A.
ANDALUSIA
Sebelum kita
membahas tentang perkembangan bahasa arab di Andalusia yaitu tentang arabisasi
ilmu, sastra dan aliran nahwu secara
lebih lanjut, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu sejarah singkat
peradaban islam yang ada disana. Karena perkembangan bahasa arab tidak dapat
dilepaskan masuknya peradaban islam di kawasan tersebut.
a.
Sejarah
Singkat Peradaban Islam Di Andalusia (Spanyol)
Al-Andalus
(Arab: الأندلس al-Andalus) atau Andalusia adalah nama dari
bagian Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal) yang diperintah oleh orang
Islam, atau orang Moor, dalam berbagai waktu antara tahun 711 dan 1492. Islam pertama kali masuk ke Spanyol pada tahun 711 M
melalui jalur Afrika Utara. Spanyol sebelum kedatangan Islam dikenal dengan
nama Iberia/ Asbania, kemudian disebut Andalusia, ketika negeri subur itu
dikuasai bangsa Vandal. Dari perkataan Vandal inilah orang Arab menyebutnya
Andalusia.[1]
Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga
pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan
pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Tharik ibn Ziyad, dan Musa ibn
Nushair. Penaklukan spanyol ini dimulai ketika Raja Roderick dapat dikalahkan. Dari situ seperti
Cordova, Granada dan Toledo (Ibu kota kerajaan Goth saat itu).[2] Setelah itu kebudayaan Islam di Andalusia mengalami
perkembangan yang pesat diberbagai pusatnya, misalnya Cordova, Sevilla,
Granada, dan Toledo.[3]
1. Periode Pertama
(711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah
pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang terpusat di
Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai
secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik dari dalam maupun dari
luar. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite
penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Hal ini ada hubungannya
dengan perbedaan etnis, terutama antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Di
dalam etnis Arab sendiri terdapat dua golongan yang terus-menerus bersaing
yaitu suku Qaisy (Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan). Perbedaan etnis
ini sering kali menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak ada figur
yang tangguh. Itulah sebabnya di Spanyol pada saat itu tidak ada gubernur yang
mampu mempertahankan kekuasaannya untuk
jangka waktu yang agak lama. Periode ini berakhir dengan datangnya Abd al-Rahman
Al-Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755 M.
2. Periode Kedua
(755-912 M)
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah
pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi
tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh
Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki
Spanyol tahun 138 H/755 M dan diberi gelar Al-Dakhil (yang masuk ke Spanyol).
Ia berhasil mendirikan dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa-penguasa
Spanyol pada periode ini adalah Abd al-Rahman al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abd
al-Rahman al-Ausath, Muhammad ibn Abd al-Rahman, Munzir ibn Muhammad, dan
Abdullah ibn Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai
memperoleh kemajuan-kemajuan baik dibidang politik maupun bidang peradaban. Namun pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara
terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesahidan (Martyrdom). Gangguan politik yang paling serius pada periode ini
datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M
membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu sejumlah
orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah
pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di
pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar
dan orang-orang Arab masih sering terjadi[5]. Namun ada yang berpendapat pada periode ini dibagi
menjadi dua yaitu masa KeAmiran (755-912) dan masa ke Khalifahan (912-1013).[6]
3. Periode Ketiga
(912-1013 M)
Periode ini berlangsung mulai dari
pemerintahan Abd al-Rahman III yang bergelar “An-Nasir” sampai munculnya
“raja-raja kelompok” yang dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaif. Pada
periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar Khalifah, penggunaan
khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa
Muktadir, Khalifah daulah Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh
pengawalnya sendiri. Menurut penilainnya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana
pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat
ini merupakan saat yang tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah hilang
dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah gelar ini dipakai
mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ini ada
tiga orang yaitu Abd al-Rahman al-Nasir (912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan
Hisyam II (976-1009 M).
Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai
puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan daulat Abbasiyah di Baghdad.
Abd al-Rahman al-Nasir mendirikan universitas Cordova. Dan
akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang
memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah
terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
4. Periode Keempat
(1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi
lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan
atau Al-Mulukuth-Thawaif yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova,
Toledo dan sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville.
Pada periode ini umat Islam memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau
terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu yang
meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang
menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen
pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan
politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang pada periode
ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan
perlindungan dari satu istana ke istana lain.
5. Periode Kelima
(1086-1248 M)
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih
terpecah dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan,
yaitu kekuasaan dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun
(1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang
didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil
mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Pada masa dinasti
Murabithun, Saragosa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M.
Dinasti Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn
Tumazi (w.1128). Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al-Mun’im.
Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de
Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhhidun menyebabkan penguasanya
memilih meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. Tahun
1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh tahun 1248 M.
Seluruh Spanyol kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam.[7]
6. Periode Keenam
(1248-1492 M)
Pada periode ini yaitu antara tahun
(1232-1492) ketika umat islam Andalus bertahan di wilayah Granada dibawah kuasa
dinasti bani Amar pendiri dinasti ini adalah Sultan Muhammad bin Yusuf bergelar
Al-Nasr, oleh karena itu kerajaan itu disebut juga Nasriyyah.[8]
Periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah
Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali mengalami
kemajuan seperti di zaman Abdurrahman an-Nasir. Kekuasaan Islam yang merupakan
pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang
istana dalam perebutan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad memberontak dan meminta bantuan kepada Ferdenand dan Isabella
untuk menjatuhkannya. Setelah menang
ia malah diserang balik oleh oleh raja ferdenand dan isabella dan akhirnya
kalah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Ferdenand dan
Isabella, kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian berakhirlah
kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1492 M. Umat Islam setelah itu dihadapkan
kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Pada tahun
1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam didaerah ini.
Adapun
penyebab Kemunduran Dan Kehancuran
1)
Konflik Islam dengan Kristen
2)
Tidak adanya Ideologi Pemersatu
3)
Kesulitan Ekonomi
4)
Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Namun ada faktor lain yang menyebabkan
kemunduran kebudayaan islam yaitu:
1)
Kelemahan dibidang politik
2)
Munculnya orang-orang Moghul
3)
Munculnya unsur Turki
4)
Ditemukannya Mesiu.[10]
b.
Perkembangan
Bahasa Arab Di Andalusia
Jika
kita membahas perkembangan bahasa arab di andalusia, maka ada beerapa hal yang
menarik untuk dikaji. Yaitu tentang arabisasi ilmu dan pengetahuan,
perkembangan sastra dan aliran nahwu di andalusia.
1.
Arabisasi
Ilmu dan Pengetahuan di Andalusia
Arabisasi
ilmu dan pengetahuan di andalusia ditandai dengan dimulainya era penerjemahan
dari buku-buku Yunani ke dalam bahasa
Arab. Era Penerjemahan pada masa Dinasti Abbasiyah berlangsung selama satu abad
yang telah dimulai sejak 750 M. Karena kebanyakan penerjemah adalah orang yang
berbahasa Aramik, maka berbagai karya Yunani pertama kali diterjemahkan ke
dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab.
Melalui
Spanyol, Sicilia dan Perancis Selatan yang berada langsung di bawah
pemerintahan Islam, peradaban Islam memasuki Eropa. Bahasa Arab menjadi bahasa
internasional yang digunakan berbagai suku bangsa di berbagai negeri di dunia.
Baghdad di Timur dan Cordova di Barat, dua kota raksasa Islam menerangi dunia
dengan cahaya gilang-gemilang. Sekitar tahun 830 M,
Tidaklah
mengherankan, karena pada saat kekhilafahan Islam berkuasa saat itu Spanyol
menjadi pusat pembelajaran bagi masyarakat Eropa dengan adanya Universitas
Cordova. Di Andalusia itulah mereka banyak menimba ilmu, dan dari negeri
tersebut muncul nama-nama ‘ulama besar seperti Imam Asy-Syathibi pengarang
kitab Al-Muwafaqat, sebuah kitab tentang Ushul Fiqh yang sangat berpengaruh;
Ibnu Hazm Al-Andalusi pengarang kitab Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa
an-Nihal, sebuah kitab tentang perbandingan sekte dan agama-agama dunia, dimana
bukti tersebut telah mengilhami penulis-penulis Barat untuk melakukan hal yang
sama.
Di
Andalusia (Spanyol bagian Selatan), berbagai universitasnya pada saat itu
dipenuhi oleh banyak mahasiswa Katolik dari Perancis, Inggeris, Jerman dan
Italia. Pada masa itu, para pemuda Kristen dari berbagai negara di Eropa
dikirim berbondong-bondong ke sejumlah perguruan tinggi di Andalusia guna
menimba ilmu pengetahuan dan teknologi dari para ilmuwan muslim.
Semaraknya pengembangan ilmu dan pengetahuan di dunia Islam
diindikasikan dengan banyaknya perpustakaan tersebar di kota-kota dan
negeri-negeri Islam yang jumlahnya sangat fantastis. Sejarah mencatat, perpustakaan
di Cordova pada abad 10 Masehi mempunyai 600.000 jilid buku. Perpustakaan Darul
Hikmah di Cairo mempunyai 2.000.000 jilid buku. Perpustakaan Al Hakim di
Andalusia mempunyai berbagai buku dalam 40 kamar yang setiap kamarnya berisi
18.000 jilid buku. Perpustakaan Abudal Daulah di Shiros (Iran Selatan)
buku-bukunya memenuhi 360 kamar. Sementara ratusan tahun sesudahnya (abad 15
M), menurut catatan Catholik Encyclopedia, perpustakaan Gereja Canterbury yang
merupakan perpustakaan dunia Barat yang paling kaya saat jumlah bukunya tidak
melebihi 1.800 jilid buku.
Sejarah juga mencatat bahwa Uskup Agung Raymond di Spanyol
mendirikan Badan Penterjemah di Todelo yang ditujukan guna menterjemahkan
sebagian besar karangan sarjana-sarjana Muslim tentang ilmu pasti, astronomi,
kimia, kedokteran, filsafat, dll, dimana waktu yang dibutuhkan untuk
menterjemahkannya yaitu lebih dari satu setengah abad (1135-1284 M). [11]
Hal ini juga nantinya
merupakan salah satu sebab kemunduran penggunaan bahasa arab di andalusia di samping
terusirnya orang islam karena kalah dalam peperangan.
2.
Perkembangan
Sastra Arab di Andalusia
Jika kita melihat sejarah, maka
dapat dikatakan bahwa sastra Arab di Andalusia mengalami kemajuan. Ada beberapa
aspek penunjang yang banyak mempengaruhi kaemajuan sastra Andalus yaitu :
1.
keindahan
Alam raya Andalusia, juga cuaca dan udaranya yang sejuk, tanah serta tamannya
yang hijau. Hal ini sangat banyak sekali memberikan pengaruh terhadap peradaban
daratan Andalus.
2.
Matangnya
pola pikir Arab.
3.
Adanya
rasa persaingan dengan timur.
4.
Pengaruh
identitas kebudayaan yang lazim di negeri mereka.[12]
Syair yang cukup dikenal di
Andalusia pada waktu itu adalah Sya’ir Thobîah yaitu syai’r yang menggambarkan
keadaan alam secara shômit dan Shôit, hal tersebut timbul dari perasaan sang
penyair melalui khayal serta intuisi sang penyair. Penyair-penyair Arab banyak
sekali yang menjadikan alam sebagai inspirator baginya sesuai dengan zaman
dimana ia hidup. Syair Thobi’ah telah berkembang pesat bentuk serta corak ini
di negeri Andalusia. Tentu saja banyak factor yang mendukung hal tersebut,
muingkin dapat kita sebutkan disini.1. Keindahan alam. Pada muqoddimah makalah
ini telah penulis ungkapkan bahwa Andalusia adalah daerah yang indah dan
mempesona, hal ini sangat berpengaruh sekali terhadap watak, sikap serta
karya-karya sastra, contohnya syair atau puisi. Disamping jiwa penyai’r bangsa
tersebut yang juga menjadi penyebab majunya syai’r thobîah di daerah tersebut.
2. Kecintaan bangsa tersebut terhadap negeri mereka. Sebagimana kita ketahui
jikalau seseorang telah mencintai sesuatu maka akan banyak ungkapan serta
ta’bir yang keluar dari perasaanya, betapa tidak bangsa yang mempunyai bahasa
Arab kemudian berpadu dengan kecintaannya kepada negerinya. Salah satu tokohnya
yang terkenal adalah Ibnu Said Al-Andalusi.
Pada bagian ini penulis juga akan
memberikan beberapa bukti transformasi budaya dan sastra di negeri Andalusia.
Sebagai telaah bagi kita, bahwa Andalusia pernah berjaya dengan sastra dan
kebudayaan Islam.
1)
Al- Musta’ribûn
Pada dasarnya karya sastra yang
dihasilkan oleh kaum Al-Musta’ribûn sangatlah lemah, baik berbahasa latin
maupun Arab, kemudian mereka pun mulai terpengaruh oleh kehidupan social Islam
yang memberi pencerahan bagi mereka. Salah satu contohnya adalah mereka lebih
mengutamakan penggunaan bahasa Arab, juga nama-nama dan pakaian mereka serta
berusaha mencontoh peradaban Isalam dalam aspek-aspek kehidupan mereka.
Kebanyakan dari buku-buku latin yang
ditulis oleh kaum Al- Musta’rbûn mempunyai catatan-catatan kaki, komentar
dengan bahasa Arab, seperti buku latin berjudul ‘kitâbu tafshîli al azmân wa
mashôlihi al abdân’ buku tentang ilmu falaq “menjelaskan masalah peredaran
bulan, serta menyebutkan keindahannya. Pada dasarnya, ketika zaman keemasan
Islam orang-orang spanyol lebih cakap berbahasa Arab ketimbang bahasa asli
mereka, sampai-sampai menyerupai orang Arab dalam kemahiran berbahasa, tak
dapat dipungkiri pula bahwa mereka telah memakai bahasa Arab sekian waktu
lamanya, yaitu setelah runtuhnya kekuasaan Islam di Jazirah tersebut. Banyak
adat-istiadat atau kultur Arab yang disadur ke dalam kehidupan bangsa sepanyol, sampai kepada
penulisan buku-buku dan pemakaian nama-nama Arab, hingga abad keempat belas
masehi, bukti-bukti ini masih dapat kita temukan pada dokumentasi-dokumentasi
Toledo walaupun tak kita dapatkan hasil karya yang berharga dari mereka.
2)
Al-Musta’jimûn
Akhir dari pada bentuk sastra Arab
Andalus yang muncul di sepanyol adalah sastra Los Moriscos yaitu sastra yang
ditulis dengan bahasa Sepanyol, namun memakai huruf-huruf Arab. Orang Arab
menyebutnya Al-Jamîya ” kalimat Arab yang disepanyolkan” kenapa demikian,
karena keadaan lah yang memaksa. Kaum Moriscos merasa takut dan khawatir setelah
jatuhnya Granada ke tangan orang-orang Nasrani, apalagi ketika mereka
dihadapkan kepada kasus-kasus pengkafiran dan pemurtadan, hal demikianlah yang
membuat keterputusan mereka dengan khazanah-khozanah sastra dan pemikiran
leluhur. Namun mereka tidak meninggalkan huruf-huruf hijâiyyah dan terus
menulis ilmu-ilmu Islam serta warisan leluhur sebagai resistensi serta benteng
yang kokoh bagi akidah mereka, untuk kemudian mewariskannya kepada generasi
setelahnya. Semua apa yang dapat kita lihat dari bukti-bukti sejarah,bahwa
tulisan-tulisan tersebut berasaskan Islam dan belum dpat dipelajari rahasia
rumus-rumusnya kecualai pada abad ke sembilan belas masehi.
Ketika orang sepanyol hendak
melaksanakan pengusiran besar-besaran terhadap sisa-sisa umat Islam dari negeri
mereka, maka kaum Moriscos mencoba untuk menyembunyikan tulisan-tulisan tersebut. Dan memunculkannya kembali secara
pelan-pelan. Salah satu penulis besarnya adalah Isa ibnu Jabir seorang faqih
masjid Segoviano dalam bahasa sepanyol dikenal dengan nama Isa de Gebir, Ia
menulis buku berjudul Al kitâb Al Syaqûbi, di bawah namanya tertulis dengan
huruf Arab breviario sunni atau dalam bahasa Arabnya mukhtashar al sunnah.
Yaitu tulisan singkat tentang akhlaq dan syariah, buku ini banyak sekali
beredar di kalangan Moriscos, dan terdiri dari bab-bab iman, aqidah kemudian
wudhu, thoharah, air yang suci dan tidak suci. Beliau memakai istilah-istilah
ibadah dalam Islam dengan logat Qostilla seperti arraquer atau al rukû’-
anafilesa tau al nawâfîl, menamakannya dengan nama Qostilla.
Tak luput dari karya mereka adalah
seni syai’r yang ditulis dengan bahasa Qostilla, akan tetapi berhurufkan huruf
Arab. Contohnya adalah qoshidah Yusuf ditulis pada abad ke tiga belas dan empat
belas masehi. Syair ini memakai bahasa Qostilla lama yang dikenal dengan
Cuarderno Via, yaitu qoshidah yang setiap empat baitnya dalam satu qâfiyah.
Isinya tentang kisah Nabi Yusuf AS dan Ya’Qûb AS, sebagaimana diterangkan di
dalam Al-Quran mengenai kisah ini, walaupun banyak juga Isrâiliyyatnya. Contoh
lain adalah karya-karya penyair besar Muhammad Romadhon yang berasal dari
Rauthoh, ditulis pada tahun seribu enam ratus tiga dengan syair sepanyol
berjudul Târîkhu nasabi Muhammad SAW Historia genealogica de Mohama. Begitu
pula Nazom qisshoh fazi’ yaumi al hisâb historia del espanto del dia del juicio.[13]
3.
Aliran
Nahwu Andalusia
Gairah keilmuan di Andalusia berlangsung selama
kekuasaan Bani Umayah di sana dari tahun 137 – 422 H. Ilmu Bahasa Arab
berkembang di sana seiring perkembangan keilmuan Al-Quran. Di Cordova dan
kota-kota lainnya banyak orang yang mengajarkan dasar-dasar Bahasa Arab melalui
kajian teks dan syair. Mayoritas dari mereka adalah para qurra’ yang hidup
mengabdi menjaga kemurnian bacaan Al-Quran. Mereka melakukan perjalanan ke
timur, belajar bacaan Al-quran dan lain sebagainya, lalu kembali dan mengajar
di Andalusia.[14]
Di Andalusia, terdapat seorang dengan nama Abu
Musa Al-Hiwari. Az-Zubaidi menyatakan bahwa beliau adalah orang yang pertama
kali mengajarkan ilmu fiqih dan Bahasa Arab di Andalusia. Beliau melakukan
perjalanan ke timur pada masa pemerintahan Abdurrahman Ad-Dakhil (138 – 172 H)
dan belajar kepada Imam Malik, Abu Zaid, Al-Ashmu’i, dan lain sebagainya.
Adapun tokoh yang sezaman dengan beliau adalah Al-Ghazi bin Qais. Beliau adalah
yang menyebarkan riwayat bacaan Nafi’ bin Abi Nua’im di Cordova.
Tokoh nahwu di Andalusia pertama kali adalah
Judiy bin ‘Utsman Al-Maururi (w. 198 H). Beliau belajar nahwu dari Al-Kisa’i
dan Al-Farra’. Tokoh yang sezaman dengan beliau adalah Abu Abdillah Muhammad
bin Abdillah, seorang yang menyebarkan bacaan Warasy, ‘Utsman bin Sa’id
Al-Mishriy, di Andalusia.
Pada abad ketiga hijriyah banyak bermunculan
tokoh qiraat dan juga sastrawan, diantaranya adalah Abdul Malik bin Habib
As-Sulamiy (w. 238 H). Beliau adalah seorang ahli fiqih, hadits, nahwu, dan
bahasa. Diantara karangan beliau adalah tentang I’rab al-Quran. Tokoh lainnya
yang sezaman dengan beliau adalah Mufarraj bin Malik An-Nahwiy yang menulis buku
penjelasan atas karangan Al-Kisa’i. Kemudian terdapat nama Abu Bakar bin Khatib
An-Nahwiy yang juga menulis kitab tentang nahwu.
Fakta perkembangan awal ilmu nahwu di Andalusia
adalah kuatnya aliran Kufah dalam kajiannya. Sedikit sekali perhatian terhadap
nahwu Basrah hingga sampai tampilnya Al-Ufusyniq, Muhammad bin Musa bin Hasyim
(w. 307 H) yang belajar Al-Kitab milik Sibawaih dari
Ad-Dinauri di Mesir. Beliau kemudian mengajarkannya kepada para pelajar di
Cordova. Kemudian terdapat nama Ahmad bin Yusuf bin Hajjaj (w. 336 H). Beliau
dikenal selalu membawa Al-Kitab dan mempelajarinya dalam
keadaan luang maupun sibuk, sehat maupun sakit.
Al-Kitab mendapatkan
perhatian besar di Andalusia di bawah pengajaran Muhammad bin Yahya Al-Mahlabi
Ar-Rabbahi Al-Jayyani (w. 353 H). Beliau seorang ahli filsafat, logika, dan
Kalam. Beliau belajar nahwu di Mesir di bawah bimbingan Ibn an-Nuhas kemudian
mengajar di Cordova. Tiap Jumat beliau mengadakan forum dialog tentang
masalah-masalah Nahwu. Berkat peran beliau, kajian nahwu di Andalusia semakin
mendalam.
Tokoh yang sezaman dengan Ar-Rabbahi di Cordova
adalah Abu ‘Ali Al-Qaliy Al-Baghdadiy yang masuk Andalusia pada tahun 330 H di
masa pemerintahan Abdurrahman An-Nashir. Beliau belajar Al-Kitab
dari Ibn Darastuwaih, murid Al-Mubarrad. Generasi setelah
Ar-Rabbahi dan Al-Qaliy adalah para murid kedua tokoh tersebut. Mereka tidak
hanya mempelajari nahwu Basrah saja, tapi juga selainnya. Diantara mereka
adalah:
1.
Abu
Bakar bin al-Qutiyah (w. 367 H), murid al-Qoliy, penulis kitab Al-Af’al
wa Tasharifiha yang dicetak di Leiden
2.
Muhammad
bin al-Hasan Az-Zubaidi (w. 379 H), murid al-Qoliy, penulis kitab Thabaqat
an-Nahwiyyin wa al-Lughawiyyin yang sangat terkenal
3.
Abu
Abdillah Muhammad bin ‘Ashim al-’Ashimi (w. 382 H), murid Ar-Rabbahi
4.
Ahmad
bin Aban (w. 382 H), penulis dua buku penjelasan terhadap dua karya Al-Kisai
dan Al-Akhfasy
5.
Harun
bin Musa Al-Qurthubi An-Nahwi (w. 401 H)
Kemudian setelah runtuhnya Umayah di sana,
muncullah tokoh nahwu seperti Al-Iflili (w. 441 H), murid Al-’Ashimi, kemudian
Ibn Sayidah adh-Dharir (w. 448 H). Ibn Sayidah disebut-sebut sebagai orang yang
paling ‘alim dalam ilmu-ilmu bahasa Arab pada masa itu.
Studi Nahwu di Andalusia mulai meluas sejak
masa dinasti raja-raja. Para ahli nahwu memadukan para tokoh sebelum mereka
mulai dari pengikut aliran Basrah, Kufah, maupun Baghdad. Mereka tidak hanya
berpijak pada model Abu Ali al-Farisi dan Ibn Jinni dalam hal pilihan pendapat,
mereka bahkan cenderung memperbanyak argumentasi hingga muncul
pendapat-pendapat baru.
Diantara mereka adalah al-A’lam asy-Syintamari
(w. 476 H). Beliau dianggap sebagai orang yang pertama kali memunculkan metode
nahwu ala Andalusia. Beliau sangat memperhatikan tentang pentingnya
mempertanyakan tentang ‘illat kedua, misalnya adalah
pertanyaan kenapa mubtada di-rafa’-kan,
tidak di-nashab-kan
saja ? Al-A’lam menulis buku penjelasan kitab Al-Jumal milik Az-Zajjaji
Al-Baghdadi, dan meriwayatkan enam analogi penyair Jahili, yaitu Umru’ al-Qais,
Zuhair, An-Nabighah, ‘Alqamah, Tharfah, dan ‘Antarah, secara bersanad hingga
Al-Ashmu’i. Beliau belajar al-Kitab dari Ibn al-Iflili. Pada
masa ini, para tokoh bahasa Arab di Andalusia terkenal bahkan ke dunia Arab,
sampai-sampai Az-Zamakhsyari melakukan perjalanan dari Khawarizm ke Mekah untuk
belajar kepada seorang ahli nahwu di sana, yaitu Abdullah bin Thalhah (w. 518
H).
Tokoh yang sezaman dengan al-A’lam adalah Ibn
as-Sayyid Al-Bathalius, Abdullah bin Muhammad (w. 521 H), lalu Ibn al-Badisy,
Ali bin Ahmad bin Khalaf Al-Anshariy Al-Gharnathi (w. 528 H), dan Ibn
ath-Tharawah, Sulaiman bin Muhammad (w. 528 H).[15]
B.
BAGHDAD
kekuasaan
Dinasti Abbasiyah merupakan masa gemilang kemajuan dunia Islam dalam aspek
perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan
andil dari pengaruh peradaban Yunani yang sempat masuk ke dunia Islam. Sehingga
selanjutnya, beberapa tokoh dalam literatur sejarah menghiasai perkembangan
pemikiran hingga di era modern. Bahkan, pada masa kejayaan tersebut orang-orang
Barat menjadikan wilayah timur sebagai pusat perabadan untuk menggali ilmu
pengetahuan.
a.
Sejarah Singkat Peradaban Islam Di Baghdad
Periode
pertama Daulat Abbasiyah lebih memprioritaskan pada penekanan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Fakta sejarah
mencatat bahwa masa Kedaulatan Abbasiyah merupakan pencapaian cemerlang di
dunia Islam pada bidang sains, teknologi dan filsafat. Pada saat itu dua
pertiga bagian dunia dikuasai oleh Kekhilafahan Islam.[16]
Masa
sepuluh Khalifah pertama dari Daulat Abbasiyah merupakan masa kejayaan
(keemasan) peradaban Islam, dimana Baghdad mengalami kemajuan ilmu pengetahuan
yang pesat. Secara politis, para khalifah betul-betul merupakan tokoh yang kuat
dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam
Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai
menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus
berkembang.
Pada
masa sepuluh Khalifah pertama itu, puncak pencapaian kemajuan peradaban Islam
terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid (786-809 M). Harun Al-Rasyid
adalah figur khalifah shaleh ahli ibadah; senang bershadaqah; sangat mencintai
ilmu sekaligus mencintai para ‘ulama; senang dikritik serta sangat merindukan
nasihat terutama dari para ‘ulama. Pada masa pemerintahannya dilakukan sebuah
gerakan penerjemahan berbagai buku Yunani dengan menggaji para penerjemah dari
golongan Kristen dan penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak
mendirikan sekolah, yang salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul
Hikmah, sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan
sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga
dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Harun
Al-Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi
keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi
didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter.
Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan
berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat yang tak tertandingi.
Terjadinya
perkembangan lembaga pendidikan pada masa Harun Al Rasyid mencerminkan
terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat
ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang
sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Pada
masa pemerintahan Abbasiyah pertama juga lahir para Imam Mazhab hukum yang
empat hidup Imam Abu Hanifah (700-767 M); Imam Malik (713-795 M); Imam Syafi’i
(767-820 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M).[17]
Pencapaian
kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu pengetahuan tersebut tidak terlepas dari
adanya sikap terbuka dari pemerintahan Islam pada saat itu terhadap berbagai
budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya seperti Yunani, Persia, India dan yang
lainnya. Gerakan penterjemahan yang dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745-775
M) hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
umum, terutama di bidang Astronomi, Kedokteran, Filsafat, Kimia, Farmasi,
Biologi, Fisika dan Sejarah.
Pencapaian
prestasi yang gemilang sebagai implikasi dari gerakan terjemahan yang dilakukan
pada zaman Daulat Abbasiah sangat jelas terlihat pada lahirnya para ilmuwan
muslim yang mashur dan berkaliber internasional seperti Al-Biruni (fisika,
kedokteran); Jabir bin Hayyan (Geber) pada ilmu kimia; Al-Khawarizmi (Algorism)
pada ilmu matematika; Al-Kindi (filsafat); Al-Farazi, Al-Fargani, Al-Bitruji
(astronomi); Abu Ali Al-Hasan bin Haythami pada bidang teknik dan optik; Ibnu
Sina (Avicenna) yang dikenal dengan Bapak Ilmu Kedokteran Modern; Ibnu Rusyd
(Averroes) pada bidang filsafat; Ibnu Khaldun (sejarah, sosiologi). Mereka
telah meletakkan dasar pada berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Beberapa
ilmuwan muslim lainnya pada masa Daulat Abbasiyah yang karyanya diakui dunia
diantaranya:
1. Al-Razi
(Guru Ibnu Sina), berkarya di bidang kimia dan kedokteran, menghasilkan 224
judul buku, 140 buku tentang pengobatan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin.
Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga
abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar
dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran
anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibnu Sina.
2. Al-Battani (Al-Batenius), seorang astronom.
Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365
hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat.
Sejarah
telah membuktikan bahwa kontribusi Islam pada kemajuan ilmu pengetahuan di
dunia modern menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan. Bahkan bermula dari
dunia Islamlah ilmu pengetahuan mengalami transmisi (penyebaran, penularan) ke
dunia Barat yang sebelumnya diliputi oleh masa kemunduran, mendorong munculnya
zaman renaissance (pencerahan) di Eropa.
Melalui
dunia Islam-lah mereka mendapat akses untuk mendalami dan mengembangkan ilmu
pengetahuan modern. ketika dunia Barat sudah cukup masak untuk merasakan
perlunya ilmu pengetahuan yang lebih dalam, perhatiannya pertama-tama tidak
ditujukan kepada sumber-sumber Yunani, melainkan kepada sumber-sumber Arab.
b.
Arabisasi Ilmu dan Pengetahuan di Baghdad
Peradaban
Yunani memang bukan satu-satunya pengaruh asing yang masuk ke dunia Islam dalam
pembentukan budaya Islam universal Persia, sejarah mencatat pengaruh asing lain
juga turut mempengaruhi pembentukan budaya tersebut, adalah: India dan Persia.
Hal ini
terjadi ketik persentuhan budaya Yunani dengan Islam bermula ketika orang Arab
bergerak menaklukan Daerah Bulan Sabit Subur. Hellenisme
kemudian menjadi unsur paling penting yang mempengaruhi kehidupan orang Arab.
Berbagai serangan ke wilayah Romawi, khususnya pada masa Harun al Rasyid
menjadi peluang bagi masuknya masnuskrip-manuskrip Yunani, selain harta
rampasan, terutama yang berasal dari Amorium dan Ankara.[18]
Masuknya
peradaban Yunani ke dunia Islam diyakini telah mempengaruhi kemajuan yang
begitu pesat pada aspek pengembangan ilmu pengetahuan. Kondisi ini ditandai
dengan gerakan penerjemahan karya-karya Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab. Pada
masa ini, bahasa Arab agaknya menjadi bahasa penting bagi setiap integrasi yang
terjadi. Bahkan – seperti yang dikemukakan Harun Nasution, bahasa Arab telah
menggantikan bahasa Yunani dan bahasa Persia sebagai bahasa Administrasi.
Bahasa Arab juga menjadi bahasa ilmu pengetahuan, filsafat dan diplomasi.
Beberapa bahasa bahkan hilang dari pemakaian, seperti bahasa latin yang dipakai
di Afrika, bahasa Mesir Kuno di Mesir, bahasa Siriac di Siria, Libanon, Jordan
dan Irak.
Era
Penerjemahan pada masa Dinasti Abbasiyah berlangsung selama satu abad yang
telah dimuali sejak 750 M. Karena kebanyakan penerjemah adalah orang yang
berbahasa Aramik, maka berbagai karya Yunani pertama kali diterjemahkan ke
dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab.
Salah
satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah Abu Yahya ibn al Bathriq yang
dikenal karena menerjemahkan karya-karya Galen dan Hippocrates untuk al Mansur,
dan karya Ptolemius untuk khalifah lainnya. Penerjemah awal lainnya adalah
seorang Suriah Kristen, Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh, murid Jibril in
Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn Ishaq yang diriwayatkan telah menerjemahkan
beberapa manuskrip untuk al Rasyid, terutama manuskrip tentang kedokteran yang
dibawa khalifah dari Ankara dan Amorium.
Sebagaimana
disinggung pada bagian terdahuluu, bahwa era penerjemahan yang berkembang pada
Disnasti Abbasiyah diiringi dengan era penulisan karaya-karya orisinil lainnya,
maka dalam hal ini penulisan karya-karya tersebut melahirkan beberapa tokoh
utama yang yang menekuni bidang masing-masing
Hunayn
ibn Ishaq disebut-sebut sebagai “ketua para penerjemah”, seorang sarjana
terbesar dan figur terhormat pada masanya. Hunayn adalah penganut sekte ibadi, yaitu
pemeluk Kristen Nestor dari Hirah. Dalam faktanya, Hunayn memang telah
menerjemahkan naskah berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suriah, dan
rekan-rekannya melakukan langkah berikutnya, yaitu menerjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Hermeneutica karya
Ariestoteles, misalnya, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Suriah oleh
ayahnya, untuk selanjutnya diterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Arab.
Seperti
halnya Hunayn yang mengambil posisi terdepan dalam kelompok penerjemah dari
penganut Kristen Nestor, Tsabit ibn Qurrah juga berada pada barisan pertama
kelompok penerjemah lainnya yang direkrut dari orang Saba, penyembah berhala
dari Harran. Prestasi besar Tsabit dilanjutkan oleh anaknya Sinan serta dua
cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian anak cucunya Abu al Faraj. Seluruh
orang-orang tersebut dikenal sebagai penerjemah dan ilmuan.
Pada
paruh terakhir abad ke-10 telah menyisakan kemunculan para penerjemah dari
sekte Yakobus atau Monofisit yang diwakili oleh Yahya ibn Adi, dan Abu Ali Isa
ibn Zurah dari Baghdad. Sebelum era penerjemahan berakhir, semua karya
Aristoteles yang ada, telah tersedia bagi para pembaca Arab. Era penerjemahan
yang panjang dan produktif ini diikuti dengan era penulisan karya-karya
orisinil lainnya.
C. Perkembangan Sastra
Arab Di Baghdad
Dunia sastra dalam bentang
sejarah Islam, khususnya pada masa awal menempati posisi sangat strategis, hal
ini dilatari kondisi dimana islam lahir dan berkembang di tengah-tengah orang
arab yang kaya akan tradisi sastra, bahkan sejarah peradaban arabpun kebanyakan
hanya diketahui melalui sumber sastra seperti syair. Sedikit sekali sumber-sumber sejarah peradaban arab
diidentifikasi oleh para ilmuwan melalui sumber-sumber tertulis seperti
peradaban Mesir kuno dan Mesopetamia. Hal ini disebabkan karena orang
arab sangat konsen dengan bahasa lisan ketimbang tulisan.
Ketika islam datang dengan pencerahannnya tradisi
sastra tetap berlanjut. Posisi sastra denga berbagai derivasinya tidak
mengalami pergeseran, karena pada prinsip dan substansinya sastra adalah produk
yang bebas nilai. Maksudnya, dalam kondisi dan masa apapun sastra tetap bisa
diterima tergantung pada aspek dan orientasi apa ditujukan penggunaanya.
Daulah Abbasiyah sebagai daulah kedua dalam sisitem
monarki pemerintahan islam setelah Umawiyah tetap meletakan sastra dalam posisi
terhormat. Sebagaiamana tabiat arab sebelum islam seringkali aktivitas sastra
mempengaruhi pemerintah dalam kebijakan dalam negri maupun luar negrinya. Tidak
sedikit para khalifah Abbasiyah adalah pecinta seni dan sastra sebut saja Abu
Ja'far al Mansur, beliau adalah seorang khalifah yang memilki cita rasa seni tinggi
di antara khalifah bani Abbasiyah.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra sastra di Baghdad adaah sebagai berikut :
1. Politik
Ketika Daulah
Abasiyah naik ke tampuk kekuasaan tertinggi islam, terjadi banyak perubahan
dalam kehidupan masyarakat dan pada porsi tertentu antara politik dan sastra
saling mempengaruhi. Pergeseran paling fundamental terjadi ketika pusat
kekuasaaan dipindahkan dari Damaskus dengan tradisi arab kental ke Baghdad dengan
tradisi Parsinya. Pada masa ini seluruh sistem pemerintahan dan kekuasaan
politik dipengaruhi tabiat peradaban Sasaniyah Parsi dimana khalifah berkuasa
mutlak dan memimpin seluruh struktur pemerintahan mulai dari mentri,
pengadilan, sampai panglima prajurit.
Pucuk kekuasaanpun
tidak lagi terbatas pada garis keturunan arab, bahkan disebutkan dalam berbagai
literatur sejarah bagimana dahsyatnya fitnah di saat terjadi persaingan
kekuasaan antara dua bersaudara al Amien dan al Makmun karena berbeda garis
keturunan dari ibu mereka. Kondisi politik seperti ini sangat mungkin
memepengaruhi perkembangan aktivitas sastra ketika itu, karena kita tidak bisa
nafikan para syu'ra adalah orang terdekat khalifah di lingkungan istana setelah
menteri dan struktur pemerintah lainnya.
2. Sosial Masyarakat
Di saat terjadi
perpindahan kekuasaan dari Umawiyah ke Abbasiyah, wilayah geografis dunia islam
membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab,
Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi
intensif penduduk setiap daerah dengan daerah lainnya. Interaksi ini
memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Para
petualang muslim berdatangan dari berbagai penjuru wilayah islam dengan menyerap
kebudayaan dan keilmuwan dari daerah yang mereka kunjungi untuk kemudian
menjadi rujukan dan bahan aktivitas keilmuwan di daerah mereka masing-masing.
Majelis nyanyian dan
musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana era
Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap
dalam mendendangkan suara mereka. Maestro dunia tarik suara terkenal
bermunculan pada masa ini diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan
anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai
dari pakaian, makanan, dan hadirnya pelyan-pelayan wanita. Dalam sebuah riwayat
disebutkan Harun ar-Rasyid memiliki seribu pelayan wanita di istananya dengan
berbagai keahlian.
Pengaruh budaya dengan
nuansa jahiliyah seperti ini berkembang tidak di seluruh negri tapi hanya di
lingkungan istana dan petinggi-petingi negara, adapun masyarakat umum berada
dalam beragam kondisi perubahan sosial, bahkan dari kelas masyarakat umum
muncul gerakan menentang perilaku dan tradisi jahili yang berkembang di
lingkungan istana dikenal dengan nama "Harakah az Zuhd".[19]
3. Dunia intelektual dan pengetahuan
Faktor lain
berkembangnya peradaban di era Abbasiyah ditandai dengan derasnya aktivitas
intelektual masyarakat islam. Kegiatan intelektual menjadi makanan rutin Akal
dan hati masyarakat. Kondisi ini dipengaruhi terbukanya pintu intelektual islam
dengan masyarakat dunia lainnya. Kerajaan sangat bersemangat dalam menyokong
semua aktivitas penterjemahan literatur asing ke Bahasa Arab, seperti yang
dikatakan al Mas'udi," Abu Ja'far al Mansur adalah khalifah pertama
menggiatkan aktivitas astronomi dan menetapkan kegiatan kerja kerajaan mengacu
pada hukum-hukum astronomi. Abu Ja'far al Mansur juga khlaifah pertama yang
menerjemahkan literatur asing ke bahasa arab diantaranya karya-karya
Aristoteles, buku Sanad India dan berbagai literatur lainnya.
Darul Hikmah di masa
harun ar Rasyid telah menjadi pustaka dunia dengan menyimpan beribu-ribu
literatur asing Romawi, Yunani, Parsi dan India kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa arab. Kemajuan ini diikuti dengan lahirnya ribuan Ulama dan sastrawan.
Baghdad berubah menjadi mercusuar peradaban dan tujuan cendikiawan dan pencari
ilmu dari seluruh pelosok negri. Kita kenal Khalil bin Ahmad al Farahidy
sebagai peletak pertama Mu'jam Lughawy dengan kitabnya al 'Ain. Dalam ilmu
Fiqh, lahir Abu Hanifah, Malik bin Anas, as Syafii, dan Ahmad bin Hanbal.
Dalam kajian sejarah, Ibnu Sa'd dengan karyanya at Tabaqat al Qubra,
Akhbar al Khulafa'.
Faktor politik, sosial dan arus intelektualisme yang
tumbuh dan berkembang pesat sudah tentu mempengaruhi aspek-aspek penting dalam
kehidupan sastra masa itu. Khusus dalam Syair, setidaknya dikenal dalam
literatur Adab Abasiyah bermacam-macam agraad (tujuan/orientasi) syair, seperti
al Madah (pujian), al Hija' (sindiran), al Fakhr (pengagungan), ar Rasa'
(ratapan), al Ghazal (rayuan), al Wasfy (pensifatan), az Zuhd (zuhud), al 'Itab
wa al 'Itizar (teguran dan pembelaan), as Syi'ry al Ta'limy (sya'ir
pengajaran), as Syi'ry al Fakahy (sya'ir humor). Pengaruh kebudayaan asing yang
hadir dan masuk dalam sastra arab diantaranya buku al Maydan karya Ulan as
Sya'uby al Faris, sebuah karya sastra hasil asimilasi dua peradaban besar Arab
dan parsi.
Diantara Syu'ara' terkenal yang dilahirkan dari rahim
peradaban besar ketika itu diantaranya Basyar bin Bard, Abu Nawas, Marwan bin
Abi Hafshah, Abu 'Atahiyah, Muslim bin Walid, Abdullah bin Marwan bin Zaidah,
Muhammad bin Hazim al Bahily dan ribuan sastrawan lainnya.
Lingkungan sosial dan intelektual dinamis dalam
peradaban dan khazanah keilmuwan islam telah mengantarkan perkembangan pesat
dalam dunia sastra, tidak saja Syair yang menjadi konsen aktivitas sastra namun
juga seni retorika dalam pidato kenegaraan maupun khutbah Jumat. Pendeknya
semua aktivitas intelektual mendapatkan posisi strategis dan berkembang sangat
baik dan dinamis pada masa itu.[20]
c.
Aliran Nahwu Baghdad
Pada abad keempat hijriyah
para ahli nahwu Baghdad memunculkan metode baru dalam ilmu nahwu, yaitu dengan
memilih yang terbaik dari kedua pendapat aliran nahwu yang telah ada, Basrah
dan Kufah. Hal ini bermula ketika mereka belajar nahwu kepada dua tokoh yang
berbeda aliran, yaitu Tsa’lab dan Al-Mubarrad kemudian mulai mempertemukan
kedua aliran tersebut hingga memunculkan aliran baru yang dapat dibedakan dari
keduanya.
Munculnya
aliran tersendiri ini sempat membuat bingung para penulis biografi para ahli
nahwu. Hal ini disebabkan karena ahli nahwu aliran baghdad ini ada yang condong
kepada aliran Basrah dan ada pula yang lebih condong kepada aliran Kufah. Oleh
karenanya, ada yang menggolongkan sebagian dari mereka ke dalam aliran Kufah,
Basrah, dan ada pula yang menggolongkannya dalam kelompok aliran tersendiri.
Para
pakar kontemporer bahkan berusaha menafikan aliran Baghdad ini dengan alasan
bahwa dua orang pembesar aliran ini, yaitu Abu Ali Al-Farisi dan Ibn Jinni
menisbatkan diri mereka sendiri ke dalam aliran Basrah.
Generasi
awal aliran Baghdad ini memang cenderung kepada pendapat aliran Kufah. Oleh
karenanya, mereka kadang disebut sebagai pengikut Kufah dan kadang pula disebut
sebagai pengikut aliran Baghdad. Tokoh terpenting dari generasi awal ini adalah
Ibn Kaisan (w. 299 H), Ibn Syuqair (w. 315 H), Ibn al-Khiyath (w. 320 H).
Kemudian,
muncul tokoh seperti Az-Zajjaji, Abu Ali Al-Farisi dan Ibn Jinni yang mana
cenderung kepada pendapat aliran Basrah. Berikut ini sekilas biografi beberapa
tokoh aliran Baghdad ini:
1. Ibn Kaisan
Beliau
adalah Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad bin Kaisan. Beliau wafat pada tahun 299
H. Beliau belajar nahwu dari Tsa’lab dan Al-Mubarrad. Bahkan Ibn Mujahid
mengatakan bahwa beliau ini lebih menguasai nahwu daripada kedua gurunya
tersebut. Beberapa tulisan beliau adalah kitab Ikhtilaf al-Bashriyyin wa al-Kufiyyin fi
an-Nahwi, Al-Kafi fi an-Nahwi, At-Tasharif, Al-Mukhtar fi ‘Ilal an-Nahwi.
2. Az-Zajjaji
Beliau
adalah Abu al-Qasim Abdurrahman bin Ishaq. Beliau adalah penduduk Shaimarah,
suatu daerah yang terletak di antara Al-jabal dan Kazakhstan, kemudian tumbuh
di Nahawand, lalu pindah ke Baghdad. Beliau sering berpindah tempat hingga
akhirnya wafat di Thabariyah pada tahun 337 H, atau 340 H menurut satu riwayat.
Beliau meninggalkan banyak karya, di antaranya: Al-Amali al-Wustha, Majalis al-Ulama’ yang berisi
tentang dialog para ulama tentang beberapa masalah terutama masalah bahasa dan
nahwu, Al-Idlah fi ‘Ilal an-Nahwi, Al-Jumal fi Qawa’id
an-Nahwi
3. Abu Ali Al-Farisi
Beliau
adalah Al-Hasan bin Ahmad bin Abdul Ghaffar Al-Farisiy. Ayah beliau seorang
persia sedangkan ibunya adalah seorang Arab dari tanah Sadus. Abu Ali Al-Farisi
banyak pengikuti kajian para ahli nahwu mulai pegikut aliran Basrah seperti Ibn
As-Siraj, Al-Akhfasy Ash-Shaghir, Az-Zajaj, Ibn Duraid, Nafthawaih, dan
Mubraman, hingga pemuka aliran Baghdad awal seperti Ibn al-Khiyath dan Abu
Bakar Ibn Mujahid, murid Tsa’lab. Beliau mengajar ilmu di Baghdad, kemudian
pindah ke Askar Makram, sebagian kota Mosul, Aleppo, sebagian tanah Syam,
hingga kembali ke Baghdad pada tahun 346 H. Murid beliau salah satunya adalah
Ibn Jinni. Abu Ali Al-Farisi sangat terkenal dengan penguasaannya atas Qiyas
sebagai landasan dari kaidah bahasa.
4. Ibn Jinni
Beliau
adalah Abu al-Fath ‘Utsman bin Jinni Al-Mushili, ayah beliau adalah seorang
budak romawi, dalam bahasa yunani dikenal dengan Gennaius. Ibn Jinni belajar
nahwu dari Ahmad bin Muhammad Al-Mushili An-Nahwiy. Ibn Jinni banyak menelorkan
karya hingga lima puluh buah. Ibn Jinni dikenal sebagai seorang tokoh bahasa
yang intens dalam bidang ilmu at-tashrif, morfologi bahasa Arab. Kitab beliau
yang terkenal adalah Al-Khasha’ish. Ibn
Jinni adalah orang yang pertama kali menemukan ada keterkaitan makna dalam
Isytiqaq Akbar dan juga teori tentang Tadlmin.
5. Generasi Akhir
Yang
termasuk golongan ini adalah Ibn asy-Syajariy, Abu al-Barakat Ibn al-Anbariy
(w. 577 H) yang menulis buku Al-Inshaf,
kemudian Abu al-Baqa’ Al-’Akbariy (w. 616 H), Ya’isy bin Ali bin Ya’isy (w. 643
H), Najmuddin Muhammad bin Ahmad Ar-Rodliy Al-Istirabadiy (w. 686 H), Mahmud
bin Umar Az-Zamakhsyari (w. 538 H). Az-Zamakhsyariy adalah penulis Asas al-Balaghah dan
juga Tafsir Al-Kasysyaf yang
cukup terkenal. Beliau seorang penganut Mu’tazilah.[21]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar