[1]
Kepada nafasmu yang pernah mengalirkan bening hujan
Melalui dering telpon genggam, yang selalu aku tunggu saat langit mulai
memejam.
Manalah mungkin aku memutus urat di nadimu
Sedang darahku terlanjur mengalir di dalamnya
Menyusuri tiap degub jantungmu
Yang mendenyut di dadaku.
[2]
Kepada coklat biji matamu yang pernah menghantarkan semangat
Melalui bening embun pagi yang menghinggapi kuncup pucuk melati
Manalah mampu kuparuh hatimu dan menyodorkannya pada yang lain; adalah
meminang kesedihan.
Serupa merubah biru menjadi abu. Lalu membiarkan waktu mati dengan
caranya sendiri.
[3]
Musim telah berganti nama, kepada durja ia memilih hinggap
Birupun terlanjur menjelma abu
Tiada lagi rindu yang bersambut
Atau tawa yang mengobati risau hati paling putus asa
Sedu menderu, sedih merepih memilu
[4]
Kususuri tiap letih yang tertitih
Mengunyah waktu lalu meludahkannya dalam aliran parit mimpi burukku
Kulangitkan doa pada Ia Sang penggenggam Nyawa
Semoga dapat menjadi mantra bagi luka-luka hati yang masih menyala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar