Minggu, 31 Mei 2015

Pengertian Penghalusan Kata (تحسين الالفاظ)




Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya dalam masa relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah, tetapi dalam waktu relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Adanya kemungkinan ini bukan berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja, yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi, perkembangan sosial budaya, perkembangan pemakaian kata itu sendiri dan pertukaran tanggapan indra.[1]
Dalam perubahan makna terjadi adanya penghalusan kata dengan menggunakan kosakata yang memiliki sifat itu. Usaha menghaluskan ini dikenal dengan nama eufimia atau eufemisme. Umpamanya, kata korupsi diganti dengan ungkapan menyalahgunakan jabatan, kata pemecatan diganti dengan pemutusan hubungan kerja, dan kata babu diganti dengan pembantu rumah tangga dan kini menjadi pramuwisma.[2]
Eufimisme dapat disamakan dengan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan[3] yaitu ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasa lebih kasar yang dianggap merugikan atau yang tidak menyenangkan.[4]  Eufimisme merupakan gaya bahasa perbandingan yang mengganti satu pengertian dengan kata lain yang hampir sama artinya dengan maksud untuk menghindarkan pantang atau sopan santun.
Contoh:
·      Anak saudara kurang pandai, sehingga tidak naik kelas. (kurang pandai à bodoh)
·      Orang itu berubah akal. (berubah akal à gila)
·      Datuk itu sudah berlalu ke hutan. (datuk à harimau)
·      Maaf, saya ke belakang sebentar. (ke belakang à ke kamar mandi)
Di lihat dari contoh di atas, eufimisme dapat juga disebut sebagai pemakaian kata-kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu, misal frase kebelakang (untuk berak). Eufimisme dihadapkan dengan gejala berupa tampilan kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna lebih halus atau lebih sopan daripada yang akan digantikannya (Chaer, 2002). Dalam bahasa arab ungkapan halus atau sopan yang digunakan untuk berak adalah إلى دور المياه   . Dalam bahasa Indonesia penggunaan penghalusan kalimat cukup banyak di antaranya frase ditangkap oleh aparat keamanan diperhalus menjadi diamankan, kata pemecatan karyawan diperhalus dengan rasionalisasi karyawan, frase harga naik diperhalus menjadi penyesuaian harga. [5]
Kata-kata yang harus diperhalus tersebut disebut dengan الكلمات المحظورة dalam bahasa Arab, “Tabu” dalam bahasa Indonesia, dan “Taboo” dalam bahasa Inggris sebuah kata yang berasal dari bahasa Polinesia yang diperkenalkan oleh Kapten Cook dengan arti sesuatu yang dilarang, sedangkan kata-kata dan kalimat yang sudah diperhalus itu disebut dengan istilah “Euphemistic word” atau الكلمات المحسنة  dalam bahasa Arab, sedangkan proses penghalusannya disebut dengan “Euphemisme” atau تحسين الألفاظ dalam bahasa Arab.[6]

B.     Faktor Terjadinya Tabu
Sebuah bahasa mengalami proses yang sangat lama sehingga disepakati dan diterima dengan makna tertentu. akan tetapi karena perkembangan dan kemajuan terjadinya perubahan nilai dalam sebuah bahasa. Di antara faktor penyebab terjadinya perubahan nilai dalam masyarakat yang berakibat pada terjadinya tabu adalah sebagai berikut: [7]
1. Faktor Agama
Setiap agama mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang harus diikuti oleh penganutnya, seorang penganut agama yang baik tentunya merasa nyaman dan santun melakukan ajaran agamanya. Akan tetapi perbedaan agama membuat perasaan nyaman itu hilang. Seorang kristiani akan merasa tidak nyaman kalau disuruh mengucapkan assalamu alaikum wr wb, sedangkan bagai seorang muslim ucapan itu terasa indah dan dianggap ibadah mengucapkannya. Demikian juga sebaliknya, seorang muslim akan merasa tidak nyaman kalau disuruh mengatakan haleluya padahal buat seorang kristiani, ungkapan itu sangat indah dan dianggap ibadah mengucapkannya.
2. Faktor Budaya
Budaya setiap bangsa berbeda-beda. kadang masyarakat timur meminjam/mengadopsi kata dari masyarakat barat guna memperhalus kata yang dianggap tabu. Misal menyebutkan  Alat kelamin laki-laki yang di timur dianggap tabu mengatakannya, dihaluskan dengan meminjam kata bahasa Inggris “penis”, alat kelamin wanita yang di timur dianggap tabu, diperhalus dengan meminjam kata bahasa Inggris clitoris, hubungan badan suami istri yang di timur dianggap tabu, diperhalus dengan meminjam kata bahasa Inggris intercost.
3. Faktor Perbedaan jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin mengakibatkan terjadinya perbedaan nilai, seorang wanita yang kodratnya adalah halus, santun dan lemah lembut, akan terasa asing apabila ada wanita yang cara bicaranya keras, dan kasar, sementara bagi seorang laki-laki kadang-kadang kalau bicara pelan bisa-bisa menjadi bahan cemohan orang-orang.
4. Faktor Jabatan atan pendidikan
Orang yang tidak punya jabatan dan pendidikan yang tinggi, akan merasa tidak nyaman bila namanya disebut-sebutkan dan sebaliknya dia juga merasa tidak santun bila memanggil orang dengan namanya. Orang yang punya jabatan dan berpendidikan tinggi akan merasa tidak nyaman kalau namanya dipanggil berkali-kali dan diapun tidak akan tega memanggil yang berpendidikan dengan namanya, tetapi selalu menggunakan panggilan kehormatan, seperti pak Kiyai, dan pak RT. Beberapa suku di Indonesia istri tidak merasa nyaman memanggil nama suaminya, akan tetapi di pihak lain di Mesir, seorang isteri tidak merasa apa apa memanggil nama suaminya.
5. Faktor Emotif
Perasaan dan emosi seseorang sangat besar pengaruhnya terhadap pergeseran dan perubahan makna kata, seorang yang sedang sedih, akan merasa tersinggung dan sakit hati bila mendengarkan kata yang sedikit menyinggung padahal buat orang lain kata-kata itu masih dianggap biasa. Sebaliknya orang yang sedang gembira akan mengabaikan kata-kata yang menyepelekan dia, dia akan menyebutkan penyebab kebahagiaannya tersebut ke mana saja. Orang yang latah yang menyebutkan hal-hal yang dia sukai dan yang dia benci adalah karena faktor emotif ini.
6. Faktor Cacat Badan
Nyaris di semua masyarakat yang berbudaya tidak akan merasa nyaman menyebut-nyebut cacat badan orang lain, dan orang yang disebut cacatnya pun juga akan merasa tersinggung dengan ucapan itu. Mereka selalu dipanggil dengan panggilan yang lebih baik dan lebih santun.
7. Faktor Kesehatan mental dan Kepribadian.
Orang yang mempunyai cacat mental, seperi orang yang tidak jujur, ketika dia berlaku jujur dia akan merasa butuh dengan sumpah untuk mengatakan kebenarannya, dan dia sangat nyaman dan lega dengan sumpah tersebut. Akan tetapi orang yang jujur, tidak merasa butuh dengan sumpah, malah sebaliknya, bulu romanya bangun mendengarkan orang berbicara sambil bersumpah-sumpah.
Tabu merupakan hal yang vital dalam linguis, meskipun tidak seluruhnya, banyak hal kata yang ditabukan itu akan dilarang, dan kata penggantinya eufimisme akan diintroduksikan untuk mengisi senjang itu. Menurut Ullman, tabu bahasa dapat digolongkan menjadi tiga kelompok sesuai dengan motivasi psikologis yang melatar belakanginya: sebagian terjadi karena ketakutan, sebagian Karena perasaan nyaman, sebagian karena rasa hormat dan sopan.[8]
1.    Tabu karena ketakutan
Ketakutan terhadap sesuatu atau makhluk adikodrati (supernatural) menimbulkan tabu untuk menyebut namanya, seperti nama setan dan binatang-binatang yang disamakan kedudukannya dengan roh-roh menumbuhkan banyak eufimisme. Kata “Belleta” (makna asal ‘wanita yang cantik’) di Prancis menggantikan kata “kutu”. Di Jawa roh-roh yang dikeramatkan di adat istiadat tertentu disebut dengan “Mbah”.
2.    Tabu karena perasaan nyaman
Adanya kecendrungan manusia untuk menghindarkan acuan langsung kepada hal-hal yang tidak menyenangkan. Kelompok kata yang dipengaruhi oleh bentuk ini adalah nama cacat fisik, cacat mental, dan tindak kriminal. Contoh kata “Korupsi” diganti dengan Kata “menyuap” atau “ uang pelicin”.
3.    Tabu karena rasa hormat dan sopan.
Tiga hal yang termasuk dalam tabu ini adalah hal-hal yang menyangkut seks, bagian dan fungsi-fungsi tubuh tertentu dan cacian. Contoh kata bahasa Inggris Kuna “Sounas” adalah eufimisme lain dari sumpah serapah “by God’s Wounds”. Di Indonesia kata “bajingan” lebih dibelokkan menjadi “bajigur”.
C.    Dampak penghalusan kata
Penghalusan kata ini mempunyai dampak sosio-psikologis yang positif, karena memperhatikan nilai etika dan sopan santun dalam sutu masyarakat. Namun juga dapat berdampak negatif, karena penghalusan makna kata ini dipolitisasi sedemikian rupa sehingga keluar dari esensi makna yang sebenarnya. Contoh penghalusan berdampak negatif adalah dalam kata korupsi di masa orde baru menjadi kesalahan prosedur atau kesalahan administrasi.
Dan contoh penghalusan kata yang berdampak negatif dapat dilihat dalam penggunaan kata زوجة  yang diperhalus dengan kata حرم  dan عقيلة . kata عقيلة digunakan dalam keadaan formal dan biasanya untuk isteri para pembesar (bangsawan),  kata حرم lebih bersifat agak resmi, dan kata  زوجة   biasanya digunakan oleh orang-orang yang berpendidikan yaitu dalam bahasa fusha.[9]
Penghalusan makna yang berdampak postif terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Mujadilah ayat 3.
 والذين يظهرون من نسآئهم ثمّ يعودون لما قالو فتحرير رقبة من قبل أن يتماساذلكم توعظون به والله بما تعملون خبير (3)
“orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Frase يتماسا  pada surah di atas lazim dimaknai menyentuh. Hal ini dpat dibaca pada ayat lain yakni surah al-qomar ayat 48:
يوم يسحبون في النار على رجوههم ذوقوا مسّ سقر (48)
Kata مس  pada ayat tersebut dapat diartikan sentuhan, bukan hubungan seksual sebagaimana pada surah Al-Muzadilah ayat 3. Akan tetapi frase يتماسا  pada surah Al- Muzadilah ayat 3 digunakan untuk memperhalus ungkapan hubungan seksual. Almahalli (tanpa tahun) dan Alqurtubi (1964) dalam bukunya menafsirkan dengan الجماع  yang keduanya berarti melakukan hubungan seksual. Adalah suatu ungkapan kasar, apabila surah Al-Muzadilah ayat 3 tersebut menggunakan frase الوطء   atau  الجماع . dengan demikian, penggunaan frase يتماسا merupakan wujud penghalusan/eufimisme dari frase الوطء   atau  الجماع .[10]
D.    Penghalusan kata dalam Al-Qur’an
Ketika Al-Quran turun, bangsa Arab berada dalam puncak ketinggian sastranya, bahasa mereka terkenal sangat fasih dan baligh, baik dalam berbicara maupun ketika berpidato. Bangsa Arab sering menggunakan kinayah, tasybih, itnab untuk memperhalus kata-kata seperti yang diakatakan Abu Halal Asykari:
الكلام ألفاظ تشتمل على مععان تدل عليها وتعبر عنها، فيحتاج صاحب البلاغة إلى احابة المعنى كحاجته إلى تحسين اللفاظ.[11]
Oleh sebab itu tidak heran jika Alquran yang merupakan kitab suci buat orang muslim, mendukung sepenuhnya fenomena euphemisme. Untuk menunjukkan perhatian tersebut, berikut disampaikan beberapa contoh euphemisme dalam Alquran, sbb :[12]
1.      Kata-kata yang berkonotasi jorok, seperti kakus, (الكنيف) oleh Alquran diperhalus  dengan kata  الْغَائِطِ seperti dalam surah Al-Maidah, 6
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا (المائدة، 6)                   
Artinya, : …Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (WC) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)…(QS. Al Maidah. 6).
Ghaith dalam bahasa Arab berarti tempat tertutup, kata ini adalah kinayah terhadap kakus (berkonotasi jorok), menjadi tidak berkonotasi jorok lagi. Dengan demikian mengganti kata kakus dengan ghaith adalah merupakan langkah maju dalam eufemisme. Akan tetapi kata ghaith tersebut oleh orang Arab dikembangkan maknanya sehingga bermakna buang air besar. Kata tersebut dipakai terus-menerus dengan makna barunya, sehingga makna aslinya (tempat tertutup) terlupakan.
Dalam kontek ini terjadi perubahan makna yang luar biasa, dimana ghaith dengan arti buang air besar sudah beralih menjadi jorok. Kondisi ini mengakibatkan seolah-olah kata ghaith itu adalah fenomena disfemia (pengkasaran dari kata yang sudah halus) bukan fenomena euphemisme (penghalusan dari kata yang kasar).
2.      Dalam Alquran kata jimak diganti dengan kata, الرفث seperti terdapat dalam surah Al-Baqarah, 186
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُم (البقرة، 187)
Artinya : Dihalalkan bagi kamu berhubungan badan dengan istrimu di malam puasa.. (Al-Baqarah, 187).
Kata jimak, berkonotasi tidak sopan dan vulgar, sedangkan rafats yang berarti bercanda terkesan lebih halus dan tidak berkonotasi vulgar lagi. Oleh sebab itu fenomena euphemisme berjalan dengan baik. Namun, kemudian, oleh bangsa Arab kata rafats tersebut dikembangkan maknanya menjadi berhubungan badan. Lambat laun penggunaan tersebut menguat dan pada akhirnya diterima di kalangan luas, dan kata rafats pun dianggap sebagai kata asal untuk makna hubungan badan, sedangkan kata asal dilupakan.
Kondisi seperti inilah yang membuat pihak-pihak yang tidak mengetahui proses perubahan makna tersebut menuding bahwa Alquran berisi kata-kata porno.
3.      Kata jimak, yang berkonotasi vulgar diperhalus dengan kata باشـر seperti dalam surah Al-Baqarah, 187
فالئن باشـروهن .... ولا تباـشروهن وانتم عاكـفون في المساجد (البقرة، 187 )
Artinya, Maka sekarang kontaklah langsung dengan mereka … janganlah kamu kontak langsung dengan mereka di saat kamu beri’tikaf dalam masjid (QS. Al-Baqarah, 187).
Kata jimak, berkonotasi tidak sopan dan vulgar, sedangkan basyiru yang berarti kontaklah  terkesan lebih halus dan tidak berkonotasi vulgar lagi. Oleh sebab itu fenomena euphemisme berjalan dengan baik. Namun, kemudian, oleh orang Arab kata basyiru tersebut dikembangkan maknanya menjadi berhubungan badan. Lambat laun penggunaan tersebut menguat dan pada akhirnya diterima di kalangan luas, dan kata basyiru pun dianggap sebagai kata asal untuk makna hubungan badan, sedangkan  kata asal dilupakan.
Selain itu kata jimak (جماع) juga di perhalus dengan kata إفضاء، والغشيان واللمس yang terdapat pada firman Allah berikut:[13]
وقد أفضى بعضكم إلى بعض   (QS. An-Nisa, 21)
Artinya: “Padahal sebagian kamu telah mendatangi sebagian yang lain
فلما تغشاها حملت حملا خفيفا
 أو لمستم النساء (QS. Al-Maidah, 6)
Artinya: “Atau kamu menyentuh perempuan “
4.      Kata yang menunjukkan alat kelamin wanita, yang terkesan vulgar diperhalus dengan kata فرج  seperti tertera dalam surah Al-Nur, 31 sbb:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ (النور:31)
Artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, ...(QS. An-Nur: 31).
Nyaris di seluruh suku bangsa di dunia tidak ada yang merasa nyaman menyebutkan nama alat kelamin wanita, tetapi semua menggantinya dengan nama lain, dalam hal ini Alquran menggunakan kata faraj, yang dalam arti kamusnya adalah belahan dan jalan keluar. Pada awalnya kata ini sudah tidak mengandung makna vulgar dan nyaman dituturkan walaupun di depan khalayak ramai. Akan tetapi karena orang Arab menggunakannya secara meluas dengan makna alat kelamin wanita, maka kata aslinya terlupakan, dan seolah-olah faraj itulah kata asli untuk kelamin wanita, dan pada gilirannya beralih menjadi vulgar. Kondisi inilah yang membuat sebagian kalangan mengatakan bahwa Alquran berisi kata-kata porno.
Hal yang sama juga terjadi pada alat kelamin laki-laki, yang berkonotasi vulgar diganti dengan kata ذكر yang berarti laki-laki. Kata ini sudah terkesan tidak vulgar lagi dan sudah nyaman dituturkan. Akan tetapi karena pemakaiannya yang meluas, mengakibatkan orang Arab melupakan makna asalnya dan menganggap makna asalnya adalah kelamin laki-laki, sehingga terkesan kembali vulgar dan tabu.

E.     Penyampaian eufimisme dalam pembelajaran bahasa Arab
Allah telah memberikan akal kepada manusia sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Manusia mempunyai keistimewaan, sehingga dengan akalnya manusia bisa mencari tahu segala hal yaitu dengan Ilmu. Allah dalam Al-Qur’annya berfirman “Iqro!” (Al-Alaq:1) menyebutkan pentingnya membaca, pena dan ajaran untuk manusia. Firman tersebut menyatakan untuk manusia giat mencari ilmu dengan belajar, karena belajar dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan kualitas hidupnya.[14]
Pembelajaran bahasa arab adalah salah satu pembalajaran bahasa yang terpenting kedua setelah bahasa Ingris. Bahasa arab merupakan bahasa Al-Qur’an di mana sebagai masyarakat penganut agama Islam wajib untuk mempelajari dan memahami bahasa arab. Pembelajaran bahasa arab juga mempunyai tujuan tertentu yaitu (1) pembelajar dapat menghargai dan mengembangkan bahasa Arab sebagai salah satu bahasa dunia yang penting untuk dipelajari. (2) pembelajar memahami bahasa Arab dari segi bentuk, makna dan fungsi serta menggunakannya untuk tujuan, keperluan dan keadaan. (3) untuk menigkatkan intelektual (4) memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (5) mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan keperibadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. (6) menghargai dan membanggakan sastra arab sebagai khasanah budaya dan intelektual dengan beberapa tujuan tersebut diharapkan.[15]   
Secara umum keberhasilan pembelajaran tersebut ditentukan oleh beberapa variabel diantaranya guru, siswa, sarana, prasarana, dan kurikulum. Dalam proses pembelajaran tersebut, guru memegang peranan penting yaitu sebagai aktor, artinya guru bertugas dan bertanggung jawab merencanakan dan melaksanakan pengajaran di Sekolah. Guru harus memilikj kemampuan untuk mengaplikasikan teori belajar dalam bidang pengajaran, kemampuan memilih dan menerapkan metode pengajaran yang efektif dan efesien, kemampuan melibatkan siswa bepartisipasi aktif dan kemampuan membuat sarana belajar yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan. 
Dalam pembelajaran terdapat persamaan antara aspek-aspek Balaghah yang terdapat dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia.  Aspek-aspek yang mempunyai persamaannya dalam kaidah bahasa Indonesia adalah: majaz (alegori), kinayah (alusio), tasybih (simile), isti’arah (metapora dan sinestesia), kinayah sifat (antonomasia), majaz mursal (aptronim), majaz mursal (metonimia), mubalaghah (hiperbola), isti’arah (personifikasi), majaz mursal (pars pro toto), kinayah sifat (antonomasia), kinayah sifat (eufimisme), ithnab (perifrase), idhafah (eponim), ta’kidul madh bima yusybihu dzam (afopasis), ithnab bit taukid (repetisi), ithnab mumil (pleonasme), dan saja (paralelisme). Gaya bahasa ithnab dalam bahasa Arab mempunyai variasi yang banyak, sebagian dengan pengulangan dan sebagian lagi dengan badal. Dengan ditemukannya persamaan-perbedaan antara aspek gaya bahasa (balaghah) antara bahasa Arab dengan bahasa Indonesia merupakan bahan yang cukup penting untuk pengembangan bahan ajar mata kuliah Balaghah. Hasil uji coba menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa merasa lebih mudah memahami Balaghah dengan menggunakan pendekatan kontrastif .[16]
Dalam pembelajaran bahasa Arab, seorang guru adalah teladan yang baik. Dalam cara penyampain pelajaran hendaknya guru juga memberi teladan untuk mencerminkan akhlak dan kesopanan dalam setiap perilaku dan perkataan.  Di sini eufimisme sangat berperan, di harapkan guru dapat menjelaskan dari bermacam-macam makna yang ada dalam suatu kata, agar mereka tidak salah dalam memahami dan menggunakan suatu kata dalam percakapan mereka, memberi pengertian mengenai pemakaian kata yang disesuaikan pada tempatnya, memberi penjelasan menganai kata-kata yang diperhalus dan kata yang sudah tabu untuk diucapkan pada suatu konteks tertentu. Dengan begitu siswa dapat mengetahui dan menggunakan kata-kata bahasa arab maupun non bahasa arab yang sudah diperhalus sesuai pada tempatnya.
Memberi pembelajaran  bahasa Arab  hendaknya  guru dituntut kreatif  dalam menyampaikan materi eufimisme, apalagi mengenai eufimisme dalam Al-Qur’an. Di mana kata eufimisme terkadang masih dianggap kasar oleh beberapa masyarakat. Hal ini karena kata eufimisme sudah sering digunakan dan lambat laun akan kembali menjadi kata yang kembali tabu untuk digunakan. Pembelajaran tersebut dapat menggunakan model berkelompok dan bermain kartu, menggunakan media gambar, dan  juga menggunakan media audio visual seperti video yang menayangkan cerita yang di dalamnya terdapat pemakaian eufimisme dalam bahasa arab. Kemudia mengajak siswa untuk menulis kata-kata tersebut dan mengingatnya, kemudian menggunakan kata-kata tersebut dalam praktek atau dalam kegiatan di kelas.



[1] Abdul Chaer, Linguistik umum (Rineka cipta: Jakarta, 2007), 310
[2] Ibid, 315
[3] www.Macam-macam Majas.htm (diakses Desember 2010)
[4] www.Harry’s Info.htm (diakses Desember 2010)
[5]Moh Ainin dan Imam Asrori,  Semantik Bahasa Arab (Hilal: Malang, 2008), 135
[6] Ahmad Sayuti Anshari Nasution, Makalah Penghalusan Bahasa Arab”(di akses November 2010), 2
[7] Ibid, 8

[8] Stephen Ullman, Pengantar Semantik, ter. Sumarsono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 259
[9] Ahmad Mukhtar Umar, Ilmu Ad-Dalalah (Kairo: Alimatu Al-Kutub, 1988), 228
[10] Semantik bahasa arab, Moh Ainin dan Imam Asrori (Hilal: Malang, 2008),137
[11] Abdul Ghafar hamid Hilal, Ilmu Ad-Dalalah Al-Lughawiyyah (Jami’ah Al-Azhar: Kairo,  Tanpa tahun), hal 83
[12] Ahmad Sayuti, Makalah  Penghalusan Bahasa Arab, hal 10

[13] Ahmad Qolasy, Taysiru Al-Balaghah (Madinah: At-Thab’atu Ats-Staniyah, 1995), Hal 124
[14] Baharuddin dan Nur Wahyuni. Teori Belajar dan Pembelajaran (Malang: Arruz Media, 2008), 12
[15] Abdul Hamid DKK, Pembelajaran bahasa Arab (Pendekatan, Metode, Strategi, mater, dan Media) (Malang: UIN Press, 2008), 158
[16] Yayan Nurbayan, Pengembangan Materi Ajar Balaghah Berbasis Pendekatan Kontrastif.Pdf.(www.google.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar