
syair (qashidah) dan orang-orang Ibrani dalam bentuk lagu-lagu keagamaan
(psalm), sebuah bentuk ungkapan estetis yang lebih halus. “Keelokan seseorang”,
demikian menurut peribahasa Arab, "terletak pada kefasihan lidahnya”. “Kebijakan”,
menurut peribahasa yang muncul belakangan, “muncul
dalam tiga hal: otak orang Prancis, tangan orang Cina, dan lidah orang Arab.”
Tidak banyak prosa yang bisa
ditemukan pada zaman jahiliah karena belum berkembangnya sistem tulisan secara
penuh. Namun ada beberapa prosa berupa legenda dan riwayat, yang kemudian
dihimpun pada masa Islam. Kisah-kisah itu kebanyakan terkait dengan geneologi (ansab)
dan peperangan antar suku, yaitu Ayyaam al-Arab. Karya Ibn Durayd, Kitab
al-Isytiqaq dan karya ensiklopedis abu
al-Faraj al-Ishfahani (w. 967 M) yang berjudul Kitab
al-aghani (buku lagu-lagu) memuat sebagian besar data yang bernilai tentang
geneologi.
Pada masa ini, puisi merupakan satu-satunya
sarana ekspresi sastra. Qashidah (puisi liris) mewakili satu-satunya
jenis penyusunan puisi. Muhalhil (w. t 531), dipandang sebagai orang pertama yang menyusun jenis
puisi liris ini. Jenis puisi ini berkembang dalam kaitannya dengan Ayyam
al-Arab, terutama di kalangan suku
Taghlib dan Kindah. Imru' al-Qays (w. t
540), berasal dari suku Kindah Arab
Selatan, meskipun merupakan penyair paling kuno, ia dianggap sebagai amir
(pangeran) para penyair. Di sisi lain, ada Amr ibn Kultsum (w. t 600), berasal dari suku Taghlib dari Arab Utara. Meskipun
berbicara dalam dialek yang berbeda, para penyair ini menghasilkan puisi liris
yang memperlihatkan kesamaan bentuk sastra.
Di antara puisi-puisi liris yang
dihasilkan pada masa klasik, puisi-puisi yang disebut “Tujuh Mu’allaqat”
menduduki posisi pertama. Mu’allaqat itu masih dijunjung tinggi di seluruh
dunia Arab sebagai karya agung di bidang puisi. Menurut legenda, setiap
bagian merupakan puisi yang mendapat penghargaan pada festival Ukaz dan ditulis
dengan tinta emas, kemudian digantung di dinding Ka’bah.
Festival tahunan itu berlangsung selama bulan-bulan suci
yang terlarang untuk perang, Orang-orang pagan Arab menggunakan sistem kalender
serupa dengan yang digunakan oleh orang-orang Islam kemudian. Festival menjadi
kesempatan berharga untuk memperkenalkan barang dagangan, dan untuk menjual
berbagai komoditas.
Puisi liris yang pertama kali memenangkan festival di Ukaz
adalah puisi karangan Imru’ al-Qays (w. 540). Puisi-puisi mu’allaqat pertama
kali dihimpun pada akhir pemerintahan Bani Umayyah.
Di samping Tujuh Puisi yang terkenal
itu, dari masa pra-Islam juga ada sebuah koleksi
yang bernama al-Mufadhdhaliyat," diambil dari nama penyusunnya al-Mufadhdhal al-Dhabbi
(w. 785) yang berisi kumpulan puisi dan diwan.
Penyair (syaa’ir) Arab,
seperti yang terlihat dari namanya, dianggap mempunyai kekuatan untuk berhubungan dengan kekuatan kasat mata (syaitan),
dan melalui kutukannya ia dapat menimpakan bencana kepada musuhnya. Karena itulah,
bentuk syair atau puisi Arab yang pertama kali berkembang adalah puisi hujatan
atau puisi satir (hija’). Lalu, seiring dengan
perkembangan karismanya, seorang penyair rnemainkan berbagai peran sosial. Dalam
pertempuran, lidahnya sama efektifnya dengan keberanian masyarakatnya. Pada
masa-masa damai, kecamannya yang pedas merupakan ancaman bagi ketertiban
publik. Puisinya yang dilestarikan lewat ingatan dan ditransmisikan secara
lisan, merupakan sarana publisitas yang tak ternilai. Ia adalah pembentuk opini
publik.
Di samping menjadi dukun, penuntun, orator dan juru
bicara kaumnya, seorang penyair juga merupakan sejarawan dan ilmuwan.
Orang-orang badui mengukur kecerdasan seseorang berdasarkan puisinya. Sebagai
seorang sejarawan dan ilmuwan sukunya, seorang
penyair sangat memahami geneologi dan dongeng-dongeng rakyat, baik dari sukunya
ataupun musuh-musuhnya.
Di samping nilai sastra dan keindahannya, puisi-puisi kuno
memiliki signifikansi historis, yaitu sebagai bahan utama untuk mengkaji
perkembangan sosial yang terjadi saat puisi-puisi itu disusun. Oleh karena itu,
terdapat sebuah pepatah, “Puisi merupakan catatan
publik (diwan) orang-orang Arab.”
- Kepercayaan
Orang Badui dan Keyakinan Penduduk Hijaz
Nilai-nilai kebajikan tertinggi orang
Arab seperti yang tercermin dalam puisi-puisi kaum pagan diungkapkan dalam
istilah muru’ah, kewibawaan, dan 'irdh (kehormatan). Unsur-unsur
yang terdapat dalam muru’ah adalah keberanian, loyalitas, dan
kedermawanan. [14]
Orang badui masa jahiliyah bersikap tidak
peduli terhadap nilai-nilai religius-spiritual. Selain puisi, sumber informasi
utama tentang kekafiran pra-Islam ditemukan dalam sisa-sisa paganisme pada
masa Islam, pada sejumlah anekdot dan tradisi yang terdapat dalam
literatur Islam belakangan dan dalam karya al-Kalbi (w.
819-820) yang berjudul al-Ashnam (berhala).
Agama mereka pada dasarnya adalah
kepercayaan animisme. Perbedaan yang tegas antara oasis dan gurun memberi
mereka konsep penting paling awal tentang dewa yang memiliki peran penentu. Roh
pemilik tanah yang subur kemudian dipandang sebagai dewa yang memberi karunia,
sementara roh pemilik tanah yang gersang dipuja sebagai dewa jahat yang harus
ditakuti. Mereka juga percaya kepada benda-benda alam seperti pohon, sumur, gua, batu, yang dipandang sebagai objek yang sakral,
karena mereka menjadi media bagi para pemujanya untuk berhubungan dengan dewa.
Kepercayaan orang-orang badui terhadap
benda-benda langit berpusat pada bulan, yang di bawah cahayanya mereka menggembalakan
ternak mereka di padang-padang rumput. Tradisi penyembahan bulan mengisyaratkan
sebuah masyarakat penggembala ternak, sementara tradisi penyembahan matahari
menggambarkan tahap berikutnya, yaitu masyarakat pertanian. Selain itu mereka
juga percaya pada roh halus dan jin.
Di tempat lain, di tengah masyarakat
perkotaan Hijaz, yang jumlahnya hanya sekitar 17 persen dari masyarakat Hijaz,
tahap pemujaan rerhadap benda-benda langit muncul sejak lama. Al-‘Uzza, al-Lat
dan Manat (tiga anak perempuan Allah –menurut mereka-) memiliki tempat pemujaannya
masing-masing yang disakralkan di daerah yang kemudian menjadi tempat
kelahiran Islam. Al-Lat (dari kata Ilahah, yang
berarti tuhan perempuan) memiliki tempat pemujaan suci (hima dan haram) di dekat Taif. Al-‘Uzza
(yang paling agung, Venus, atau bintang pagi) dipuja di Nakhlah, sebelah timur
Mekah. Manah (berasal dari maniyah, pembagian nasib) adalah dewa yang menguasai nasib, tempat sucinya adalah di Qudayd, jalan antara Mekah dan Madinah. Dewa
lainnya, yaitu Hubal (roh), yang tampaknya merupakan dewa tertinggi di Ka'bah,
direpresentasikan dalam bentuk manusia.
Ka’bah pra-Islam, yang kemudian menjadi
tempat suci Islam, juga dianggap suci pada zaman itu. Kawasan
yang dipandang sakral (haram) berada di sekitarnya.
Para jemaah haji beribadah ke sana setahun sekali dan mempersembahkan berbagai
korban. Meskipun terletak di gurun tandus dengan
cuaca yang tidak bersahabat dan tidak menyehatkan, keberadaan bangunan suci di
Mekah ini menjadikan Hijaz sebagai pusat keagamaan yang paling penting di
dataran Arab Utara. Karena orang-orang badui sering
datang ke kota Hijaz untuk melakukan barter, terutama selama masa gencatan
senjata “empat bulan yang disucikan” (Zulkaedah, Zulhijjah, Muharam dan Rajab),
akhirnya mereka terbiasa dengan kepercayaan orang-orang perkotaan yang lebih
maju, kemudian mereka mulai melakukan ritual di sekitar Ka’bah dan menyembelih
kurban berupa unta dan domba. Karena posisi sentralnya,
keterbukaan dan lokasinya di jalur utama kafilah dari utara ke selatan, Hijaz
menawarkan sebuah kesempatan yang baik untuk aktivitas keagamaan dan
perdagangan. Oleh karena itulah muncul festival di Ukaz dan Ka'bah.
- Kota-kota
Utama Hijaz: Taif, Mekah, dan Madinah
Hijaz, sebuah dataran tandus yang
berfungsi seperti penghambat (Hijaz) antara dataran tinggi Nejed dan daerah pesisir yang
rendah, yaitu Tihamah (dataran rendah), hanya memiliki tiga kota: Taif, dan dua
kota yang bertetangga, Mekah dan Madinah.
Kota Taif, terletak di sekitar wilayah
yang ditumbuhi pepohonan lebat dengan ketinggian sekitar 6.000 kaki di atas
permukaan laut dan digambarkan sebagai “sepotong tanah Suriah.” Buminya yang
subur menghasilkan sejumlah komoditas seperti, semangka, pisang, ara, anggur,
kenari, persik, delima, dan juga madu. Bunga mawar yang dibudidayakan di kota ini dijadikan
parfum yang terkenal di Mekah. Dari semua tempat di semenanjung Arab, Taif adalah tempat yang paling mendekati gambaran al-Qur’an
tentang surga seperti yang terdapat dalam QS. 47: 15.
Kota berikutnya adalah Mekah, diambil
dari bahasa Saba, Makuraba, yang berarti tempat suci, ia telah menjadi pusat
keagamaan sejak dahulu. Kota itu terletak di Tihamah, sebelah selatan Hijaz,
sekitar 48 mil dari Laut Merah, di sebuah lembah gersang dan berbukit yang
digambarkan dalam Alquran (Q.S. 14: 37) sebagai tanah yang “tidak bisa ditanami”,
dan suhunya sangat panas. Mekah sejak lama telah menjadi tempat persinggahan
dalam perjalanan antara Maghrib dan Gazza. Orang-orang Mekah yang progresif dan
mempunyai naluri dagang berhasil mengubah kota itu menjadi pusat kemakmuran,
dan posisi penting Mekah berhasil dipertahankan.
Kota penting ketiga di Hijaz adalah Madinah. Kota yang
dulu dikenal dengan sebutan Yatsrib, terletak di sebelah utara Mekah dan secara
geografis jauh lebih baik dari pada tetangganya di sebelah Selatan. Di samping
terletak pada “jalur rempah-rempah” yang menghubungkan antara Yaman dengan
Suriah, kota itu merupakan sebuah oasis dalam arti yang sebenarnya. Tanah di
wilayah itu sangat cocok untuk ditanami pohon kurma. Di tangan penduduk Yahudi,
tepatnya Banu Nadhir dan Banu Quraidzah, kota ini menjadi pusat pertanian yang
terkemuka.
- Pengaruh
Kebudayaan Saba, Abissinia, Persia dan Gassan
Hijaz pada abad kelahiran Muhammad dikelilingi oleh
beberapa pengaruh yang berbeda, baik dari segi intelektual, keagamaan maupun
material. Diantaranya peradaban Arab selatan “Saba”, memiliki penerus yang
menghuni kawasan Arab Utara, beberapa tulisan penting yang digunakan kemudian
di Hijaz merupakan warisan dari bahasa dan peradabannya. Abissinia yang
membentuk kekuasaannya di Yaman memiliki hubungan perdagangan internasional
dengan Hijaz, terutama hubungan transportasi laut. Kebudayaan Persia turut mewarnai
keadaan penduduk Hijaz dengan mewariskan pengetahuan seni militernya.
Sedangkan Gassan berusaha mempengaruhi Hijaz dengan
agama Kristennya, akan tetapi mereka tidak cukup kuat untuk menyebarkan
ajarannya, hanya saja beberapa gagasan dan istilah mereka terpakai dalam
beberapa syair.
D.
Asal Mula Bahasa Arab dan Perkembangannya
Berdasarkan logika, bahasa-bahasa yang ada di dunia ini berasal dari satu
asal bahasa, karena umat manusia berasal dari satu nenek moyang yang sama,
yaitu nabi Adam as. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa teori yang
menyatakan tentang satunya asal bahasa di dunia ini bertentangan dengan Firman
Allah dalam surat al-Ruum ayat 22;
ô`ÏBur
¾ÏmÏG»t#uä ß,ù=yz
ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
ß#»n=ÏG÷z$#ur öNà6ÏGoYÅ¡ø9r& ö/ä3ÏRºuqø9r&ur
4 ¨bÎ)
Îû y7Ï9ºs ;M»tUy tûüÏJÎ=»yèù=Ïj9 .
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mengetahui.”(al-Ruum: 22)
Karena ayat ini
menjelaskan adanya bahasa yang bermacam-macam di alam, bukan hanya satu
bahasa saja. Ibnu kastir berkata: “ bahwa öNà6ÏGoYÅ¡ø9r& maksudnya adalah bahasa-bahasa, maka ada bahasa Arab, bahasa Tartar dan
lain sebagainya.
Akan tetapi sebenarnya teori ini tidaklah bertentangan dengan ayat
tersebut, karena perbedaan bahasa tidak mengharuskan adanya bahasa yang
bermacam-macam pada asal mulanya, karena telah terjadinya penciptaan
dialek-dialek yang baru dalam suatu kaum yang berbicara dengan satu bahasa.
Lalu setiap dialek itu khusus dengan uslubnya masing-masing yang membedakannya
dengan dialek lainnya, sehingga akhirnya berkembang menjadi bahasa-bahasa yang
berdiri sendiri.
Perbedaan bahasa merupakan hasil dari saling menjauhnya antar dialek dan
semakin menjauhnya dialek-dialek tersebut dari bahasa aslinya. Maka berubahlah
suatu dialek menjadi bahasa kaum yang baru, dan itulah yang disebut dengan
bahasa, begitulah seterusnya.[15]
Maka adanya beberapa bahasa pada awal kehidupan manusia tidaklah benar,
melainkan hanya ada satu bahasa pada awalnya. Kemudian, bahasa-bahasa pada awal
perkembangannya memiliki banyak kemiripan dan merupakan dialek-dialek. Contoh
bahasa yang tampak sekarang : bahasa-bahasa di eropa seperti bahasa Perancis,
Inggris, Jerman dan Italy, maka semuanya dalam kenyataan sekarang merupakan
bahasa yang terpisah satu sama lain, akan tetapi pada masa dahulu mereka
sangatlah dekat dan berasal dari satu bahasa, yaitu bahasa latin.
Selanjutnya, apakah Nabi Adam itu berbahasa Arab? Tidak ada dalil dari al-Qur’an
maupun sunnah yang menyatakan bahwa Nabi Adam itu menggunakan Bahasa Arab. Oleh
karena itu tidak ada yang bisa dengan pasti berpegang pada satu teks yang
menyatakan bahwa bahasa Nabi Adam itu adalah Bahasa Arab atau bukan. Oleh
karena itu kita akan mencoba menganalisis masalah tersebut.
Allah SWT telah menurunkan al-Qur’an kitab suci umat Islam dengan bahasa
Arab, hal ini merupakan salah satu bukti bahwa Allah memuliakan Bahasa Arab.
Tentunya bahasa Nabi Adam juga bahasa yang mulia, karena berasal dari Allah
SWT. Dan bahasa-bahasa rasul terdahulu
juga memiliki kemuliaan karena merupakan wahyu yang datang dari Allah. Dan
Allah telah mengutus para rasulnya dengan menggunakan bahasa kaum mereka.
Seperti dalam surat Ibrahim ayat 4:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ wÎ)
Èb$|¡Î=Î/ ¾ÏmÏBöqs% úÎiüt7ãÏ9 öNçlm;
(…
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan
dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka.”
Maka setiap wahyu diturunkan dengan bahasa kaumnya agar para rasul bisa
menyampaikan agama Tuhan kepada mereka. Hal ini berarti bahwa kemuliaan turunnya
wahyu Tuhan dengan bahasa Arab itu bersaing dengan semua bahasa lain yang
digunakan Allah untuk menurunkan wahyu kepada para nabi yang terdahulu. Akan
tetapi, keistimewaan yang dimiliki oleh bahasa Arab dibandingkan bahasa lain
tersebut adalah keuniversalan Bahasa Arab sesuai dengan universalnya ajaran
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu berlaku bagi semua umat di alam
semesta. Maka tidak diragukan lagi bahwa bahasa yang dipilih Allah SWT untuk
menyampaikan risalahnya kepada semua manusia, yang dijadikan penghubung Allah
dengan hambanya, bahasa yang digunakan dalam setiap ibadah, zikir dan do’a,
maka tentunya adalah bahasa yang paling pantas dan paling sempurna serta paling
indah. Inilah alasan yang kuat yang menyatakan bahwa bahasa Arab itu merupakan
asal mula bagi semua bahasa. Bahasa Arab adalah bahasa yang dipilih sebagai
kalamullah ketika Allah berhadapan dengan semua makhluk-Nya, dan bahasa ini
pula yang digunakan dalam al-Qur’an yang menjadi petunjuk bagi semesta alam.
Maka, hasil dari analisa ini merupakan bukti dan alasan dari sebuah
kesimpulan bahwa bahasa Nabi Adam as adalah bahasa Arab, dan bahwa bahasa Arab
adalah asal dari semua bahasa.[16]
Meskipun demikian, banyak yang tidak sepakat dengan pendapat ini juga dengan
alasan mereka masing-masing.
Nabi Adam hidup di Jazirah Arab. Dalam buku Tahzib Tarikh al-Thabari, dijelaskan
(menurut Qatadah) bahwa Allah menurunkan Adam di Hind dan Hawa di Jedah,
kemudian mereka bertemu di Arafah. Maka tanah air pertama umat manusia adalah
Mekah, ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 96, yang
artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun
untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah)”.
[17]
Kemudian , urutan silsilah bahasa
Arab mulai dari nabi Adam tidak bisa ditemukan, karna tidak ada catatan sejarah
sampai ke sana, yang pastinya bahasa Arab telah banyak berkembang menjadi
dialek dan bahasa-bahasa baru sesuai perkembangan umat manusia.
Ahli
bahasa memasukkan Bahasa Arab ke dalam rumpun bahasa Semit. Rumpun-rumpun
bahasa itu ada tiga, yaitu: Hindi-Eropa ( الهندو أوروبية ), Hamit-Semit ( الحامية السامية ) dan Turaniyah ( الطورونية ).
Para ilmuan sepakat bahwa kaum Semit memiliki satu tanah air, akan tetapi
mereka berbeda pendapat tentang penentuan di mana tanah air asli kaum Semit
tersebut. Ada yang berpendapat bahwa tanah air kaum Semit adalah bagian timur
laut Jazirah Arab yaitu Yaman, dan ada yang menyatakan asalnya dari selatan
Irak, karena di dalam Taurat dinyatakan bahwa tempat asli bani Nuh adalah di
Babilonia. Ada juga yang berpendapat bahwa negeri Kan’an adalah tempat asli
kaum Semit, dan kaum ini tersebar di negeri Suria, kemudian ada yang menyatakan
dari Armenia dan juga dari Habsyah atau bagian utara afrika. Karena para ilmuan
berbeda pendapat tentang negeri asal bangsa Semit, maka merekapun berbeda
pendapat tentang yang mana bahasa Semit yang asli itu. Ada yang menyatakan
bahwa bahasa asli kaum Semit adalah Ibrani, ada juga yang menyatakan bahasa
Syiria-Babilonia adalah Semit asli, dan pendapat terakhir menyatakan bahwa
bahasa Arablah yang paling dekat dengan bahasa Semit asli, maka ialah bahasa
asli Semit.[18]
Kemudian, para ulama juga berbeda
pendapat mengenai asal mula bahasa Arab, tempat munculnya, tanah airnya serta
periode perkembangannya. Hal ini disebabkan karena sejarah tidak mencatatnya
sampai ke hal tersebut, selain itu juga karena langkanya referensi yang bisa
dijadikan sumber informasi, dan juga ukiran-ukiran sebagai peninggalan zaman
kuno tidak cukup mewakili sejarah fenomena bahasa ini.
Syaikh al-Khadhar Husein menyatakan
bahwa bahasa Arab berasal dari kabilah-kabilah keturunan Syam bin Nuh,
diantaranya kabilah ‘Ad, Tsamud dan Jurhum, kemudian sebagian mereka musnah,
lalu sebagian lainnya pindah ke Qahthan, kemudian dari mereka muncullah bahasa
Himyariyah yang menjadi bahasa penduduk Yaman. Lalu bahasa itu diturunkan
kepada anak-anak Isma’il.[19]
Urutan selanjtnya dapat kita lihat pada nama Nabi Muhammad yang membawa
silsilahnya sampai ke Nabi Ibrahim, yaitu : Muhammad bin Abdullah bin 'Abd al-Muththalib bin Hâsyim
bin 'Abd al-Manâf
bin Qushay bin Kilab bin Murra
bin Kaa'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy (Fihr) bin Malik
bin Nazar bin Kinanah bin Khuzaymah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mazar bin Nazar
bin Ma'ad bin Adnan bin Ismail bin Ibrahim.[20] Dan nama suku Quraisy
diambil dari salah satu moyang Muhammad yaitu : Quraisy (Fihr).
Periode
Jahiliyah merupakan periode munculnya nilai-nilai standarisari pembentukan
Bahasa Arab Fusha, dengan adanya beberapa kegiatan penting yang telah menjadi
tradisi masyarakat Mekah. Kegiatan tersebut berupa festifal syair-syair Arab
yang diadakan di pasar Ukaz, Majanah, dan Zul Majah, yang akhirnya mendorong
tersiar dan meluasnya Bahasa Arab, yang pada akhirnya kegiatan tersebut dapat
membentuk standarisasi Bahasa Arab Fusha dan kesusasteraannya.[21]
Jika kita perhatikan sejarah setiap
fenomena masyarakat seperti sastra, bahasa, syari’at atau sebagainya dengan
memperhatikan keadaan-keadaan pada masa pertumbuhannya, perkembangannya serta
percabangannya, maka akan tampak sebuah pertumbuhan yang tidak begitu dirasakan
kecuali setelah waktu yang panjang. Dan sebab-sebab kebangkitan ini umumnya
adalah akulturasi pemikiran dengan bercampurnya antara umat/masyarakat dengan
pengaruh yang dibawa dari daerah lain, disebabkan karena peperangan, dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga terjadi perubahan dalam
politik, ataupun sosial kemasyarakatan.
Maka bahasa Arab, sebagaimana bahasa lainnya juga menghadapi dan melalui
keadaan ini, ia mengalami banyak perubahan disebabkan keadaan yang
berubah-ubah, maka beranekaragamlah lafaznya dengan adanya naht (penemuan kata
baru), ibdal (pergantian huruf) dan qalab (perubahan), selain itu juga masuk
kata-kata dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab sebelum adanya penetapan kata
dan pembukuan pada beberapa masa yang tidak diketahui oleh penelitian sejarah.
Dan kita mengetahui hal tersebut dengan mempelajari kata-kata yang terdapat
dalam bahasa tersebut serta memperbandingkannya dengan bahasa-bahasa lain yang
terdekat.
Dan bahasa Arab yang kita maksudkan adalah bahasa penduduk Hijaz yang
sampai kepada kita. Sebelum kedatangan Islam, di Jazirah Arab banyak terdapat
bahasa yang disebut dengan bahasa kabilah. Di antara bahasa-bahasa tersebut
terdapat perbedaan kata dan susunan, seperti kabilah Tamim, Rabi’ah, Mudhar,
Qis, huzail, Qadha’ah, dan lain sebagainya. Di antara bahasa-bahasa ini yang
paling dekat dengan bahasa Semit asli adalah yang paling jauh dari percampuran
dengan bahasa lain. Sebaliknya, bahasa yang paling banyak bercampur dengan
bahasa lain adalah bahasa penduduk hijaz, karena mereka merupakan penduduk yang
terkenal dengan perdagangan dan perjalanan yang dilakukan ke Utara menuju Syam,
Irak dan Mesir, ke selatan menuju negeri Yaman, ke timur menuju Persia dan ke
barat menuju Habsyah.
Selain itu, ka’bah telah menjadi tempat berkumpulnya umat yang
berbeda-beda, dari Persia, Nibti, Yaman, Habsyah dan Mesir. Kemudian ada juga
sebagian mereka yang pindah ke hijaz yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani.
Maka, semua hal itu membawa perkembangan/meningkatnya bahasa, dan masuk
beberapa kata dan tarkib (susunan) bahasa lain ke dalam bahasa Arab.
Pengutipan bahasa asing itu makin bertambah dengan terjadinya zaman
kebangkitan pada dua abad pertama sebelum Islam dengan bergeraknya Habsyah dan
Persia ke Yaman dan Hijaz karena pengaruh kesewenang-wenangan yang dilakukan Zu
Nuwas, Raja Yaman. Lalu sebagian penduduk Yaman meminta pertolongan ke Habsyah,
lalu pasukan Habsyah pergi ke Yaman, melakukan penakhlukan, mengalahkan
rajanya, lalu langsung memerintah di Yaman. Lalu setelah itu, salah seorang
pemimpin Yaman yang bernama Zu Yazan meminta pertolongan ke Persia, lalu
orang-orang Persia berhasil mengusir orang-orang Habsyah dari Yaman setelah
pemerintahannya sekitar 70 tahun di sana. Lalu mereka pergi ke Hijaz dan
berusaha pula untuk menakhlukkan Mekah pada pertengahan abad ke 5. Mereka
mendatangi mekah dengan pasukan bergajah, namun mereka gagal. Penduduk mekah
mencatat masa kedatangan pasukan Habsyah ini dan menamai tahun itu dengan “’aam
fiil” (tahun gajah). Dan ketika Persia menakhlukkan Yaman, mereka menetap
di sana lalu berbaur dengan penduduknya dengan melakukan perdagangan,
pernikahan dan menjadi penduduk di sana, lalu mereka pergi ke Hijaz dan begitu
pula dengan orang-orang Hijaz, mereka saling melakukan perdagangan.[22]
Jika kita perhatikan peta, kita akan menemukan banyak penduduk yang
menetap di jazirah Arab dari kabilah-kabilah Mudhar, Tamim di bagian timur
Nejed, Ghathfan dan Salim di Nejed, dan yang paling tinggi adalah suku Quraisy
di Mekah. Mereka berasal dari kabilah Qahthan di Nejed dan tepi Hijaz. Penduduk
yang paling banyak di bagian timur laut adalah Rabi’ah, lalu Bakr dan Tughlab
di pedalaman Irak dan jazirah.
Bahasa kabilah-kabilah ini berbeda-beda dengan berbedanya asal mereka dan
tempat tinggal mereka. Perbedaan itu secara umum antara bahasa Yaman dengan
bahasa Hijaz dan Nejed, yaitu antara selatan Jazirah Arab dan utaranya. Contoh
yang paling baik untuk mewakili bahasa Arab bagian selatan adalah peninggalah
dari kerajaan Himyar berupa huruf-huruf musnad, sedangkan contoh terbaik
untuk bahasa penduduk hijaz adalah bahasa al-Qur’an dan sya’ir-sya’ir
jahiliyah. Perbedaan antara kedua bahasa ini sangatlah banyak. Orang Arab
menamai bahasa Yaman kuno dengan “al-musnad”. Setiap tempat di Arab
selatan mempunyai bahasa dan penamaannya masing-masing yang berbeda dengan
tempat lainnya, yaitu:
1. Al-Musnad : Bahasa di Yaman
2. Al-zabur : Bahasa di Hadhramaut dan sebagian
Yaman
3. Al-Rasyq : Bahasa di ‘And dan Jundi
4. Al-Hawil : Bahasa di Muhrah dan Syahr
5. Al-Zaqraqah :
Bahasa orang-orang ‘Asy’ariyah
Adapun bahasa penduduk Hijaz dan
Nejed dan semua penduduk bagian utara (keturunan Adnan), adalah bahasa yang
satu yang disebut al-mubin, yaitu bahasa Arab yang sampai kepada kita
pada saat ini, yang telah mengalahkan semua bahasa Arab lainnya dan diabadikan
di dalam al-Qur’an.[23]
Hingga
saat ini, pembahasan sejarah Bahasa Arab merupakan pemikiran yang sangat rumit
dan panjang untuk ditelusuri. Dengan berbagai bentuk teori dan perbandingan
dengan penemuan script kuno dan lain sebagainya, sampailah para pencinta Bahasa
Arab kepada ketidak-adanya kesepakatan yang baik antara satu pendapatdengan
pendapat lainnya.
Masing-masing
berdalih dan berdalil dengan kuat sehingga tidaklah jelas hingga saat ini
manakah di antara beragam teori yang ada tersebut merupakan satu kebenaran atau
yang paling mendekati kebenaran yang bisa diterima oleh pihak lain, atau paling
tidak oleh umat Islam sendiri yang pada dasarnya merupakan pengembang dan
penyebar bahasa ini.
Ada
beberapa pendapat yang banyak beredar dan utama di kalangan ahli bahasa,
ilmuwan, arkeologi, ahli sejarah, dan kalangan umum. Di antara pendapat
mengenai perkembangan bahasa Arab yang paling global adalah:
1. Pendapat
yang menyatakan bahwa bahasa Arab telah ada semenjak zaman Adam, sehingga
perintis tulisan Arab dan pola kalimat Bahasa Arab adalah Adam. Pendapat ini
merupakan pendapat yang paling klasik dan merupakan interpretasi secara
langsung dari al-Qur’an surat al-Baqarah 31, و علّم آدم الأسماء كلها yang artinya kurang lebih sebagai berikut: “Allah telah
mengajari Adam pengetahuan tentang segala nama”. Dari dalil ini, mereka
yang berpendapat bahwa nama-nama benda dan berbagai hal atau sifat di dunia ini
telah diajarkan oleh Allah kepada Adam dalam bahasa Arab (nadzariyah at
tauqif).
2. Pendapat
dari ahli-ahli tulisan kaligrafi mengenai bahasa Arab menyatakan bahwa bahasa
ini memang ada semenjak zaman Adam, jadi merupakan bahasa pertama yang
diciptakan manusia dan kemudian berkembang menjadi berbagai bahasa baru. Baik
bahasa utamanya maupun berbagai cabang yang tumbuh darinya tersebut pada
akhirnya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan sesuai dengan peradaban
manusia.
Menurut teori dan pendapat para ahli modern, bahasa di
dunia ini pada awalnya adalah berasal dari daerah asal manusia pertama menetap,
yaitu sekitar Afrika dan Asia. Dan bahasa yang lahir dari sumber ini dikemudian
hari mencapai ratusan bentuk bahasa baru yang dipakai oleh sebagian besar
penduduk dunia. Bahasa ini oleh para ahli dinamakan Afro-Asiatic, Afrasian,
Hamito-Semitic, Lisramic, atau Erythraean, memperanakkan sekitar 400 jenis
bahasa yang diantaranya memang telah punah, namun tetap saja merupakan kelompok
bahasa yang paling banyak dipakai oleh penduduk bumi, yaitu dipakai di hampir
seluruh Afrika, dan separuh Asia, terutama di sebelah Asia Selatan dan Barat,
serta sebagian Eropa.
Mengenai tempat masyarakat awal yang memakai bahasa
Afro-Asiatic ini menetap, belum ada kesepakatan yang jelas antara para ahli,
namun sebagian besar memperkirakan di Afrika utara, di dekat laut merah, dan di
sahara.
Diantara sub-kelompok bahasa Afro-Asiatic, bahasa yang
dikemudian hari diperkirakan memperanakkan bahasa Arab dan beberapa saudaranya
adalah sub-kelompok Semit. Sub-kelompok bahasa ini dipakai kira-kira hingga 400
juta sebagai bahasa induk dan hampir dua kali lipatnya untuk bahasa kedua
diseluruh penjuru dunia.
Sedangkan cabang bahasanya yang paling banyak dipakai
pada saat ini adalah bahasa Arab, diikuti oleh bahasa Amhari, Tigrinya, Hebrew,
dan banyak bahasa lainnya. Kata-kata Shemit sendiri diambil dari Shem nama anak
Noah (dalam bahasa alkitab yahudi maupun nasrani).
Perkembangan bahasa-bahasa Shemit selanjutnya memberikan
bentuk baru, yaitu penciptaan alphabet. Bahasa Proto-Canaan yang merupakan
cabang dari Shemit Barat, pada 1500 sebelum masehi menciptakan huruf, kemudian
diikuti oleh Ugarit di utara Syria kira-kira 1300 sebelum masehi, juga Arami
yang berada di Syria, serta Akkadia yang juga semakin berkembang dengan
terpecah menjadi dua dialek utama, yaitu dialek Babylonia dan dialek Assyria.
Pada abad ke-1 SM, pemakaian huruf semakin berkembang,
memberikan gambaran jelas kepada para ahli tidak saja mengenai Canaan, tetapi
juga Arami, bahasa Arab Selatan kuno, dan Ge`ez awal. Abjad Arab yang disebut juga abjad hija’iyah, berasal dari aksara Aramaik (dari bahasa Syria dan Nabatea), di mana abjad Aram terlihat kemiripannya
dengan abjad Koptik dan Yunani. Terlihat perbedaan penulisan antara Magribi
dan Timur Tengah. Diantaranya adalah penulisan huruf qaf dan fa. Di Maghribi,
huruf qaf dan fa dituliskan dengan memiliki titik dibawah dan satu titik
diatasnya.[25]
Pada abad ketiga masehi, tulisan kursif orang-orang Nabasia, yang berasal
dari bahasa Aramaik, berkembang menjadi tulisan Arab Utara, yaitu tulisan
bahasa Arab al-Qur’an dan bahasa Arab yang dikenal hari ini. Lebih khusus lagi,
tulisan itu berkembang menjadi naskh yang bulat-bulat, berbeda dengan
tulisan kufi diambil dari kata kufah yang kubis dan kaku.[26]
Dengan adanya perkembangan Islam, Aramaik berubah dan bertansformasi bersama
bahasa Arab kuno dan kebudayaan baru menjadi bahasa Arab yang pada
generasi-generasi Islam selanjutnya menjadi bahasa utama mulai dari Spanyol
hingga Asia Tengah, Mediterania, dan juga Afrika.
Berikut ini adalah urutan baru bahasa Arab dan
perbandingannya dengan beberapa bahasa lainnya yang tetap menggunakan urutan
lama:[27]
[1] http://umum.kompasiana.com/2009/06/06/bangsa-arab-asal-usul/
[2] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2005), hal.16
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 9
[4] Team Penyusunan Textbook Sejarah dan Kebudayaan Islam, Sejarah
dan Kebudayaan Islam (Ujung Pandang: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN
“Alauddin” Ujung Pandang, 1982), hal. 3
[5] Badri Yatim, op.cit, hal. 10
[7] Team Penyusunan Textbook Sejarah dan Kebudayaan Islam, op.cit, hal.
4
[8] Philip K. Hitti, 2005, op.cit, hal.37
[9] Ibid. hal. 80
[10] Ibid, hal. 86
[11] Ibid, hal. 108
[12] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), hal. 28
[13] Philip K. Hitti, 2005, op.cit, hal. 110
[14] Ibid, hal. 119
[15] Abdu al-Rahman Ahmad al-Burini, al-Lughah al-‘Arabiyah aslu
al-Lughaat Kullaha (Oman: Dar al-Hasan li al-Nasyri wa al-Tarzii’, 1997),
hal. 31
[16] Abdu al-Rahman Ahmad al-Burini, op.cit, hal. 23-24
[17] Ibid, hal. 37
[18] Emil Badi’ Ya’qub, Fiqhu al-Lughah wa Khashaishuha (Beirut:
Daar al-Tsaqafah al-Islamiyah), hal.110-111
[19] Taufiq Muhammad Syahin, ‘Awamil Tanmiyah al-Lughah al-‘Arabiyah (Maktabah
Wahbah, 1993), hal.40
[20] http://wapedia.mobi/id/Quraisy
[21] http:// marihanafiah.wordpress.com
[22] Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyah (Daar
al-Fikr), hal. 36-37
[23] Ibid, hal. 42-43
[24] http://t724626.multiply.com/
[25] http://subpokbarab.wordpress.com/category/bahasa/
[26] Philip K. Hitti, op.cit, hal. 87
[27] http://t724626.multiply.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar