A. Pendidikan Bahasa Arab Pada Nabi Muhammad
saw (611M-634M)
Masuknya Islam ke jazirah arab yang di bawa oleh nabi Muhammad saw
membawa dampak atau pengaruh yang sangat kontras terhadap kebiasaan-kebiasaan
arab pra Islam atau arab pada masa jahiliyah disegala segi kehidupannya, baik
dari segi kekuasaan, bahasa dan sastra , dan keilmuan.
Dari segi bahasa dan sastra, bangsa arab yang awalanya
berlomba-lomba dalam pembuatan syair yang berisi tentang kebanggaan dan
persaingan antar kalibah atau keturan, maka setelah datang Islam kebiasaan ini
hampir tak terlihat lagi, dan berganti pada syair-syair yang berisi
pujian-pujian kepada Allah SWT. Dan dengan diturunkannya alqur'an kepada bangsa
arab juga menambah makna dari kosa kata bahasa arab itu sendiri, contohnya:
kata "mukmin yang pada masa jahiliyah diartikan untuk orang yang dapat
dipercayai atau orang yang berlaku jujur, maka setelah datangnya Islam, kata
mukmin di fokuskan untuk membedaakan anatara mu'min dan kafir, majusi, nasrani.[1]
Pada masa pembinaan umat Islam yang berlangsung pada zaman nabi
Muhammad, pendidikan Islam berarti memasukan ajaran Islam ke dalam unsur-unsur
budaya bangsa arab pada masa itu, sehingga
diwarnai oleh Islam. Dalam pembinaan tersebut ada beberapa hal yang
terjadi, salah satunya yaitu adakalanya Islam mendatangkan sesuatu unsur yang
sifatnya memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada, seperti
al-Qur’an. al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi pada saat itu untuk dilafalkan dan
dipelajari oleh umatnya pada masa itu adalah memperkaya unsur budaya sastra Arab
yang pada masa itu mempunyai tinggkatan yang tinggi. Kalau pada mulanya mereka
mempunyai kebanggaan untuk membaca dan menglafalkan sya’ir-sya’ir yang indah,
maka dengan didatangakan al-Qur’an yang tidak akan kalah keindahannya dari segi
sastra itu, berarti mereka merasa unsur budaya mereka diperkaya dan
disempurnakan.[2]
Turunnya al-Qur'an dengan susunan bahasa yang sangat indah dan
sangat dalam maknanya pada masa itu menjadi suatu bandingan yang tak
tertandingi di kalangan arab, sehingga ini membuktikan bahwa al-Qur'an bukanlah
buatan Muhammad melainkan wahyu dari pencipta alam semesta. Keindahan
bahasa al-Quran menjadi salah sattu
penyebab masuk Islamnya para sahabat. Salah satunya adalah Umar bin Khatab. Gaya
bahasa dan makna yang terkandung dalam al-Qur'an menjadi penyebab bergetarnya
hati umar ketika mendengarnya dan akhirnya bersaksi kepada Allah dan RasulNya.
Dalam proses selanjutnya, ketikan nabi mulai menyebarkan dakwah dan
mengajarkan al-Qur'an suatu kebijakan Nabi Muhammad SAW yang patut dicatat
dalam mengahadapi keragaman dialek dari suku-suku bangsa Arab yang ada pada
masa itu adalah ketetapannya dalam memperbolehkan al-Quran dibaca tujuh huruf,
yang dimaksud dengan huruf adalah cara membaca atau mengucapkan huruf-huruf
yang tertentu yang berbeda antara suku bangsa yang satu dengan yang lain dan
tujuh huruf yang dimaksudkan adalah dialek-dialek yang berlaku pada suku-suku
bangsa Arab pada saat itu. Nabi Muhammad SAW membacakan al-Quran dengan tujuh
huruf tersebut adalah pada waktu sesudah hijrah ke Madinah, sedangkan pada
waktu sebelumnya al-Quran dibacakan hanya dengan dialek Quraisy karena Alquran
pada masa itu diajarkan kebada sebagian suku Quraisy yang Islam. Setelah di
Madinah ajaran Islam diterima oleh berbagai macam suku bangsa Arab yang
mempunyai dialek yang berbeda dengan dialek Quraisy, dan diperbolehkan membaca
al-Quran dengan dialek yang dikalangan uamat islam pada saat itu asal tidak
mengubah kalimat dengan susunan yang sudah pasti sebagaimana diajarkan olehnya,
sehingga tidak pula mengubah arti dan tujuan.[3]
B. Pendidikan Bahasa Arab Pada Nabi Sahabat dan
Tabi'in (613M-1258M)
Bangsa
Arab pada awalnya merupakan bangsa yang memiliki keahlian dalam menggunakan dua
bahasa sekaligus, yakni bahasa fasih dan bahasa dialek.. Saat sedang bersantai
dengan keluarga misalnya, mereka menggunakan bahasa dialek. Namun apabila pada
saat yang lain mereka harus menggunakan bahasa fasih, mereka pun sanggup
melakukannya secara sempurna. Al-Qur’an dan sabda Nabi juga disampaikan dalam
bahasa Arab yang fasih.
Setelah
Islam berhasil melakukan futuh ke berbagai negeri ajam (non Arab), bangsa Arab
mau tidak mau harus bergumul dengan bangsa-bangsa yang tidak berbahasa Arab
tersebut. Akibat pergumulan yang berlangsung secara intens dan dalam waktu
lama, bahasa Arab mulai terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Orang-orang non
Arab berusaha untuk berbicara dalam bahasa Arab namun mereka melakukan banyak
kekeliruan. Orang Arab sendiri sedemikian toleran atas berbagai kekeliruan
berbahasa Arab, baik yang dilakukan oleh orang non Arab maupun oleh orang Arab
yang baru belajar berbahasa. Saat itu, kesalahan bukan hanya dilakukan oleh
orang awam namun juga oleh orang-orang terpelajar dan para sastrawan.
Dikisahkan, bahkan Al-Hajjaj, seorang yang sangat mahir berbahasa, juga sempat
melakukan kesalahan. Banyaknya kesalahan, terutama dalam mengucapkan ayat-ayat
Al-Qur’an.[4]
Ketika juga mulai
menyebar ke negeri Persia
dan Romawi, dan terjadinya pernikahan orang Arab dengan
orang non Arab,
serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa
non Arab. Orang yang fasih bahasanya
menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga
keindahan bahasa Arab menjadi hilang.
Pada masa Umar bin Khattab, bahasa yang keliru di kalangan orang
arab semakin menjamur. Hal ini disebabkan karena perluasan daerah kekuasaan Islam
sehingga banyak orang-orang ‘ajam yang masuk Islam. Diantara
kesalahan-kesalahan yang terjadi:
- Umar
melewati suatu kaum yang buruk lemparan (tombak) nya maka beliau mencela
mereka. Mereka pun menjawab: إِِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْن(Makna yang
mereka inginkan adalah: “sesungguhnya kami adalah kaum terpelajar”.
Akan tetapi mereka keliru karena yang benar إِنَّا
قَوْمٌ مُتَعَلِّمُوْن dengan merofa’kan
kata “مُتَعَلِّمِيْنَ”).
Umar berpaling dari mereka karena marah
dan berkata: ”Demi Allah kesalahan kalian pada lisan kalian lebih berat
menurutku daripada kesalahan kalian pada lemparan (tombak) kalian“.
- Abu
musa Al Asyari mengirimkan surat kepada amirul mukminin Umar bin Khathab
yang tertulis di situ kalimat
مِنْ
اَبُوْ مُوْسَى إِلَى أَمِيْرِ المُؤْمِنِيَْنَ عُمَرٍ بْنِ الخَطَّابِ
(Dari abu musa
kepada Amirul mukminin Umar bin Khathab. Namun secara kaidah bahasa, kalimat
yang tepat مِن اَبِيْ مُوْسَى
dengan menjarkan
kata “اَبُوْ”).
Umar membalas surat tersebut dengan: “Sebaiknya
kau cambuk Juru tulis mu (karena keliru)”. Juru tulisnya adalah Abul
Hushain Al Anbary.
- Seorang
laki-laki dari gurun (badui) masuk Islam dan meminta diajarkan sesuatu
dari Al Quran. Kemudian seorang kaum muslimin membacakan awal surat At
Taubah:
“Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah
dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya
Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika
kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu ; dan jika
kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan
Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih.”( At Taubah : 3)
Akan tetapi orang tersebut membacanya
sebagai berikut:
أَنَّ
اللّهَ بَرِيءٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ
Yaitu dengan mengkasrahkan kata رَسُوْلُ”” sehingga artinya
berubah menjadi “bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang
musyrikin dan RasulNya.”
Berkatalah orang badui tersebut: “Apakah
benar bahwa Allah berlepas diri dari Rasul Nya? Demi Allah aku akan
berlepas diri dari orang yang Allah berlepas diri darinya.” Ketika Umar mengetahui
hal tersebut, ia mengutus seseorang ke orang tersebut dan membenarkan bacaannya
dan Ia berseru kepada manusia:”Hendaknya seseorang tidak membaca Al Quran
kecuali ia mengetahui bahasa Arab”.
Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang
disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam
mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk
menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu nahwu.
Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad
Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi
Thalib.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali,
bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam
hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya
serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, مَا
أَحْسَنُ السَّمَاءِ
. “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang
menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang ayah mengatakan, نُجُوْمُهَا
يَا بُنَيَّةُ
. “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”. Namun sang anak menyanggah dengan
mengatakan, اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”. Maka sang ayah
mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, مَا
اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”. Bukan, مَا
اَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di
langit?”. Dengan memfathahkan hamzah.
Ini adalah beberapa
contoh kekeliruan-kekeliruan yang terjadi pada orang-orang arab disebabkan
bercampurnya mereka dengan orang-orang non-Arab. Kekeliruan ini tidak
bisa dibiarkan karena dapat merusak pemahaman kaum muslimin terhadap Al Quran
sebagaimana contoh yang disebutkan di atas.
Karena semakin banyaknya kesalahan yang terjadi, Abul Aswad Ad-Duali
menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya
Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula
daulah Islam.
Kemudian disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, Ia memperbaiki
keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab Inna dan saudaranya, bentuk Idhofah
(penyandaran), kalimat Ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian
Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali,اُنْحُ
هَذَا النَّحو َ “Ikutilah jalan ini”. Dari kalimat inilah,
ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa
adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi
kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.
Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab
lainnya, seperti Abu Amru bin ‘Alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri
(peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai
(pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab). Seiring
dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab,
yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah
Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya
mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata
berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.[5]
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama nahwu
tentang siapa pencetus ilmu nahwu. Diantara mereka ada
yang berpendapat bahwa pencetus ilmu nahwu adalah:
- Amirul
mu’minin Ali bin Abi Thalib
- Abul
Aswad Ad Du’aly atas perintah dari Khalifah Umar bin Khathab
- Abul
Aswad Ad Du’aly atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib atau atas
perintah Ziyad, pemimpin Bashrah atau Abul Aswad sendiri yang mencetuskan
nya yang dipicu oleh percakapan antara beliau dan anak perempuan nya.
Berkata anaknya: “wahai ayahku.. مَا
أَحْسَنُ السَّمَاءِ (Apa yang paling indah dari langit?)”
– dengan merofa’kan (membaca dhammah) kata ” أَحْسَنُ
”
dan menjarkan (membaca kasrah) kata “السَّمَاءِ“
. Beliau pun menjawab:”Bintang-bintangnya”. Anaknya pun berkata:”Aku
bukannya bertanya wahai ayah.. tetapi aku sedang merasa takjub..”. Belaiu
pun menjawab:“Kalau begitu seharusnya yang kamu ucapkan adalah.. مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ (betapa
langit yang indah!)” – dengan membaca
fathah kata “أَحْسَنَ ” dan “السَّمَاءَ “.
- Abdurrahman
bin Humuz Al A’raj
- Nashr
bin ‘Ashim Al Laitsy.
Pendapat yang paling
kuat dari pendaat-pendapat di atas adalah pendapat yang menyebutkan bahwa pencetusnya adalah Abul
Aswad Ad Du’aly atas perintah dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib ketika terjadi
banyak kekeliruan orang arab terhadap bahasa nya sendiri khususnya kekeliruan
mereka dalam membaca Al Quran dan Hadits.
Begitulah sejarah lahir
nya ilmu nahwu dimana bisa kita baca dengan jelas bahwa tujuan utamanya adalah
agar kaum muslimin dapat membaca Al Quran dan Hadits dengan benar sehingga bisa
memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman:
”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa
Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf : 2)
Imam Syafi’i rahimahulloh
berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih kecuali ketika
meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada bahasa Aristoteles (bahasa orang
barat).” [Siyaru A’lamin Nubala, 10/74]
Benarlah perkataan penyair yang berkata:
النَّحْوُ
أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَ.. إِذْ الكَلاَمُ دُوْنَةُ لَنْ يُفْهَمَ..
(Ilmu nahwu adalah hal pertama yang paling
utama untuk dipelajari.. karena perkataan tanpanya, tak dapat dipahami..).[6]
Masa Tabi'in ini
diawali dengan dinasti Umayyah yang berlangsung pada tahun 41-132 H. Nama
daulah Umayyah ini berasal dari nama Umayyah Ibnu Abdi Syam Ibnu Abdi Manaf
yaitu salah seorang pemimpin kabilah Quraisy di zaman Jahiliyah. Diantara
kemajaun bahasa Arab yang terjadi pada masa dinasti Umayyah ini diantaranya
pada kekhalifahan Abdul Malik dan Alwalid terjadi pengarabisasian meliputi
perubahan bahasa yang digunakan dalam Administrasi public (diwan) dari bahasa
yunani kebahasa Arab di Damskus, dan dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab di
Irak serta penerbitan uang logam Arab. Perubahan bahasa secara otomatis
menyebarkan perubahan struktur kepegawaian dan jabatan. Jabatan yang dahulunya
dipegang oleh orang Persia diganti dengan orang yang telah menguasai bahasa
Arab.[7]
Selain itu juga
terjadi pembaharuan dalam bidang bahasa Arab, anak-anak para khalifah diajarkan
bahasa arab yang fasih dan mereka disuruh belajar kepelosok daerah Arab atau
Badui. Diperbatasan Persia kajian ilmiah
tentang bahasa dan tata bahasa Arab telah dimulai, dan dilakukan terutama untuk
para mu'allaf yang ingin mempelajari Alquran, menduduki posisi dipemerintahan,
dan bisa berinteraksi para penakhluk. Disamping itu kesenjangan antara bahasa
klasik al-Quran dengan percakapan sehari-hari yang telah tercampur dengan
bahasa Suriah, Persia, dan dialek lain yang menjadi pemicu munculnya minat
pengkajian bahasa. Oleh karena itu, bukan suatu kebetulan jika Abu Aswad Adwali
(w.688) berasal dari Bagdad. Menurut Khalilan Ali adalah orang yang pertama
yang memberikan landasan bagi Adwali dalam tiga hal yaitu bentukan kata benda,
kata kerja dan imbuhan, dan Abu Aswad Adwali berhasil mengerjakan perintah Ali,
akan tetapi perkembangan tata bahasa Arab berjalan cukup lambat serta
memperlihatkan adanya pengaruh Yunani. Kepeloporan Ad-duwali diikuti oleh Khalil
Bin Ahmad seorang ulama Basyrah yang meninggal tahun 786. Khalil inilah yang
pertama kali menyusun kamus bahasa Arab kitab Al-'AIN. Dan muridnya dari Persia
Siawaih (wafat 793) menyusun buku teks sistematis pertama tentang tata bahasa
Arab, yang dikenal dengan sebutan al-kitab (Buku), yang sejak saat itu telah
menjadi landasan bagi kajian penting bahasa. Kajian bahasa arab menjadi suatu
keniscahyaan untuk mempelajari dan memahami alquran yang berbahasa arab . pada
gilirannya kajian alquran dan penafsirannya telah melahirkan dua ilmu kembar
yaitu filologi dan lexiologi dan juga literatur yang khas Islam yaitu ilmu
hadits dan ilmu-ilmu lainya.[8]
Bani Umayyah berusaha
untuk mempertahankan kemurnian bangsa Arab. Mereka berusaha untuk meningkatkan
derajat bangsa Arab sebagai bangsa penguasa diantara bangsa lain yang dikuasai.
Krena kefanatikannya kepada bangsa Arab khalifah Abdul Malik bin Marwan
mewajibkan bangsa Arab menjdi bangsa resmi Negara sehingga semua perintah dan
peraturan serta komunikasi secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya bahasa
Arab dipelajari orang. Tumbuhlah ilmu Qaw'id
dan ilmu lain untuk mempelajari bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa
resmi di banyak Negara sampai saat ini : Irak, Siria, mesir, Libanon, Libia,
Tuinisia, Aljazair, Maroko, disamping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab, dan
sekitarnya.
Berikut ini adalah
sedikit ringkasan tentang perkembangan ilmu nahwu dari masa ke masa. Perkembangan
ilmu nahwu dapat diruntut menjadi tiga periode:
1. Periode Perintisan
dan Penumbuhan (Periode Bashrah)
Perkembangan pada
periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai
munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad ke satu Hijriyah.
Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan
dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah
Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum
munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun
ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan
tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya
argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode
analogi.
2. Periode
Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)
Periode ini merupakan
masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak terlalu
mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota
Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan
yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai
menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima besarnya
Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al-Kisa’i. Pada
masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang
saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.
3. Periode
Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)
Di akhir periode
ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu
sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara
progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf
dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini. Masa ini diawali
dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad.
Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya
masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara
Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran
Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan.
Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini
berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang
hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.
Setelah tiga periode
diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol), lalu di Mesir, dan
akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini. [selesai][9].
Jadi
dalam sejarah perkembangan bahasa Arab, terdiri dari beberapa priode, antara
lain :
a.
Priode
Jahiliyah. Priode ini munculnya nilai-nilai
standarisari pembentukan bahasa arab fusha, dengan adanya beberapa kegiatan
penting yang telah menjadi tradisi masyarakat Makah . Kegiatan tersebut berupa
festifal syair-syair arab yang diadakan di pasar Ukaz, Majanah, Zul Majah. yang
akhirnya mendorong tersiar dan meluasnya bahasa arab, yang pada akhirnya
kegiatan tersebut dapat membentuk stsndarisasi bahasa arab fusha dan
kesusasteraannya.
b.
Periode
Permulaan Islam. Turunnya Al – Quran dengan membawa
kosa kata baru dengan jumlah yang sangat luar biasa banyaknya menjadikan bahasa
Arab sebagai suatu bahasa yang telah sempurma baik dalam mufradat, makna,
gramatikal dan ilmu –ilmu lainnya. Adanya perluasan wilayah-wilayah kekuasaan Islam
sampai berdirinya daulah umayah . Setelah berkembang kekuasaan Islam, maka
orang-orang Islam arab pindah ke negeri baru, sampai masa Khulafaa
Al-Al-Rasyidiin.
c.
Priode
bani Umayah. Terjadinya percampuran orang-orang
arab dengan penduduk asli akibat adanya perluasan wilayah Islam. Adanya
upaya-upaya orang arab untuk menyebarkan bahasa arab ke wilayah melalui
akspansi yang beradab. Melakukan arabisasi dalam berbagai kehidupan, sehingga
penduduk asli mempelajari bahasa arab sebagai bahasa agama dan pergaulan.
d.
Priode
bani Abasiyah. Pemerintahan Abasiyas berkeyakinan
bahwa kejayaan pemerintahannya dapat bertahan bila bergantung kepada kemajuan
agama Islam dan bahasa arab, kemajuan agama Islam dipertahankan dengan cara
melaksanakan kegiatan pembedahan Al-Quran terhadap cabang-cabang disiplin ilmu
pengetahuan baik ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan lainnya. Bahasa Arab Badwi
yang bersifat alamiah ini tetap dipertahankan dan dipandang sebagai bahasa yang
bermutu tinggi dan murni yang harus dikuasai oleh putra-putra bani Abas. Pada
abad ke empat H bahasa arab fusha sudah menjadi bahasa tulisan untuk keperluan
administrasi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan bahas Arab mulai dipelajari
melalui buku-buku ,sehingga bahasa fusha berkembang dan meluas.
e.
Priode
ke lima. Sesudah abad ke 5 H bahasa Arab tidak
lagi menjadi bahasa politik dan adminisrasi pemerintahan, tetapi hanya menjadi
bahasa agama. Hal ini terjadi setelah dunia arab terpecah dan diperintah oleh
penguasa politik non arab “ Bani Saljuk” yang mendeklarasikan bahasa Persia
sebagai bahasa resmi negara Islam dibagian timur, sementara Turki Usmani yang
menguasai dunia arab yang lainnya mendeklarasikan bawwa bahasa Turki sebagai
bahasa administrasi pemerintahan. Kejak saat itu sampai abad ke7 H bahasa Arab
semakin terdesak.
f.
Priode
bahasa arab di zaman baru. Bahasa arab bangkit
kembali yang dilandasi adanya upaya-upaya pengembangan dari kaum intelektual
Mesir yang mendapat pengaruh dari golongan intelektual Eropa yang datang
bersama serbuan Napoleon.
- Bahasa
Arab sebagai bahasa pengantar disekolah. Waktu-waktu perkuliahan disampaikan
dengan bahasa arab.
- Munculnya
gerakan menghidupkan warisan budaya lama dan menghidupkan penggunaan
kosakata asli yang berasal dari bahasa fusha.
- Adanya
gerakan yang yang telah berhasil mendorang penerbit dan percetakan
dinegara-negara arab untuk mencetak kembali buku-buku sastra arab dari
segala zaman dalam jumlah yang sangat besar dan berhasil pula menerbitkan
buku-buku dan kamus bahasa arab.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Khalifah Khulafa’ur
Rasyidin (Abu Bakar, Umar inb Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali Bin Abi
Thalib) merupakan khalifah pengganti Rasulullah Muhammad. Dengan semangat untuk
menyebarkan Islam mereka berusaha keras dengan menyerang daerah-daerah yang
tidak mau masuk Islam.
Walaupun menghadapi
rintangan yang sangat berat namun semangat mereka tidak pernah hilang. Justru
dengan adanya rintangan itulah umat Islam menjadi lebih bersemangat dalam
menyebarkan agama Islam. Penyebaran Islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin ini
bergerak di berbagai bidang, baik dari segi Kekuasaan, Politik,
Ekonomi maupun Pendidikan.
Sementara sebagai bukti
keberhasilan dibidang pendidikan pada masa Khalifah Khulafa’ur Rasyidin adalah
adanya Mushaf Al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani, adanya Ilmu
Nahwu yang dipeuntukkan orang-orang Islam selain Arab, dan adanya Majlis
Khalifah yang digunakan untuk Belajar Umat Islam.
B.
Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini
sangat jauh dari kesempurnaan, dan terdapat banyak kesalahan dan kekurangan.
Oleh karena itu, masukan, perbaikan, serta kritikan dan saran sangat kami
harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang
C.
Komentar
Dalam makalah ini dibahas tentang perkembangan bahasa Arab
dimasa Rasulullah SAW, sahabat, dan tabi’in. Masa Rasulullah SAW Berlangsung
dari tahun 611M-634M, dan masa sahabat tahun 634M-750M, dan masa tabi’in
750M-1258M. Pemakalah menyamakan masa tabi’in itu dengan masa khalifah Umayyah,
sebagaimana diketahui bahwa masa umayyah adalah masa kebanyakan tabi’in
walaupun ada tabi’tabi’in disana, pemakalah beranggapan bahwa tidak mungkin
untuk memisahkan atau membagi-bagi kekhalifahan Umayyah menjadi masa tabi’in
dan masa tibi’tabi’in karena hal ini akan mempengaruhi dalam penggambaran
perkembangan bahasa Arab itu sendiri, dengan alasan ini maka pemakalah
menjadikan msa khalifah umayyah sebagai
perkembangan bahasa Arab dimasa tabi’in.
Dalam makalah ini juga taidak dimasukkan perkembangan dan
pembukuan Al-Quran karena menurut pemakalah walaupun bahasa Arab itu
berhubungan erat dengan Al-Quran atau bisa dikatakan tidak bisa dipisahkan satu
dan lainnya akan tetapi jika dimasukkan perkembangan dan pembukuan Al-Quran
akan terjdi ketidak fokusan dalam pembahasan perkembangan bahasa Arab karena
adisana akan muncul ahli-ahli tafsir dan yang berhubungan dengan ilmu Al-Quran
itu sendiri.
Sebenarnya pendidikan pada masa Rasulullah sampai pada
masa Sahabat, pendidikan dilakukan secara langsung (tampa disengaja) melalui
interaksi dan komunikasi antara Rasulullah dengan para sahabatnya, sedangkan
pada masa Tabi’in sudah ada kutab. Dan pada masa ini pendidikan juga
berlangsung dimesjid-mesjid yang tersebar diseluruh pelosok negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar