A. Pengertian
Bahasa dan Budaya
Banyak
definisi yang diberikan ahli bahasa tentang pengertian bahasa, di antaranya:
1. Bahasa adalah
bunyi yang digunakan untuk setiap bangsa atau masyarakat untuk mengemukakan
maksudnya. (Ibnu Jinni)
2. Bahasa adalah
system lambang bunyi yang atbitrer, digunakan untuk saling bertukar pikiran dan
perasaan antar anggota kelompok masyarakat bahasa. (Al-Khauli)
3. Bahasa adalah
system lambang bunyi yang atbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. (Kridalaksana)[1]
Adapun
budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan.[2]
Sedangkan
menurut istilahnya, banyak definisi tentang budaya ini, namun secara umum
hamper memiliki persamaan. Definisi tersebut antara lain:
1. Kebudayaan
dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan
dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya.[3]
2. Menurut Edward
B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. [4]
3. Budaya adalah
suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[5]
4. Kebudayaan
merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam
bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok. (Dr. K. Kupper)
5. Kebudayaan
adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia dan
produk yang dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan
sekedar di alihkan secara genetikal. (Mitchell - Dictionary of
Soriblogy)
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat
dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
B. Hubungan
Bahasa dan Kebudayaan
Kebudayaankah
yang mempengaruhi bahasa?ataukah bahasa yang mempengaruhi budaya? Hal ini
mungkin jadi pertanyaan di benak kita, namun yang pasti keduanya melekat pada
diri manusia. Budaya tidak akan berkembang tanpa adanya bahasa, namun bahasa
juga tidak akan pernah tumbuh jika tidak ada wadah yang disebut budaya untuknya
berkreasi.
Drs.
Aminuddin, M.Pd menyebutkan bahwa bahasa selain dapat digunakan untuk
menyampaikan rekaman unsure dan nilai kebudayaan saat sekarang, juga dapat
digunakan sebagai alat pewaris kebudayaan itu sendiri.[6]
Ada
berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan
bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai
hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan
bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam
kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan
bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau
masyarakat penuturnya.
Menurut
Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya
Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara
bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada
dibawah lingkup kebudayaan.[7]
Namun
pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai
hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya
sama tinggi.
Masinambouw
menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada
manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di
dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai
sarana berlangsungnya interaksi itu.
Dengan
demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, dua buah
fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai
sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.[8]
Edward
Sapir menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Wahab dalam bukunya Isu
Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra bahwa kandungan setiap budaya terungkap
dalam bahasanya. Tidak ada materi bahasa, baik isi maupun bentuk yang tidak
dirasakan sebagai melambangkan makna yang dikehendaki, tanpa memperdulikan
sikap apapun yang ditunjukkan oleh budaya lain.
Suatu
kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan
sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada
generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan
simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak
(termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian,
setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya
tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh
pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan
yang mereka hadapi tidak selamanya sama, begitu juga dengan bahasanya.
C. Etika
Berbahasa
Hubungan
antara bahasa dan budaya telah kita bahas sebelumnya. Jadi tidak perlu kita
bahas kembali tentang bagaimana hubungannya, yang jelas keduanya mempunyai hubungan
yang sangat erat dan saling mempengaruhi.
Kalau
kita terima pendapatMasinambouw (1984) yang mengatakan bahwa sistem bahasa
mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam
masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai
norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa
menurut norma-norma budaya disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.[9]
Etika
berbahasa ini erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial,
dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Oleh karena itu, etika
berbahasa antara lain akan mengatur:[10]
1. Apa yang harus
kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu
berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu.
2. Ragam bahasa
apa yang paling wajar kita gunakan.
3. Kapan dan
bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan
orang lain.
4. Kapan harus
diam.
5. Bagaimana kualitas
suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara itu.
D. Fenomena
Bahasa dan Budaya
Bahasa
bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang
dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar
personal. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya
terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat
absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada
tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya.
Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya
selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam
analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka
analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat
digunakan untuk menganalisis bahasa lain.
Umpamanya
kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam
air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish;
dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan
hanya berarti ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga
sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe
sering juga disebut iwak.
Mengapa
hal ini bisa terjadi? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya dan
sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok
hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu,
kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah
dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi.
Begitu
juga bahasa Arab yang mempunyai puluhan nama untuk buah kurma mulai dari yang
masih di pohon, yang baru dipetik, sampai yang telah kering. Seperti الجرام kurma kering, الرطب kurma matang, الفاخز kurma yang tidak ada
isinya, الدمال kurma busuk,
dan التمر kurma.
Beberapa
keistimewaan bahasa tersebut dipakai suatu bangsa, atau daerah tertentu untuk
membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa atau daerah yang bersangkutan
terhadap fenomena tempat mereka hidup. Dengan demikian sususan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya
merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan
tempat mereka berada.
Orang yang tidak
kita kenal, bisa kita prediksi asal dan identitasnya berdasarkan bahasa dan
cara bicaranya, kalau dia menggunakan bahasa Jawa, kita bisa prediksikan bahwa
dia warga Jawa.
Orang yang tidak
kita kenal, bisa kita prediksi agama yang dianutnya berdasarkan bahasa dan cara
bicaranya. Seorang yang mengucapkan
"إنا لله وإنا إليه
راجعون"
ketika mendapat berita duka, bisa kita
pastikan bahwa dia seorang muslim.
Orang yang tidak
kita kenal, bisa kita prediksi tingkat pendidikannya berdasarkan cara bicaranya
juga. Seorang yang bicara dengan menggunakan kata-kata ilmiyah bisa kita
pastikan bahwa dia seorang intelektual, sebaliknya orang yang bicara dengan
vulgar, bisa diprediksikan bahwa dia seorang awam.
Orang yang tidak
kita kenal, bisa kita prediksi apakah dia sedang bahagia atau sedang sedih
dengan memperhatikan cara bicaranya. Bila dia menggunakan kata-kata yang
emosional, kita bisa prediksikan bahwa dia sedang mengalami musibah, demikian
juga sebaliknya.
Dari sini, maka
fungsi bahasa sebenarnya bukan saja sekedar alat komunikasi, akan tetapi lebih
dari itu bahasa juga merupakan cerminan budaya penuturnya yang dapat digunakan
sebagai alat penafsir identitasnya. Dengan demikian, maka bahasa bisa berfungsi
sebagai identitas keperibadian, sebagai sarana penghubung antara anggota
keluarga, sebagai sarana transformasi pengetahuan, disamping sebai alat
komunikasi antar warga penuturnya. [11]
Suatu bangsa,
walaupun warganya mempunyai sifat-sifat kepribadian yang berbeda, namun dalam
banyak hal mereka mempunyai reaksi yang sama dalam menanggapi suatu masalah.
Kesamaan reaksi itu lahir akibat adanya norma, nilai dan perilaku umum yang
sama-sama mereka miliki.
Bila suatu
masyarkat dihadapkan dengan kejadian seperti kematian seorang warga umpamanya,
maka mereka akan menanggapi hal itu dengan sikap yang sama, mereka akan sama-sama
bersedih, mendoakan dan melakukan tindakan yang dapat mereka lakukan sebagai
bakti terakhir terhadap mayat tersebut. Kalau mereka warga muslim, paling tidak
mereka akan sama-sama mengucapkan “إنا لله وإنا
إليه راجعون”.
Sikap, reaksi dan
ucapan yang sama yang dilakukan oleh warga masyarakat tersebut sebenarnya tidak
lahir tanpa sebab, akan tetapi lahir setelah melalui proses belajar yang
panjang dari sejak lahir. Sikap, reaksi dan ucapan tersebut lahir sebagai hasil
cipta, rasa dan karsa mereka. Sikap, reaksi dan ucapan yang sama itu cukup
kompleks dan itulah yang disebut dengan budaya. Oleh sebab itu budaya
didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan,
keyakinan, kesenian, undang-undang, tradisi dan lain-lain yang dimiliki oleh
suatu masyarakat lewat proses belajar.[12]
Bahasa merupakan
unsur utama dan terutama dalam suatu budaya, karena fungsi bahasa yang lebih
dominan dari fungsi produk budaya lainnya, dimana bahasa bisa dianggap sebagai
alat komunikasi dan transformasi ilmu pengetahuan dalam suatu masyarakat.
Bahasa merupakan media utama bagi anggota komunitas bahasa dalam proses resepsi
dan produksi sebuah informasi, maka budaya suatu masyarakat bisa berkembang
bila didukung dengan perkembangan bahasanya dan tidak mustahil sirna karena
bahasanya tidak mampu mengekspressikan budaya yang dikandungnya.
Dari uruaian ini jelas terlihat
hubungan antara budaya dengan bahasa sangat erat, oleh sebab itu, antara budaya
dengan bahasa tidak bisa dipisahkan, memisahkan bahasa dari budaya adalah
merupakan usaha yang akan berakhir dengan sia-sia.
E. Pengaruh Budaya
Terhadap Perubahan Bahasa
Bahasa
tidak berbeda dari makhluk hidup lainnya, lahir kecil, kemudian berkembang dan
mencapai kedewasaan, kemudian mengalami masa kesirnaannya. Anggapan yang
mengatakan bahwa bahasa adalah sesuatu yang statis adalah anggapan yang keliru.[13]
Pengaruh
budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak kata atau
istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah
ada. Hal tersebut karena
dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah.
Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme, kata wisatawan untuk
menggantikan turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk mengganti kata
piknik; dan kata suku cadang untuk mengganti kata onderdil. Kata-kata turisme,
turis dan onderdil dianggap tidak nasional. Karena itu perlu diganti yang
bersifat nasional. Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, babu
diganti dengan pembantu rumah tangga, dan kata pelayan diganti dengan
pramuniaga, karena kata-kata tersebut dianggap berbau feodal. Begitu juga
dengan kata penjara diganti dengan lembaga pemasyarakatan, kenaikan harga
diganti dengan penyesuaian harga, gelandangan menjadi tuna wisma, pelacur
menjadi tunasusila adalah karena kata-kata tersebut dianggap halus ;
kurang sopan menurut pandangan norma sosial.
Proses
penggantian nama atau penyebutan baru masih terus akan berlangsung sesuai
dengan perkembangan pandangan dan norma budaya di dalam masyarakat.
Bahasa bisa
berkembang dengan datangnya unsur-unsur baru, atau terjadi modifikasi terhadap
unsur lama, yang menghasilkan lahirnya sebuah bentuk yang baru. Bahasa sangat
rentan dengan perubahan yang terjadi secara alami, dari sejak muncul sampai
kesirnaannya dimana perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya yang lebih
baru selalu muncul.
Oleh sebab
itu perubahan bahasa tidak bisa dikonotasikan dengan baik atau buruk, karena
perubahan itu bersifat alami dan netral sesuai dengan tuntutan kondisi yang
terjadi pada unsur-unsurnya.[14]
Perkembangan
bahasa dapat terjadi akibat dua faktor; masing-masing faktor internal bahasa
itu sendiri dan faktor eksternalnya. Yang dimaksud dengan faktor internal
adalah faktor yang terjadi karena sebab unsur-unsur bahasa itu sendiri, seperti
sebab yang terjadi pada fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik
bahasa itu sendiri.
Adapun
faktor eksternal adalah perubahan yang terjadi pada bahasa yang penyebabnya
terdapat di luar bahasa itu sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial, agama dan
lain-lain.
F. Pembelajaran
Bahasa Berbasis Budaya
Belajar
bahasa tidak semata mengenal struktur bahasa. Lebih dari itu, mempelajari
eksternal bahasa dan budaya.[15]
Pembelajaran
berbasis budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan
pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses
pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap
budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan sebagai ekspresi dari
komunikasi suatu gagasan dan perkembangan pengetahuan.
Dalam
pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi sebuah media bagi siswa untuk
mentransformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk dan prinsip yang
kreatif tentang alam.
Dengan
demikian, melalui pembelajaran berbasis budaya, siswa bukan sekedar meniru dan atau menerima saja informasi yang disampaikan tetapi siswa
menciptakan makna, pemahaman, dan arti dari informasi yang
diperolehnya. Transformasi menjadi kunci dari penciptaan makna dan pengembangan
pengetahuan. Dengan demikian, proses pembelajaran berbasis budaya bukan sekedar
mentransfer atau menyampaikan budaya atau perwujudan budaya tetapi menggunakan
budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna, menembus batas imajinasi,
dan kreativitas untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang matapelajaran
yang dipelajarinya.
[2] http://seabass86.wordpress.com
[3] http://seabass86.wordpress.com
[5] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi
Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006), h. 25
[6] Drs. Aminuddin, M.Pd. Semantik, (Bandung:
Sinar Biru, 1988), h. 35.
[7] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op-Cit.
h. 165
[8] http://kamildairy.blogspot.com
[9] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op-Cit.
h. 172
[10] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Ibid.
h. 172
[11] Sayid Abdul Fattah Afifi, Ilm al
Ijtima’ al Lughowi, (Cairo: Daar al Fikri al Arabi, 1995), h. 152.
[12] Fuad Baali, Ibn Khaldun wa Ilm al
Ijtima’ al Hadits, (Damascus: Daar al Mada li al Tsaqofah wa al Nasyr,
1997), h. 47.
[13] Dr. A. Sayuti Anshari Nasution, MA, Memahami
Ragam Bahasa Arab-Melalui Pendekatan Budaya (Makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional, yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Arab, FITK,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di Jakarta tanggal 11 Desember 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar