Syahdan, seorang wanita
berwajah manis, o bukan, seorang gadis dibalut kain minimalis berlari ke tepian
malam dengan sekarung cemas dan air mata yang telah lama ia peram.
Dibawanya serta riwayat
pesakitan, lambung kosong serta perih kehidupan yang sejak lama menganiaya
usia.
Siapa yang bisa
disalahkan saat
Lalu, dititipkanya
kebahagiaan yang serupa benalu pada desah yang meresah, cucuran keringat juga
goncangan cairan tengah tubuh anak manusia; surga baginya.
Apakah ia tak mengenal
cerita nabi-nabi atau indahnya surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai
susu? Atau kalajengking dan
cacing-cacing yang menjadi teman setelah nyawa diceraikan badan?
Oo bukan,
bukan hendak melumat
bulat-bulat perihal siksa kubur juga api neraka, namun kisah paling darah ini
hanya ia yang mampu menjamahinya. Bukan kamu, bukan kita, ataupun wanita-wanita
kampung yang dari bibirnya selalu berloncatan segala serapah.
--Kini ia terus melangkah
dengan biduk pelepah dan air mata, dengan kenangan yang terus beranak pinak,
dengan ramai dosa yang menyesakki batok kepala.
Ia mulai mengemas juga
mangemis cinta Pencipta, karena sejauh apapun jiwanya bertualang, dalam lumbung
kosonglah kelak ia akan berpulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar