Minggu, 31 Mei 2015

Pengertian Nahwu dan Sekelumit Sejarah Kemunculannya


Menurut Ahmad al Hasyim, nahwu secara etimologi berarti maksud, arah dan ukuran. Adapun secara terminologi nahwu adalah aturan (dasar hukum) yang digunakan untuk memberi baris (syakal) akhir kata sesuai dengan jabatannya masing-masing dalam kalimat agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan, baik bacaan maupun pemahaman.[1]
Nahwu pertama kali digagas oleh Imam Ali bin Abi Thalib untuk memudahkan bagi orang Arab maupun non Arab untuk belajar bahasa Arab. Kemudian gagasan ini dikembangkan oleh Abul Aswad ad Duwali (w. 69 H). selanjutnya dimulai penyusunan pokok-pokok nahwu yang dipelopori oleh Abd al Rohman bin Harmez dan Nasr bin Hasyim. Keduanya murid dari Abu al Aswad ad Duwali.[2]
Pada abad ke- 2 Hijriyah nahwu dikembangkan oleh Al Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.175 H) dengan mematangkan teori nahwu yang disusun Sibawaih (w.180 H) yang nota bene sebagai murid Al Khalil sendiri. Langkah tersebut diikuti oleh Al-Akhfash al-Ausath (w.211 H) dan Al- Mubarrid (w. 286 H) dan ulama-ulama lain yang berkembang di Negara Bashrah yang digolongkan menjadi al-Nuhat al-Bashariyun. Kemudian lahirlah kitab-kitab nahwu sebagai karya-karya monumental seperti Alfiyah Ibnu Malik, Alfiyah Al Suyuthi dan Alfiyah Ibnu Mu’thi. Nahwu juga mengalami perkembangan dan kejayaan di daerah Kufah diaantara ulama-ulama yang mengembangkannya adalah Al-Kisai (w.189 H), Al-Farra’ (w.208 H) Tsa’lab (w. 291 H) dll yang selanjutnya dikenal sebgai al–nuhat al-Kufiyun.[3]
Pasca perkembangan di Bashrah dan Kuffah sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Madaris al-Nahwiyah nahwu mengalami kemajuan di Bagdad, Andalus dan Mesir. Pereode ini nahwu sudah mengalami efesiensi dan reformulasi seperti yang disusun oleh Ibn Jinny (w. 392 H) di Bagdad, Ibn Madha Al-Qurtuby (w. 592 H) di Andalus, Al-Sayuthi (911 H) di Mesir.[4]
B. Urgensi Nahwu dan Kesulitan-kesulitannya
Nahwu disusun disamping untuk memudahkan orang untuk mempelajari Bahasa Arab juga dapat sebagai alat bantu agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam penggunaan Bahasa Arab sebagai alat komunikasi baik tulisan maupun lesan. Karena terjadinya kesalahan tidak hanya berakses terhadap kesulitan audience/orang kedua dalam memahami pesan, tetapi juga merubah makna pesan dari yang dimaksud oleh penyampai pesan.[5] Sehingga siapapun yang belajar atau mengajar Bahasa Arab, mutlak untuk memahami struktur sintaksis (nahwu) maupun morfologi.[6] Senada dengan itu, Ahmad Fuad Effendi menerangkan bahwa pengajaran tata bahasa (nahwu shorof) berfungsi sebagai penunjang tercapainya kemahiran bahasa, selanjutnya dikatakan tata bahasa bukan tujuan, melainkan sarana untuk dapat menggunakan bahasa dengan benar dalam komunikasi.[7]
Mayoritas orang yang belajar nahwu merasa kesulitan dalam menguasai materi nahwu, khususnya non Arab, hal tersebut dikarenakan materi nahwu yang cukup banyak dengan aturan–aturan yang sangat rumit. Muhammad Abd al-Syahid Ahmad memformulasikan beberapa kesulitan itu disebabkan karena;
Pertama: banyaknya topik-topik pembahasan materi nahwu yang antara satu sama lain memiliki perbedaan yang tipis seperti: maf’ulmuthlaq, maf’ul ma’ah, maf’ul li ajlih dan lain-lain.
Kedua: contoh-contoh yang dipakai dalam menjelaskan materi adalah contoh-contoh yang tidak situasional dan jauh dari kehidupan sehari-hari peserta didik.[8]
Menurut Ibnu Madha al Qurtubhi (w. 592 H), ada empat faktor penyebab sulitnya belajar nahwu., pertama: adanya teori amil (perubahan harakat atau sakl di akhir kata, kedua: adanya teori ‘illat tsawani dan tsawalits (alasan dari pemberian sakl), ketiga teori qiyas (mencari kesamaan tentang alasan perubahan harakat pada kata) dan keempat teori al Tamarin al Muftaridhah (kaidah-kaidah perubahan huruf dalam sebuah kata.[9]
Dr. Syauqi Dzayf dalam kitabnya Tajdid al-Nahwi menambahkan uraian tentang beberapa kesulitan yang ada dalam kaidah nahwu di antaranya; teori istighal, teori I’rab taqdiri dan mahalli, teori an masdariyah muqoddaroh dan lain sebaginya dengan penjelasan lengkap tersaji dalam sub bab usaha-usaha penyederhanaan nahwu.[10]
Kesulitan khusus yang dihadapi pembelajar Bahasa Arab Indonesia tentang nahwu adalah adanya perbedaan yang kontras antara Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia. Perbedaan yang terpenting dapat penulis kelompokkan dalam 4 hal, yaitu :
1. Adanya aturan cara membaca/ mengucapkan kata di akhirnya dan adanya perubahan bacaan yang disebabkan amil. Misalnya: رايت عمرا , جاء عمر
2. Perbedaan struktur kalimat nominal dan verbal, perbedaan aturan itu akan mempengaruhi pula dalam memahami bahasa Arab, misalnya ذ هب احمد الى السوق
maka arti yang menurut susunan Bahasa Indonesia adalah Pergi Ahmad ke pasar. Dan ini janggal menurut Bahasa Indonesia.
3. Perbedaan pola kalimat
- Pola penyusunan kata tunjuk, misalnya هذا القلم جميل berbeda dengan قلم جميل هذا
- Pola pendahuluan obyek, misalnya السيارة سيركبها احمد (O-P-S) pola ini asing dalam Bahasa Indonesia
4. Adanya persesuaian antara kata dalam kalimat
a. Kesesuaian I’rab/ harokat/ bunyi kahir kata , contoh  كتاب جميل، كتاب جميلا
b. Kesesuaian jenis kata contoh kata كتاب جميل, مدرسة جميلة
C. Usaha- Usaha Penyederhanaan Nahwu
1. Menurut Konsep Ibnu Madha al Qurtuby
a. Membuang teori amil, menurutnya praktek analisis amil ini sangat menyulitkan siswa, karena pengucapan kata dalam kalimat tergantung kepada orang yang mengucapkannya.[11] Amil adalah kata yang mempengaruhi harokat atau huruf (I’rab) pada kata sesudahnya dalam bentuk rofa’/ dzomah dan sebangsanya, nashob/ fathah dan sebangsanya, jazm atau sukun dan sebangsanya dan jar/ kasroh dan sebangsanya. Amil ini ada yang tampak/ lafdzi dan tidak tampak/ ma’nawi.[12] Teori amil ini dianggap membingungkan siswa, sehingga praktek analisis filosofis seperti ini oleh Ibnu Madza tidak efisien maka perlu untuk dikesampingkan.
b. Mengilangkan illat tsawani dan tsawalits, karena illat ini sangat menguras pikiran siswa dan sebenarnya tidak diperlukan dalam kelancaran dan kefasihan berbicara. Illat adalah alasan, maksudnya alasan-alasan yang diberikan dalam menganalisa kalimat dalam strukturnya, Illat tsawani maksudnya dua alasan secara bertingkat contoh المسلمون يصلون, lafadz يصلون dibaca rafa’ karena tidak adanya amil/ tajjarud, tanda rafa’nya nun/ tetapnya nun. Alasan diatas belum selesai yang diteruskan dengan satu alasan lagi nun yang digunakan sebagai tanda rafa’ dikarenakan يصلون termasuk af’al al-khamsah.
Seiring dengan itu cukup mengetahui illat awal saja, misalnya كتب المدرس
الدرسdan kata المدرس mempunyai jabatan sebagai fa’il saja, tidak lebih dari itu, tidak perlu diberi alasan dibaca rofa’ dengan tanda dzommah karena isim mufrad/ tunggal dan lain-lain.[13]  Dan alasan di atas bisa bertingkat menjadi tiga alasan/ illat tsawalist contoh :كتب المدرس الدرس kata المدرس dibaca rafa karena ada fi’il, maka dia sebagai fa’il. Karena fa’il itu sedikit( satu jenis) maka dibaca rofa’ sedangkan الدرس sebagai maf’ul bih dibaca nasab karena maf’ul bih bisa berkembang menjadi beberapa jenis. Sementara setiap yang banyak, seperti maf’ul bih diberi harakat fathah/ nashab. Menurut Ibn Madha illat kedua dan ketiga di atas dapat melelahkan fikiran yang tidak mempengaruhi kefasehan berbicara sama sekali.[14]
c. Menghilangkan teori Qiyas karena teori ini sulit dicerna oleh siswa pemula dan bila fi’il mudzarik dii’rab cukup diberi alasan karena tidak didiringi nun taukid atau nun niswah.[15]
Qiyas berarti dikiaskanl, maksudnya ketika fi’il mudzari dapat menerima tanda I’rab dikarenakan dengan isi, pengkiasan itu didasarkan pada dua ha, pertma fiil mudzari dapat dikhususkan dengan me
nambah huruf sin maka menjadi khusus untuk zaman yang akan dating demikian juga sama dengan isim yang bisa dikhususkan dengan al. Kedua, fiil mudzarik dapat menerima lam ibtida’ sebgaimana isim. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan masalah.[16]
d. Membuang analisa Tamarin iftiradziyah/ I’lal/ ibdal karena hal itu tidak diperlukan dan hanya akan menambah masalah bila dipaksakan.[17]
Tamarin iftiradhiyah berarti latihan yang dibuat-buat, misalnya kata بيع berwazan فعل bisa dibaca بوع yang aslinya بيع atau dikenal dengan istilah ibdal dan I’lal yang akan menyita banyak energi.
2. Menurut Konsep Dr. Syauqi Dhayf
a. Mereformulasi bab-bab nahwu
Yaitu menyusun kembali beberapa bab yang tumpang tindih dan menambah bab-bab yang penting seperti dijelaskan sebagai berikut :
1) Bab كان واخوتها hendaknya dimasukkan pada bab fi’il lazim. Teori merofa’kan isim dan menasobkan khobar diubah total. Istilah isimnya menjadi failnya dan istilah khobarnya menjadi hal saja.[18]
2) Bab كاد واخوتها / af’al muroqobah hendaknya juga dimasukkan pada bab fi’il lazim. Teori merofa’kan isim dan menasobkan khobar diubah total. Istilah isimnya menjadi failnya dan istilah khobarnya menjadi maf’ul bih/ obyek.[19]
3) Bab لات, لا, ما juga dimasukkan pada bab fi’il lazim, karena huruf-huruf tersebut huruf naïf yang disamakan dengan ليس yang termasuk juga saudara dari كان واخوتها. Khusus pada ما proses ما زيد مسافرا berasal dari ما زيد بمسا فر yaitu ada proses membuang huruf jar atau naz’u al-khafadz.[20]
4) Bab ظن واخوتها dan علم واخوتها dimasukkan pada bab Fiil muta’adi, teori isim dan khobarnya menjadi dua maf’ul bih/ obyeknya. Perbedaan keduannya kalau dzonna maksimal membutuhkan 2 obyek sedangkan ‘alima bisa lebih dari dua obyek dan lain-lain.[21]
b. Menghapuskan analisis kata/ I’rab yang filosofis baik taqdiry maupun mahalliy
Contoh dari analisa taqdiriy adalah جأء الفتى dibaca rofa tanpa harus menyebutkan rofa’ muqoddar yang aslinya dzommah. Sedangkan contoh dari nalisa mahally adalah زيد يكتب الدرس jumlah يكتب الدرس adalah mahal roaf’ sebagi khobar jumlah dari Zaid. I’rab taqdiriy juga terjadi pada jumlah yang mengandung dzaraf/ kata keteranagn, dan jar majrur. Jumlah tersebut dasumsikan mempunyai ta’aluq ke fi’il atau isim fa’il yang di kira-kirakan/ taqdirkan (istaqarra). I’rab taqdiriy juga terjadi pada fiil mudzari’ yang diawali oleh amil nawasib seperti  كي, لام كي, لام
تعليل, لام جحود ,حتي.dan او diperkirakan ada huruf an mudzara’ah yang
muqaddar.[22]
c. Reorientasi analisa kata (I’rab) yang tidak efisien guna menunjang kemampuan berbicara. Aplikasi I’rab yang tidak efisien tersebut adalah : bab ististna’, bab adawat syarat, kam istifhamiyah dan khabariyah, kata لاسيما dan ان yang dibaca sukun.[23]
d. Redefinisi sebagian topic-topik pembahasan Materi Nahwu
Menurut Dr. Syauqi Dzaif paling tidak ada dua definisi topic pembahsan materi nahwu yang perlu diperbaharui, yaitu bab Maf’ul Mutlaq dan Maf’ul ma’ah.
Maf’ul mutlaq adalah isim yang menguatkan amilnya misalnya كتبت كتابة, menjelaskan macamnya misalnya عمل عمل المخلصينdan menjelaskan jumlahnya نوع
نظر محمد نظرتين .Hal ini belum lengkap menjelaskan aspek lain yang semestinya bisa masuk dalam ruang lingkup maf’ul mutlaq, misalnya penggantian dengan kata yang semakna seperti قام وقوفا, dan juga sifatnya seperti قرأت كثيرا, dan juga mengganti isim isyarahnya misalnya فهمه ذلك الفهم, atau alatnya misalnya ضربه عصا. Sehingga maf’ul mutlaq bisa didefinisikan : Isim yang dinashabkan yang berasal dari kata kerja yang berfungsi untuk memperkuat, mendiskripsikan, dan menjelaskan amilnya pada masalah muradifnya, apa yang ditunjuk oleh amil,jumlahnya dan alatnya.
Sedangkan untuk maf’ul ma’ah agar bisa dibedakan dengan bab ‘athaf ma’thuf maka didefinisikan : Isim yang dibaca nashab yang diikuti واو bukan athaf yang bermakna ma’a.[24]
e. Membuang topic-topik tambahan yang tidak penting yang bersifat furu’
Topik-topik yang sifatnya hanya sebagai pelengkap menurut Dr. Syauqi Dzaif adalah : Bab Tahdzir/ peringatan اياك الكسل, Bab ighra’/ ajakan  الدرس الدرس يا غئشyang berartiالزم الدرس, dan tarhim/ pembuangan huruf terkhir.[25]
f. Penambahan topic yang dianggap signifikan
Di antara topic –topik yang perlu ditambahkan diantaranya : pemeblajaran sisitem fonologi, yang meliputi :
a. Makhraj/ keluarnya huruf dari mulut hubunganya dengan harakat, tanwin, maupun tasdid, b. Perbedaan antara huruf layin dan madd, c. Perbedaan hamzah qatha’ dan hamzah washal, d. Perbedaan al syamsiyah dan al Qamariyah. Istilah-istilah tersebut biasa dikenal ilmu tajwid dalam pembelajaran al Qur’an.[26]
D. Penyederhanaan Nahwu di Indonesia
Seiring dengan perkembangan tujuan pengajaran bahasa Arab di Indonesia, berkembang pula metode pengajaran bahasa Arab. Para ulama dan intelektual muslim yang belajar di pusat-pusat pendidikan di Timur Tengah terutama Mesir, setibanya di tanah air banyak membawa semangat pembaharuan yang tengah melanda negeri-negeri tersebut.
Menurut A. Fuad Effendy, sejak awal abad 19 di Padang Panjang, Madrasah Adabiyah (1990) dimotori oleh Ustadz Abdullah Ahmad, di Diniyah Putra (1915) dimotori oleh dua bersaudara Zaenudin Labay El Yunusi dan Rahman Labay El Yunusiyah, di Normal Schrol (1931) dipimpin oleh Ustadz Mahmud Yunus kemudian dikembangkan oleh KH. Imam Zarkasyi di Kulliyatul Mu’allimin Al Islamiyah Gontor Ponorogo. Pembelajaran Bahasa Arab diterapkan metode langsung (Thariqoh Mubasyiroh) yaitu ilmu tata bahasa (nahwu shorof) diberikan dalam Bahasa Arab dengan metode induktif, di samping latihan intensif qira’at, insya’ dan muhadatsah.[27]
Menurut Fuad Effendi sendiri pengajaran nahwu / tata bahasa di Indonesia dilakukan dengan pendekatan dan metode mutakhir, yaitu dengan tiga latihan yang diformulasikan dalam bentuk metode elektik, yaitu gabungan antara metode audio lingual dan metode komunikatif. Ketiga latihan tersebut adalah Latihan mekanis, Latihan bermakna dan Latihan komunikatif.[28]



[1]Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, /Al- Qawa’id al Assasiyat li al-Lughat al-Arabiyah, hal.6-7
[2] Ahmad Afify. Al Mandzumah Al Nahwiyah al- Mansubah li Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy. hal. 53
[3]Op.it. hlm. 11
[4] Dr. Syauqi Dzaif/, Al-Madaris Al- Nahwiyah, hal. 15
[5] Sakholid Nasution, Reformulasi….hal. 24
[6] D. Hidayat. Pelajaran Bahasa Arab Madrasah Tsanawiyah Kelas 2/ hal. 57
[7] Ahmad Fuad Effendy.Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. hal. 82
[8] Muhammad Abd. Al_syahid Ahmad, Thuruq Ta’lim Qawa’id al-Lughat al-Arabiyah, hal. 172
[9] Syauqi Dhayf (ed). Kilab al- Radd ala al- Nuhat li Ibn Madha al- Qurtubhi. hal. 24-46
[10] Op.cit
[11] Op.cit. hal. 35
[12] Al-Syaikh Musthafa Ghalayaini, /Jami’ud Durus al–Arabiyah hal 273. Penjelasan lengkap lebih lengkap lagi bisa dilihat dalam Muhammad al-Tunjy dan Raji al Asmar, Al mu’jam al-Mufashal fi Ulum al-Lughah al–Lisaniyat , hal 399-400 Penjelasan tentang rofa’, nasob, jazm dan jar ada dalam Jami al-Durus al-Arabiyah hal 18
[13] Syauqi Dhayf (ed). Kilab al- Radd ala al- Nuhat li Ibn Madha al- Qurtubhi, hal. 36
[14] Ibid. hal. 36
[15] Ibid. hal. 38-40
[16] Ibid. hal. 38
[17] Ibid.  hal. 43-46
[18] Dr. Syauqi Dzaif, Tajdid al-Nahwi, hal. 12
[19] Ibid. hal. 16
[20]Ibid.  hal. 14
[21]Ibid.. hal. 16
[22] Op.cit. hal. 23-24
[23]  Ibid.  hal. 26-30
[24]  Ibid. hal. 30-34
[25]Op.cit. hal. 34-41
[26]  Ibid. hal. 41-43
[27] Ahmad Fuad Effendy. /Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. hal. 24
[28] Ibid.  hal. 83-95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar