Hiruk-pikuk Ujian Nasional (UN) telah berakhir. Sebagian masyarakat
disibukkan mencari sekolah baru untuk menyongsong tahun ajaran baru. Banyak
alternatif sekolah yang menjadi pilihan, salah satunya adalah Pesantren.
Pesantren sebagai sampel institusi pendidikan yang mengemas dua
bentuk pendidikan dalam satu durasi kurikulum, yaitu pendidikan formal dan non
formal, menjadi alternatif jitu. Sebab pesantren tidak hanya berfokus pada
pendidikan mainstream yang menekankan Ilmu dan teknologi (Imtek) saja, namun
juga pendidikan iman dan takwa (Imtak).
Pada pesantren moderen yang menerapkan sistim asrama (boarding school), siswa
(santri) dapat belajar lebih efektif dan produktif, sebab siswa dapat dengan
mudah berinteraksi langsung dengan guru di dalam dan luar kelas. Selain itu, asrama
meminimalisir siswa terkontaminasi lingkungan luar yang kurang edukatif.
Kegiatan siswapun menjadi padat. Pagi hingga siang siswa belajar di
kelas untuk mengikuti pelajaran seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Di luar
jam sekolah siswa diwajibkan mengikuti program-program asrama. Program-program
itu melatih siswa untuk terampil pada bidang tertentu yang tidak didapatkan di
kelas.
Sahalat berjamah, tilawatil Quran, mengkaji hadits, tafsir dan
kitab-kitab lainnya merupakan program rutin asrama. Pengkajian sumber-sumber
hukum islam dan kitab-kitab bertujuan agar siswa paham norma-norma syariah. Sehingga siswa dapat
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan tata cara yang hanif di
asrama maupun saat sudah berkeluarga dan bermasyarakat.
Di Pesantren biasanya terdapat ekstrakulikuler yang wajib diikuti
setiap siswa seperti pidato 3 bahasa
(Indonesia, Inggris dan Arab), Pramuka dan Muhadatsah. Selain itu, terdapat
ekstrakulikuler tambahan yang dapat dipilih sesuai minat siswa seperti Kaligrafi,
literasi, Bela diri, Musik dan Olahraga. Adanya ekstrakulikuler terbukti dapat mengembangkan bakat dan
kreatifitas siswa.
Jiwa kepemimpinan dalam diri siswapun diasah melalui organisasi siswa
di asrama. Organisasi siswa ini lebih kompleks dibandingkan dengan organisasi
di sekolah-sekolah pada umumnya. Sebab organisasi siswa menaungi unit-unit
tertentu yang berperan aktif mengontrol pelaksanaan program-program asrama yang
berkesinambungan selama 24 jam. Organisasi siswa ini tentu berperan besar dalam
kelancaran aktifitas siswa di asrama.
Seluruh warga pesantren yang mencangkup Kiyai, Guru dan Siswa
tinggal dalam satu lingkup yang berdekatan. Kedekatan ini menjadikan
silaturahmi terjalin lebih akrab. Kiyai dan Guru mengaggap Siswa layaknya
anak-anak mereka sendiri, begitu pula sebaliknya.
Di pesantren, kiyai dan guru-guru merupakan tokoh sentral yang
dihormati, diteladani danditaati. Ketaatan ini seperti menjadi doktrin di
pesantren. Maka tidak heran jika seorang siswa pesantren dapat menghormati
guru-gurunya dengan penghormatan yang sangat.
Siswa di pesantren datang dari latar belakang budaya yang berbeda.
Perbedaan ini tidak menjadi halangan untuk hidup rukun. Terbiasa tinggal
bersama dalam waktu yang tidak sebentar, serta merasa mempunyai nasib yang
sama; jauh dari orangtua, dapat menguatkan jalinan ukhuah antar siswa. Di sini siswa
dilatih untuk dapat bersosialisasi dalam lingkup yang kecil, sehingga kelak
akan terbiasa saat terjun di masyarakat.
Kehidupan pesantren yang agamis tentu berpengaruh besar dalam
pembentukan karakter setiap warganya. Sebab lingkungan turut mendonasi
pembentukan karakter seseorang. Maka dapat disimpulkan pesantren berperan besar
dalam mendidik karakter siswa. Itu artinya Pesantren memberikan kontribusi
signifikan dalam membangun moralitas dan karakter bangsa.
Maka pendidikan pesantren merupakan pengkaderan generasi bangsa
yang bukan hanya cakap dengan ilmu dan teknologi saja, tapi juga generasi yang
dipenuhi keimanan dan ketakwaan di dadanya. Ini sejalan dengan UU No 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bahasa Arab
Selain bahasa Inggris, bahasa asing yang diajarkan di pesantren adalah
bahasa Arab. Bahasa Arab yang merupakan ciri khas pembelajaran pesantren, tentu
penting dipelajari. Sebab bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam
sumber-sumber hukum Islam.
Keunikan bahasa Arab yang tidak dimiliki bahasa manapun antara lain
pada akar katanya. Dari akar kata itu dapat dibentuk berbagai macam kata yang
berbeda artinya. Misalnya kata ‘kataba’ yang berarti menulis, dapat dirubah
menjadi ‘maktub’ yang berarti tertulis, ‘kaatib’ yang berarti penulis, ‘kitaab’
yang berarti buku, ‘maktab’ yang berarti meja, ‘maktabah’ yang berarti
perpustakaan dan masih banyak lagi perubahan lainnya.
Dalam pengajaran bahasa Arab di Pesantren, metode yang digunakan
beragam. Metode itu antara lain adalah Metode Gramatika Tarjamah (Thariqah
al-qawaid wal tarjamah), Metode langsung (Thariqah al-mubasyirah),
Metode Membaca (Thariqah al-qirah), Metode Audiolingual (Thariqah
as-sam’iyah wa syafahiyah), Metode Eklektik (Thariqah al-intiqaiyah)
dan masih banyak lagi yang lainnya. Metode pengajarannya dipilih sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai dari 4 keterampilan bahasa yang meliputi keterampilan
mendengar (maharah al-istima’), keterampilan berbicara (maharal
al-kalam), keterampilan membaca (mahara al-qiraah), dan keterampilan
menulis (maharah al-kitabah).
Pengajaran bahasa asing di pesantren, khususnya bahasa Arab, tidak
diajarkan sebatas pada tataran teori saja, namun juga wajib diaplikasikan dalam
komunikasi sehari-hari di asrama. Kewajiban ini berlaku bagi seluruh warga
pesantren.
Bahasa asing diaplikasikan dalam waktu bergantian, jika satu minggu
seluruh penghuni pesantren berkomunikasi menggunakan bahasa Arab, maka selama
satu minggu berikutnya komunikasi dirubah menggunakan bahasa Inggris, begitu
seterusnya.
Upaya ini bertujuan agar siswa
cakap berbahasa asing dengan lisan dan
tulisan. Karena bahasa adalah alat komunikasi, maka dengan menguasai beberapa
bahasa asing, itu artinya siswa jebolan pesantren siap berkomunikasi bahkan berkararya
di kancah internasional.
Keikhlasan Orang Tua.
Pendidikan pesantren membiasakan siswa untuk hidup sederhana. Jika
di rumah siswa terbiasa dengan kamar yang dihuni sendiri, maka di asrama mereka
harus rela menempati kamar yang dihuni bersama 10 -15 siswa lainnya. Sayur dan
lauk yang ada di pesantrenpun mungkin tidak beragam dan selezat masakan di
rumah. Jumlah uang saku dan pakaianpun siswa dipesantren pula dibatasi.
Kehidupan pesantren yang
kontras dengan kebiasaan di rumah inilah yang kerap menjadi alasan tidak betah
tinggal di asrama. Terlebih saat awal-awal masuk pesantren. Maka keluhan minta
pindahpun sering terlontar.
Disini peran orangtua sangat penting. Orangtua seyogyanya dapat
menasihati dan mensuport penuh anak-anak mereka, suport ini salahsatunya adalah
dengan mengikhlaskan anak untuk patuh terhadap peraturan pesantren. Sebuah
hadits menyebutkan jika keridoan Allah terletak pada keridoan orangtua.
Keridoan ini diindikasikan dengan ikhlas. Sebab keikhlasan dan doa terbaik
orangtualah yang menstimulan keberhasilan seorang anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar