Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak
akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya
dalam masa relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah,
tetapi dalam waktu relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah.
Adanya kemungkinan ini bukan berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam
sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja, yang disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya: perkembangan dalam bidang ilmu dan
teknologi, perkembangan sosial budaya, perkembangan pemakaian kata itu sendiri
dan pertukaran tanggapan indra.[1]
Dalam perubahan makna terjadi adanya penghalusan
kata dengan menggunakan kosakata yang memiliki sifat itu. Usaha menghaluskan
ini dikenal dengan nama eufimia atau eufemisme. Umpamanya, kata korupsi
diganti dengan ungkapan menyalahgunakan jabatan, kata pemecatan
diganti dengan pemutusan hubungan kerja, dan kata babu diganti
dengan pembantu rumah tangga dan kini menjadi pramuwisma.[2]
Eufimisme dapat disamakan dengan gaya bahasa yang
menggunakan ungkapan[3]
yaitu ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasa lebih
kasar yang dianggap merugikan atau yang tidak menyenangkan.[4]
Eufimisme merupakan gaya bahasa perbandingan yang mengganti satu pengertian
dengan kata lain yang hampir sama artinya dengan maksud untuk menghindarkan
pantang atau sopan santun.
Contoh:
·
Anak saudara kurang pandai, sehingga tidak naik kelas. (kurang pandai à bodoh)
·
Orang itu berubah akal. (berubah akal à gila)
·
Datuk itu sudah berlalu ke hutan. (datuk à harimau)
·
Maaf, saya ke belakang sebentar. (ke belakang à ke kamar mandi)
Di lihat dari contoh di atas, eufimisme dapat juga
disebut sebagai pemakaian kata-kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk
larangan atau tabu, misal frase kebelakang (untuk berak). Eufimisme dihadapkan
dengan gejala berupa tampilan kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap
memiliki makna lebih halus atau lebih sopan daripada yang akan digantikannya (Chaer,
2002). Dalam bahasa arab ungkapan halus atau sopan yang digunakan untuk berak
adalah إلى دور المياه . Dalam bahasa Indonesia penggunaan
penghalusan kalimat cukup banyak di antaranya frase ditangkap oleh aparat
keamanan diperhalus menjadi diamankan, kata pemecatan karyawan
diperhalus dengan rasionalisasi karyawan, frase harga naik
diperhalus menjadi penyesuaian harga. [5]
Kata-kata yang harus diperhalus tersebut disebut dengan الكلمات
المحظورة
dalam bahasa Arab, “Tabu” dalam bahasa Indonesia, dan “Taboo” dalam bahasa
Inggris sebuah kata yang berasal dari bahasa Polinesia yang diperkenalkan oleh
Kapten Cook dengan arti sesuatu yang dilarang, sedangkan kata-kata dan kalimat
yang sudah diperhalus itu disebut dengan istilah “Euphemistic word” atau الكلمات
المحسنة dalam bahasa Arab, sedangkan proses
penghalusannya disebut dengan “Euphemisme” atau تحسين
الألفاظ
dalam bahasa Arab.[6]
B.
Faktor Terjadinya Tabu
Sebuah bahasa mengalami proses yang sangat lama
sehingga disepakati dan diterima dengan makna tertentu. akan tetapi karena
perkembangan dan kemajuan terjadinya perubahan nilai dalam sebuah bahasa. Di
antara faktor penyebab terjadinya perubahan nilai dalam masyarakat yang
berakibat pada terjadinya tabu adalah sebagai
berikut: [7]
1. Faktor Agama
Setiap agama
mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang harus diikuti oleh penganutnya,
seorang penganut agama yang baik tentunya merasa nyaman dan santun melakukan
ajaran agamanya. Akan tetapi perbedaan agama membuat perasaan nyaman itu
hilang. Seorang kristiani akan merasa tidak nyaman kalau disuruh mengucapkan assalamu
alaikum wr wb, sedangkan bagai seorang muslim ucapan itu terasa indah dan
dianggap ibadah mengucapkannya. Demikian juga sebaliknya, seorang muslim akan
merasa tidak nyaman kalau disuruh mengatakan haleluya padahal buat
seorang kristiani, ungkapan itu sangat indah dan dianggap ibadah mengucapkannya.
2. Faktor Budaya
Budaya setiap
bangsa berbeda-beda. kadang masyarakat timur meminjam/mengadopsi kata dari
masyarakat barat guna memperhalus kata yang dianggap tabu. Misal menyebutkan Alat kelamin laki-laki yang di timur dianggap
tabu mengatakannya, dihaluskan dengan meminjam kata bahasa Inggris “penis”,
alat kelamin wanita yang di timur dianggap tabu, diperhalus dengan meminjam
kata bahasa Inggris clitoris, hubungan badan suami istri yang di timur
dianggap tabu, diperhalus dengan meminjam kata bahasa Inggris intercost.
3. Faktor Perbedaan jenis kelamin
Perbedaan jenis
kelamin mengakibatkan terjadinya perbedaan nilai, seorang wanita yang kodratnya
adalah halus, santun dan lemah lembut, akan terasa asing apabila ada wanita
yang cara bicaranya keras, dan kasar, sementara bagi seorang laki-laki
kadang-kadang kalau bicara pelan bisa-bisa menjadi bahan cemohan orang-orang.
4. Faktor Jabatan atan pendidikan
Orang yang tidak
punya jabatan dan pendidikan yang tinggi, akan merasa tidak nyaman bila namanya
disebut-sebutkan dan sebaliknya dia juga merasa tidak santun bila memanggil
orang dengan namanya. Orang yang punya jabatan dan berpendidikan tinggi akan
merasa tidak nyaman kalau namanya dipanggil berkali-kali dan diapun tidak akan
tega memanggil yang berpendidikan dengan namanya, tetapi selalu menggunakan
panggilan kehormatan, seperti pak Kiyai, dan pak RT. Beberapa suku di Indonesia
istri tidak merasa nyaman memanggil nama suaminya, akan tetapi di pihak lain di
Mesir, seorang isteri tidak merasa apa apa memanggil nama suaminya.
5. Faktor Emotif
Perasaan dan
emosi seseorang sangat besar pengaruhnya terhadap pergeseran dan perubahan
makna kata, seorang yang sedang sedih, akan merasa tersinggung dan sakit hati
bila mendengarkan kata yang sedikit menyinggung padahal buat orang lain
kata-kata itu masih dianggap biasa. Sebaliknya orang yang sedang gembira akan
mengabaikan kata-kata yang menyepelekan dia, dia akan menyebutkan penyebab
kebahagiaannya tersebut ke mana
saja. Orang yang latah yang menyebutkan hal-hal yang dia sukai dan yang dia
benci adalah karena faktor emotif ini.
6. Faktor Cacat Badan
Nyaris di semua
masyarakat yang berbudaya tidak akan merasa nyaman menyebut-nyebut cacat badan
orang lain, dan orang yang disebut cacatnya pun juga akan merasa tersinggung dengan
ucapan itu. Mereka selalu dipanggil dengan panggilan yang lebih baik dan lebih
santun.
7. Faktor Kesehatan mental dan Kepribadian.
Orang yang
mempunyai cacat mental, seperi orang yang tidak jujur, ketika dia berlaku jujur
dia akan merasa butuh dengan sumpah untuk mengatakan kebenarannya, dan dia
sangat nyaman dan lega dengan sumpah tersebut. Akan tetapi orang yang jujur,
tidak merasa butuh dengan sumpah, malah sebaliknya, bulu romanya bangun
mendengarkan orang berbicara sambil bersumpah-sumpah.
Tabu merupakan hal yang vital dalam linguis, meskipun
tidak seluruhnya, banyak hal kata yang ditabukan itu akan dilarang, dan kata
penggantinya eufimisme akan diintroduksikan untuk mengisi senjang itu. Menurut
Ullman, tabu bahasa dapat digolongkan menjadi tiga kelompok sesuai dengan
motivasi psikologis yang melatar belakanginya: sebagian terjadi karena
ketakutan, sebagian Karena perasaan nyaman, sebagian karena rasa hormat dan
sopan.[8]
1. Tabu karena ketakutan
Ketakutan
terhadap sesuatu atau makhluk adikodrati (supernatural) menimbulkan tabu untuk
menyebut namanya, seperti nama setan dan binatang-binatang yang disamakan
kedudukannya dengan roh-roh menumbuhkan banyak eufimisme. Kata “Belleta” (makna asal ‘wanita yang cantik’)
di Prancis menggantikan kata “kutu”. Di Jawa roh-roh yang dikeramatkan di adat
istiadat tertentu disebut dengan “Mbah”.
2. Tabu karena perasaan nyaman
Adanya kecendrungan manusia untuk
menghindarkan acuan langsung kepada hal-hal yang tidak menyenangkan. Kelompok
kata yang dipengaruhi oleh bentuk ini adalah nama cacat fisik, cacat mental,
dan tindak kriminal. Contoh kata “Korupsi” diganti dengan Kata “menyuap” atau “
uang pelicin”.
3. Tabu karena rasa hormat dan sopan.
Tiga hal yang termasuk dalam tabu
ini adalah hal-hal yang menyangkut seks, bagian dan fungsi-fungsi tubuh
tertentu dan cacian. Contoh kata bahasa Inggris Kuna “Sounas” adalah eufimisme
lain dari sumpah serapah “by God’s Wounds”. Di Indonesia kata “bajingan” lebih
dibelokkan menjadi “bajigur”.
C. Dampak
penghalusan kata
Penghalusan kata ini mempunyai dampak
sosio-psikologis yang positif, karena memperhatikan nilai etika dan sopan
santun dalam sutu masyarakat. Namun juga dapat berdampak negatif, karena
penghalusan makna kata ini dipolitisasi sedemikian rupa sehingga keluar dari
esensi makna yang sebenarnya. Contoh penghalusan berdampak negatif adalah dalam
kata korupsi di masa orde baru menjadi kesalahan prosedur atau kesalahan
administrasi.
Dan contoh penghalusan kata yang berdampak negatif dapat dilihat dalam penggunaan kata زوجة
yang diperhalus dengan kata حرم
dan عقيلة
.
kata عقيلة digunakan
dalam keadaan formal dan biasanya untuk isteri para pembesar (bangsawan), kata حرم lebih bersifat agak resmi, dan
kata زوجة
biasanya
digunakan oleh orang-orang yang berpendidikan yaitu dalam bahasa fusha.[9]
Penghalusan makna yang berdampak postif terdapat
dalam Al-Qur’an surah Al-Mujadilah ayat 3.
والذين يظهرون من نسآئهم ثمّ يعودون لما قالو
فتحرير رقبة من قبل أن يتماسا
ذلكم
توعظون به
والله
بما تعملون خبير (3)


“orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Frase يتماسا pada surah di atas lazim dimaknai menyentuh.
Hal ini dpat dibaca pada ayat lain yakni surah al-qomar ayat 48:
يوم يسحبون في النار على
رجوههم
ذوقوا مسّ سقر (48)

Kata مس pada ayat tersebut dapat diartikan sentuhan,
bukan hubungan seksual sebagaimana pada surah Al-Muzadilah ayat 3. Akan
tetapi frase يتماسا pada surah Al- Muzadilah
ayat 3 digunakan untuk memperhalus ungkapan hubungan seksual. Almahalli
(tanpa tahun) dan Alqurtubi (1964) dalam bukunya menafsirkan dengan الجماع yang keduanya berarti melakukan hubungan
seksual. Adalah suatu ungkapan kasar, apabila surah Al-Muzadilah ayat 3
tersebut menggunakan frase الوطء atau الجماع . dengan demikian, penggunaan frase يتماسا merupakan wujud penghalusan/eufimisme dari
frase الوطء atau الجماع .[10]
D. Penghalusan
kata dalam Al-Qur’an
Ketika Al-Qur’an turun, bangsa Arab berada dalam
puncak ketinggian sastranya, bahasa mereka terkenal sangat fasih dan baligh,
baik dalam berbicara maupun ketika berpidato. Bangsa Arab sering menggunakan
kinayah, tasybih, itnab untuk memperhalus kata-kata seperti yang diakatakan Abu
Halal Asykari:
الكلام
ألفاظ تشتمل على مععان تدل عليها وتعبر عنها، فيحتاج صاحب البلاغة إلى احابة
المعنى كحاجته إلى تحسين اللفاظ.[11]
Oleh sebab itu
tidak heran jika Alquran yang merupakan kitab suci buat orang muslim, mendukung
sepenuhnya fenomena euphemisme. Untuk menunjukkan perhatian tersebut, berikut
disampaikan beberapa contoh euphemisme dalam Alquran, sbb :[12]
1.
Kata-kata yang berkonotasi jorok,
seperti kakus, (الكنيف) oleh Alquran diperhalus
dengan kata الْغَائِطِ seperti
dalam surah Al-Maidah, 6
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا (المائدة، 6)
Artinya, : …Jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (WC) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang
baik (bersih)…(QS. Al Maidah. 6).
Ghaith
dalam bahasa Arab berarti “tempat
tertutup”, kata ini
adalah kinayah terhadap kakus (berkonotasi jorok), menjadi tidak berkonotasi
jorok lagi. Dengan demikian mengganti kata kakus dengan ghaith adalah
merupakan langkah maju dalam eufemisme.
Akan tetapi kata ghaith tersebut oleh orang Arab dikembangkan maknanya
sehingga bermakna buang air besar. Kata tersebut dipakai terus-menerus dengan
makna barunya, sehingga makna aslinya (tempat tertutup) terlupakan.
Dalam kontek ini
terjadi perubahan makna yang luar biasa, dimana ghaith dengan arti
buang air besar sudah beralih menjadi jorok. Kondisi ini mengakibatkan
seolah-olah kata ghaith itu adalah fenomena disfemia (pengkasaran dari
kata yang sudah halus) bukan fenomena euphemisme (penghalusan dari kata yang
kasar).
2.
Dalam Alquran kata jimak diganti
dengan kata, الرفث seperti terdapat dalam surah Al-Baqarah, 186
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُم (البقرة،
187)
Artinya :
Dihalalkan bagi kamu berhubungan
badan dengan istrimu di malam puasa.. (Al-Baqarah, 187).
Kata jimak,
berkonotasi tidak sopan dan vulgar, sedangkan rafats yang berarti
bercanda terkesan lebih halus dan tidak berkonotasi vulgar lagi. Oleh sebab itu
fenomena euphemisme berjalan dengan baik. Namun, kemudian, oleh bangsa Arab
kata rafats tersebut dikembangkan maknanya menjadi berhubungan badan.
Lambat laun penggunaan tersebut menguat dan pada akhirnya diterima di kalangan
luas, dan kata rafats pun dianggap sebagai kata asal untuk makna
hubungan badan, sedangkan kata asal dilupakan.
Kondisi seperti
inilah yang membuat pihak-pihak yang tidak mengetahui proses perubahan makna
tersebut menuding bahwa Alquran berisi kata-kata porno.
3. Kata jimak, yang
berkonotasi vulgar diperhalus dengan kata باشـر
seperti dalam surah Al-Baqarah, 187
فالئن باشـروهن .... ولا
تباـشروهن وانتم عاكـفون في المساجد (البقرة، 187 )
Artinya, Maka
sekarang kontaklah langsung dengan mereka … janganlah kamu kontak langsung
dengan mereka di saat kamu beri’tikaf dalam masjid (QS. Al-Baqarah, 187).
Kata jimak,
berkonotasi tidak sopan dan vulgar, sedangkan basyiru yang berarti
kontaklah terkesan lebih halus dan tidak
berkonotasi vulgar lagi. Oleh sebab itu fenomena euphemisme berjalan dengan
baik. Namun, kemudian, oleh orang Arab kata basyiru tersebut
dikembangkan maknanya menjadi berhubungan badan. Lambat laun penggunaan
tersebut menguat dan pada akhirnya diterima di kalangan luas, dan kata basyiru
pun dianggap sebagai kata asal untuk makna hubungan badan, sedangkan kata asal dilupakan.
Selain itu kata
jimak (جماع) juga di perhalus dengan kata إفضاء، والغشيان واللمس yang terdapat pada firman Allah berikut:[13]
وقد أفضى
بعضكم إلى بعض (QS. An-Nisa, 21)
Artinya: “Padahal sebagian kamu telah
mendatangi sebagian yang lain”
فلما تغشاها
حملت حملا خفيفا
أو لمستم النساء (QS. Al-Maidah, 6)
Artinya: “Atau kamu
menyentuh perempuan “
4.
Kata yang menunjukkan alat kelamin
wanita, yang terkesan vulgar diperhalus dengan kata فرج
seperti tertera dalam surah Al-Nur, 31 sbb:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ (النور:31)
Artinya :
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, ...(QS. An-Nur: 31).
Nyaris di seluruh suku bangsa di
dunia tidak ada yang merasa nyaman menyebutkan nama alat kelamin wanita, tetapi
semua menggantinya dengan nama lain, dalam hal ini Alquran menggunakan kata
faraj, yang dalam arti kamusnya adalah belahan dan jalan keluar. Pada awalnya
kata ini sudah tidak mengandung makna vulgar dan nyaman dituturkan walaupun di
depan khalayak ramai. Akan tetapi karena orang Arab menggunakannya secara
meluas dengan makna alat kelamin wanita, maka kata aslinya terlupakan, dan
seolah-olah faraj itulah kata asli untuk kelamin wanita, dan pada gilirannya
beralih menjadi vulgar. Kondisi inilah yang membuat sebagian kalangan
mengatakan bahwa Alquran berisi kata-kata porno.
Hal yang sama juga terjadi pada alat
kelamin laki-laki, yang berkonotasi vulgar diganti dengan kata ذكر yang berarti laki-laki.
Kata ini sudah terkesan tidak vulgar lagi dan sudah nyaman dituturkan. Akan
tetapi karena pemakaiannya yang meluas, mengakibatkan orang Arab melupakan
makna asalnya dan menganggap makna asalnya adalah kelamin laki-laki, sehingga
terkesan kembali vulgar dan tabu.
E. Penyampaian
eufimisme dalam pembelajaran bahasa Arab
Allah
telah memberikan akal kepada manusia sebagai pembeda dengan makhluk lainnya.
Manusia mempunyai keistimewaan, sehingga dengan akalnya manusia bisa mencari
tahu segala hal yaitu dengan Ilmu. Allah dalam Al-Qur’annya berfirman “Iqro!”
(Al-Alaq:1) menyebutkan pentingnya membaca, pena dan ajaran untuk manusia.
Firman tersebut menyatakan untuk manusia giat mencari ilmu dengan belajar,
karena belajar dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan kualitas
hidupnya.[14]
Pembelajaran
bahasa arab adalah salah satu pembalajaran bahasa yang terpenting kedua setelah
bahasa Ingris. Bahasa arab merupakan bahasa Al-Qur’an di mana sebagai
masyarakat penganut agama Islam wajib untuk mempelajari dan memahami bahasa
arab. Pembelajaran bahasa arab juga mempunyai tujuan tertentu yaitu (1)
pembelajar dapat menghargai dan mengembangkan bahasa Arab sebagai salah satu
bahasa dunia yang penting untuk dipelajari. (2) pembelajar memahami bahasa Arab
dari segi bentuk, makna dan fungsi serta menggunakannya untuk tujuan, keperluan
dan keadaan. (3) untuk menigkatkan intelektual (4) memiliki disiplin dalam
berpikir dan berbahasa (5) mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
mengembangkan keperibadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa. (6) menghargai dan membanggakan sastra
arab sebagai khasanah budaya dan intelektual dengan beberapa tujuan tersebut
diharapkan.[15]
Secara
umum keberhasilan pembelajaran tersebut ditentukan oleh beberapa variabel diantaranya
guru, siswa, sarana, prasarana, dan kurikulum. Dalam proses pembelajaran
tersebut, guru memegang peranan penting yaitu sebagai aktor, artinya guru
bertugas dan bertanggung jawab merencanakan dan melaksanakan pengajaran di
Sekolah. Guru harus memilikj kemampuan untuk mengaplikasikan teori belajar
dalam bidang pengajaran, kemampuan memilih dan menerapkan metode pengajaran
yang efektif dan efesien, kemampuan melibatkan siswa bepartisipasi aktif dan
kemampuan membuat sarana belajar yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Dalam
pembelajaran terdapat persamaan antara aspek-aspek Balaghah yang terdapat dalam
bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Aspek-aspek
yang mempunyai persamaannya dalam kaidah bahasa Indonesia adalah: majaz (alegori),
kinayah (alusio), tasybih (simile), isti’arah (metapora
dan sinestesia), kinayah sifat (antonomasia), majaz mursal (aptronim),
majaz mursal (metonimia), mubalaghah (hiperbola), isti’arah
(personifikasi), majaz mursal (pars pro toto), kinayah sifat (antonomasia),
kinayah sifat (eufimisme), ithnab (perifrase), idhafah (eponim),
ta’kidul madh bima yusybihu dzam (afopasis), ithnab bit taukid
(repetisi), ithnab mumil (pleonasme), dan saja (paralelisme).
Gaya bahasa ithnab dalam bahasa Arab mempunyai variasi yang banyak, sebagian
dengan pengulangan dan sebagian lagi dengan badal. Dengan ditemukannya
persamaan-perbedaan antara aspek gaya bahasa (balaghah) antara bahasa Arab
dengan bahasa Indonesia merupakan bahan yang cukup penting untuk pengembangan
bahan ajar mata kuliah Balaghah. Hasil uji coba menunjukkan bahwa sebagian
besar mahasiswa merasa lebih mudah memahami Balaghah dengan menggunakan
pendekatan kontrastif .[16]
Dalam pembelajaran bahasa Arab, seorang guru adalah
teladan yang baik. Dalam cara penyampain pelajaran hendaknya guru juga memberi
teladan untuk mencerminkan akhlak dan kesopanan dalam setiap perilaku dan
perkataan. Di sini eufimisme sangat
berperan, di harapkan guru dapat menjelaskan
dari bermacam-macam makna yang ada dalam suatu
kata, agar mereka tidak salah dalam memahami dan
menggunakan suatu kata
dalam percakapan mereka, memberi
pengertian mengenai pemakaian kata yang disesuaikan pada tempatnya, memberi
penjelasan menganai kata-kata yang diperhalus dan kata yang sudah tabu untuk
diucapkan pada suatu konteks tertentu. Dengan
begitu siswa
dapat mengetahui dan menggunakan kata-kata bahasa arab maupun non bahasa arab
yang sudah diperhalus sesuai pada tempatnya.
Memberi pembelajaran
bahasa Arab hendaknya guru dituntut kreatif dalam menyampaikan materi eufimisme,
apalagi mengenai eufimisme dalam Al-Qur’an. Di mana kata eufimisme terkadang
masih dianggap kasar oleh beberapa masyarakat. Hal ini karena kata eufimisme
sudah sering digunakan dan lambat laun akan kembali menjadi kata yang kembali
tabu untuk digunakan. Pembelajaran tersebut dapat menggunakan model berkelompok dan bermain kartu,
menggunakan media gambar, dan juga
menggunakan media audio visual seperti video yang menayangkan cerita yang di
dalamnya terdapat pemakaian eufimisme dalam bahasa arab. Kemudia
mengajak siswa untuk menulis kata-kata tersebut dan mengingatnya, kemudian
menggunakan kata-kata tersebut dalam praktek atau dalam kegiatan di kelas.
[1] Abdul Chaer, Linguistik
umum (Rineka cipta: Jakarta, 2007), 310
[2] Ibid, 315
[3]
www.Macam-macam Majas.htm (diakses Desember 2010)
[4]
www.Harry’s Info.htm (diakses Desember 2010)
[5]Moh
Ainin dan Imam Asrori, Semantik
Bahasa Arab (Hilal: Malang, 2008), 135
[8] Stephen Ullman, Pengantar
Semantik, ter. Sumarsono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 259
[9] Ahmad Mukhtar Umar, Ilmu
Ad-Dalalah (Kairo: Alimatu Al-Kutub, 1988), 228
[10]
Semantik bahasa arab, Moh Ainin dan Imam Asrori (Hilal: Malang, 2008),137
[11] Abdul Ghafar hamid
Hilal, Ilmu Ad-Dalalah Al-Lughawiyyah (Jami’ah Al-Azhar: Kairo, Tanpa tahun), hal 83
[13] Ahmad Qolasy, Taysiru
Al-Balaghah (Madinah: At-Thab’atu Ats-Staniyah, 1995), Hal 124
[14] Baharuddin dan Nur Wahyuni. Teori Belajar dan Pembelajaran (Malang:
Arruz Media, 2008), 12
[15] Abdul Hamid DKK, Pembelajaran bahasa Arab (Pendekatan, Metode,
Strategi, mater, dan Media) (Malang: UIN Press, 2008), 158
[16] Yayan
Nurbayan, Pengembangan Materi Ajar Balaghah Berbasis Pendekatan
Kontrastif.Pdf.(www.google.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar