Idul Adha atau hari raya qurban yang setiap tahun
dirayakan umat islam dengan menyembelih hewan ternak pilihan seharusnya tidak
lagi dimaknai sebagai sebuah ritual, akan tetapi juga sebagai evaluasi keimanan
dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Qurban berasal dari bahasa Arab,
diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il
mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar). Artinya, mendekati atau
menghampiri (Matdawam, 1984). Sedangkan menurut istilah, qurban adalah
segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa
hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).
Menurut Imam Syafi’i, hukum qurban
adalah sunat muakkad yang sangat dianjurkan kepada mereka yang mampu, termasuk
para hujjaj (jamaah haji) yang berada di Mina. Serta umat islam yang berada di
daerahnya masing-masing karena ibadah qurban adalah amalan yang sangat dicintai
Allah pada hari nahr (Hari Raya). Namun sebagian ulama juga ada yang mengatakan
bahwa ibadah qurban adalah wajib kepada mereka yang mampu. Hal ini berdasarkan
firman Allah dalam surat Al Kautsar ayat 2: ”Maka
dirikanlah shalat kepada Allah ( Tuhanmu ) dan berkorbanlah.”
Untuk memahami esensi ibadah
kuraban, bisa kita tinjau dari aspek historisnya. Dalam Al Quran disebutkan
bahwa pengurbanan pertama yang dilakukan adalah pengurbanan Habil dan Qabil
(Qs. Al Ma’idah ayat 27). Ketika itu keduanya diminta berkurban harta yang
dimiliki untuk menentukan pendapat siapa yang paling benar diantara mereka.
Sebelumnya, Nabi Adam a.s akan menikahkan kedua putranya tersebut secara
silang; bukan dengan saudara kembarnya. Namun Qabil menolak keputusan tersebut
sementara Habil menerimanya. Akhirnya mereka diminta untuk berqurban. Qabil
mengurbankan sisa-sisa hasil pertanian, sedangkan Habil mengurbankan ternak
terbaiknya. Akhirnya pengurbanan habil yang didasari dengan ketaatan dan
keikhlasan itulah yang diterima oleh Allah SWT.
Berdasarkan kisah Habil dan Qabil
tentang qurban yang diterima oleh Allah, menunjukan bahwa ketaatan dan
keikhlasan adalah hal yang paling utama dalam beribadah.
Sejarah yang lebih fenomenal adalah
kisah Nabi Ibrahim as dan putranya Isma’il. Nabi Ibrahim as tidak pernah
berhenti berdoa untuk memiliki seorang anak yang shaleh. Doa ini Allah abadikan
dalam Al Quran pada surat As saffat ayat 100. Hampir seabad usia Nabi Ibrahim
–menurut Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar ketika itu usia Nabi Ibrahim adalah 86
tahun– Barulah Allah mengabulkan
keinginannya untuk memiliki seorang putra melalui rahim Siti hajar. Putra itu diberi nama
Isma’il.
Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah melalui mimpi untuk menyembelih
putranya, Ismail as. Perintah ini tidak direspon oleh nabi Ibrahim dengan
gegabah. Nabi Ibrahim terlebih dulu mengatakan kepada putranya “Wahai putraku,
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu” Isma’ilpun tidak menjawabnya
dengan ego, namun menjawabnya dengan tegas” Wahai Ayah, lakukanlah apa yang
diperintahkan (Tuhan) kepada ayah, dan Insya Allah ayah akan mendapati aku
dalam golongan orang yang sabar. Tentu ini merupakan sebuah ujian yang berat
bagi seorang ayah. Namun karena ketaatan dan kecintaan ayah dan anak itu kepada
Allah, maka Nabi Ibrahim dan Isma’il tetap
melaksanakan perintah Allah walaupun ternyata pada akhirnya Allah mengganti Isma’il dengan
seekor domba saat disembelih.
Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail,
merupakan sebuah ujian dari Allah, sekaligus perjuangan maha berat seorang nabi
yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat jibil untuk mengurbankan
anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang
menunjukkan ketakwaan, keikhlasan dan
kepasrahan seorang Ibrahim dan Ismail pada perintah sang pencipta.
Dengan
memahami nilai historis ibadah qurban,
kita diharapkan mampu memetik esensi sesungguhnya dari ibadah tersebut
yang menguji keikhlasan hati dalam beribadah dan kepedulian sosial dalam setiap
aktivitas. Jika pemahaman terhadap ibadah yang diperintahkan Allah dilakukan
secara komprehensif, maka setiap ibadah tersebut akan pararel dengan kehidupan
sosial; semakin tinggi ketaatan hamba kepada perintah Allah berupa ibadah
mahdhah, maka semakin berkualitas pula kehidupan masyarakat di sekitarnya
Esensi qurban yang
disyariatkan di bulan dzulhijah sebagai bulan terakhir dari kalender hijriyah
ini, bukan sekedar momentum untuk membagi-bagikan daging kepada fakir miskin,
tetapi dibalik itu semua ada nilai-nilai spiritual yang sangat berharga bagi
seluruh umat manusia.
Bagi Ali Syari’ati (1997), ritual qurban bukan
hanya bermakna bagaiman amanusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akantetapi
juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan
terpinggirkan. Sementara bagi Jalaludin Rahmat (1995), ibadah qurban
mencerminkan dengan tegas pesan solidaritas sosial Islam, mendekatkan diri
kepada saudara-saudara kita yang kekurangan.
Dengan qurban, kita
diminta untuk peka terhadap lingkungan sekitar, peka terhadap kaum proletar yang masih banyak terdapat di
sekeliling kita, peka terhadap situasi Negara kita yang semakin sering bermunculan
berita mencengangkan sehingga menambah
pengap iklim yang pada dasarnya sudah panas dan pengap.
Dengan
qurban pula kita diminta untuk dapat memanifestasikan rasa syukur dan puncak
taqwa. Ia menjadi tanda kembalinya manusia kepada Allah SWT setelah menghadapi
berbagai macam ujian berat. Qurban disyariatkan untuk mengingatkan manusia
bahwa jalan menuju kebahagiaan yang kekal memerlukan pengorbanan berat. Tentu
saja yang diqurbankan bukanlah manusia, bukan pula nili-nilai kemanusiaan,
tetapi hewan sebagai pertanda bahwa pengorbanan
harus ditunaikan dan bahwa yang dikorbankan adalah sifat-sifat
kebinatangan dalam diri manusia seperti sifat rakus, tamak, ego, mengabaikan
norma, nilai dan sebagainya. Secara
harfiyah, kesempurnaan ibadah qurban ini bermakna membunuh segala sifat
kebinatangan yang terdapat dalam diri manusia.
Jika nabi Ibrahim memiliki
Isma’il dan ia sangat mencintainya, lalu bagaimana dengan kita? Isma’il
merupakan simbol kecintaan Ibrahim selain kecintaanya kepada Allah. Artinya,
kitapun sebenarnya mempunyai “isma’il-isma’il” dalam kehidupan ini. Ismail itu
dapat berupa uang, rumah mewah, mobil, perusahaan, jabatan, anak, suami atau
isteri, atau juga terhadap diri kita sendiri dan segala sesuatu yang menjadikan
kecintaan kita di dunia ini, selain kecintaan kita kepada Allah SWT. Sudahkah
kita mengorbankan “isma’il-isma’il” kita tersebut untuk Allah dengan ikhlas,
sabar dan tawakal? Cara mengorbankannya bukanlah dengan menyembelih atau memusnahkan
sebagaimana Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya, Isma’il.
Namun mengorbankan “isma’il-isma’il” yang dimaksud adalah dengan menggunakannya
untuk kepentingan agama Allah dan berdampak positif terhadap kehidupan sosial.
Maka betapa wibawanya
orang yang sudi mengunjungi saudara-saudara kita yang kekurangan dan bertanya
tentang perih kehidupan yang mereka rasakan, lalu membagi sebagian hartanya
dengan ikhlas dan diam-diam. Apalagi jika seorang pemimpin yang rela merogoh
pundi-pundinya sendiri di saat mereka terhimpit kesulitan. Kunjungan itu
membuat mereka merasa hidup ini masih ada yang memimpin, di bawah hujan
kesulitan sehari-hari setidaknya tetap terasa masih ada payung yang melindungi
nasib mereka.
Semoga momentum idul Adha
kali ini dapat merefleksi kita dan lebih membukakan lagi telinga batin kita
yang mungkin mulai tumpul, atau mungkin kecerdasan spiritual kita yang mulai
terganggu. Agar bumi yang kita singgahi ini, yang airnya kita minum
bersama-sama, semakin nyaman dan enak dihuni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar