Aku tinggal di sebuah dusun yang miskin dari sentuhan komoderenan. Masyarakat
di dusunku adalah orang-orang yang dalam kepalanya banyak ditumbuhi pemikiran kolot.
Sebagian besar masyarakat dusunku ini bekerja sebagai tukang gergaji mesin,
nelayan, pengasap ikan, pengusaha kerupuk ikan rumahan dan berkebun. Ada juga
yang bekerja sebagai pegawai negeri, namun itu cukup bisa dihitung dengan jari.
Namun jangan ditanya tentang rasa
kekeluargaan, tolong menolong, kesetiakawanan, dan juga bela-membela saat ada
tetangga atau familinya yang cekcok mulut di pasar, bisa dipastikan tiada
banding, pastilah ereka akan membela mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Meskipun cekcok mulut itu hanya karena hal sepele.
Masyarakat di dusunku terbiasa
memulai kembali menyalakan nyawa dari tidurnya sejak matahari belum berani
mengintip bumi. Asap-asap akan mengepul dan merayap ke atas genteng dapur
rumah-rumah di sini, pertanda para ibu sudah mulai menyalakan kayu untuk
memasak. Anak-anak merekapun sudah dilatih untuk bangun sebelum subuh sejak kecil. Nanti saat suara adzan dimuntahkan dari toa
surau, merekapun akan berbondong-bondong ke surau untuk shalat subuh berjama’ah.
Anak-anak gadis di dusunku juga sudah terampil betul mengurus
pekerjaan rumah sejak usia mereka belum baligh, mulai dari memasak, menyapu,
menyuci baju di Musi, dan segala jenis pekerjaan rumah tangga lainnya.
Pendidikan mereka rata-rata hanya mencapai MTs, ada juga yang sampai Aliyah dan
perguruan tinggi, namun tentu itu menjadi pemandangan langka di dusunku. Maka
tak heran jika di dusunku banyak gadis yang sudah menikah sejak usia mereka masih
sangat belia.
Sedangkan bujangnya sendiri memiliki pendidikan yang lumayan lebih
beruntung, bujang-bujang di sini rata-rata sekolah sampai bangku Aliyah. Setelah lulus, banyak dari
mereka yang merantau ke pulau seberang untuk bekerja di PT ataupun menjadi kuli
bangunan. Ada juga yang membantu pekerjaan orangtua mereka di dusun. Seperti
aku, setelah lulus Aliyah setahun yang lalu, aku masih setia menetap di dusun,
membantu orang tuaku berkebun dan dan
membantu Pak Haji Maksum mengajar anak-anak mengaji di surau. Selain itu alasan
yang membuatku betah menetap di dusun ini adalah Midah, gadis pujaanku yang
berambut ikal sebahu, bermata bulat dengan bola mata yang coklat.
Meskipun rajin sembahyang berjamaah di surau, namun masyarakat di
dusunku masih banyak yang mempecayai mitos-mitos. Termasuk mitos tentang Antu
Banyu, yang katanya berwujud perempuan bertaring dan berambut panjang dan akan muncul
di malam hari saat air Musi berwarna
kecoklatan dan terasa hangat. Antu banyu
ini konon sangat menggemari ubun-ubun kepala dan sum-sum tulang belakang
manusia, terutama ubun-ubun kepala bujang dan anak-anak kecil yang aqil baligh.
Aku sendiri tak terlalu percaya dengan mitos-mitos semacam itu. Namun Emak dan
Ayukku adalah termasuk dari mereka yang sangat percaya tentang mitos Antu Banyu
ini. Maka tak heran kalau Emak akan sangat melarangku bermain di pinggir
Musi pada saat-saat tertentu yang
disinyalir sebagai waktu keluarnya Antu Banyu dari sarangnya.
Ada kejadian yang akan selalu hidup dalam ingatan-ingatan masyarakat
asli dusunku ini, kejadian ini terjadi saat aku masih SD. Saat itu dusunku
digemparkan dengan hilangnya dua orang teman bermainku, Buyung dan Rustam.
Mereka dikabarkan tak pulang ke rumah sampai langit sudah memejam. Semua warga
bergotong royong mencari Buyung dan Rustam sampai ke sudut-sudut dusun, kuburan
dan rawa-rawa sambil membawa obor dan memukuli piring seng. Masyarakat dusunku
percaya jika pukulan piring seng ini dapat memanggil kembali anak kecil yang
sedang disembunyikan makhluk-makhluk halus. Sebagian warga yang lain ada yang
mencari di sungai sambil menaiki getek dan membawa lampu patromak.
Dikhawatirkan Buyung dan Rustam hanyut di Musi. Karena terakhir kali ada yang melihat kedua bocah itu memanjat
pohon kelapa di dekat Musi setelah pulang sekolah.
Dusunku mendadak ramai dengan kur warga yang memanggil-manggil nama
Buyung dan Rustam. Aku yang saat itu
masih SD tak ikut mencari keliling dusun ataupun ke Musi, aku hanya ikut Ibu
dan Ayukku membaca yasin di surau bersama ibu-ibu dan anak kecil lainnya,
berdoa agar Buyung dan Rustam segera ditemukan. Namun sampai rona fajar
bergurat di pipi langitpun kedua bocah yang dikabarkan hilang itu tak kunjung muncul
batang hidungnya. Sudah pasti warga menjadi semakin panik, kulihat Emak dari
Buyung dan Rustampun menangis dan saling berpeluk menghawatirkan nasib
anak-anak mereka. Kulirik mata Emakku juga sudah merah dan sebentar lagi pasti
akan turun gerimis dari sana.
Warga kembali ke rumah mereka masing-masing. Aku yang saat itu tak
tidur semalaman izin tak masuk sekolah. Sebagian warga juga banyak yang tak
beraktifitas, kecuali para pengasap ikan yang memang sudah dikejar pesanan.
Belum saja bedug dzuhur berbunyi, dusunku digemparkan oleh teriakan
warga yang menemukan sosok mayat
mengapung di Musi. Semua warga berbondong-bondong menuju tepian sungai. Di sana
kami melihat satu mayat anak seusiaku yang masih menggunakan seragam sekolah,
tubuhnya sudah mengembung menjadi hampir dua kali lipat dari aslinya, mukanyapun
sudah sulit dikenali, namun bisa dipastikan mayat yang ditemukan itu adalah
salah satu dari bocah yang hilang kemarin. Orang tua Buyung dan Rustampun menangis
histeris sambil berlari ke tepi Musi.
Melihat dari ciri-ciri yang ada, mayat bocah yang ditemukan itu
lebih mirip Buyung, maka mayat itupun dibawa warga ke Rumah Mang Nandar, Orang
tua Buyung. Alat-alat untuk mengurus jenazahpun sudah disiapkan di rumah Mang
Nandar. Mulai dari kafan, gentong-gentong air untuk memandikan mayat, sampai
dengan keranda mayat.
Namun kejadian menjadi semakin kalut saat mayat mulai dimandikan. Ternyata mayat yang
dimandikan itu bukanlah mayat Buyung seperti yang diperkirakan. Karena mayat
yang dimandikan di rumah Mang nandar itu sudah dikhitan, sedang semua warga tahu
kalau Buyung belumlah dikhitan. Berarti mayat ini adalah mayat Rustam. Maka setelah dimandikan, mayat bocah ini
segera diantarkan ke Rumah orang tua Rustam untuk dikafankan, dishalatkan laku diberangkatkan
peristirahatan terakhir.
Sedangkan Buyung sendiri samapai aku sebesar ini tak diketahui
rimbanya. Entah masih hidup, ikut hanyut di sungai, diculik ataupun apalah aku tak tahu. Namun warga di
sini mempercayai kalau Buyung dimangsa Antu Banyu.
Sejak saat itu Emakku jadi lebih cerewet menasehatiku untuk tak
dekat-dekat dengan Musi. Namun yang aku heran dari kekhawatiran Emakku yang
berlebihan ini adalah bagaimana mungkin aku bisa menghindari Musi, sedangkan
dari pintu dapur rumahku saja coklatnya air Musi sudah bisa disantap mata. Ah
dasar Emak.
***
Malam ini aku berencana menonton layar tancap di lapangan dekat
Musi dengan Midah, gadis pujaanku itu. Kemarin salah seorang warga dusunku ada
yang menikahkan anaknya dan layar tancap
inilah sebagai hiburannya. Sebenarnya Emak sudah melarangku untuk menonton, sebab esok
harinya aku harus bekerja keras membantu Bapak mencangkul di kebun untuk
menanam tanaman yang baru. Tapi tak aku hiraukan larangan Emak.
Setelah Isya aku bersiap-siap menjemput Midah di rumahnya, aku
menggunakan celana dasar hitam dan kemeja kotak-kotak merah, kemeja andalan
keduaku setelah kemeja biru laut polos hadiah dari Midah. Rumah Midah sendiri tak begitu jauh jaraknya
dari rumahku, kebetulan juga searah dengan lapangan tempat layar tancap
berlangsung.
Saat kutemui Midah sudah menunggu di bawah pohon nangka depan
rumahnya. Midah tampak cantik sekali dengan rok hitam semata kaki dan kaos
abu-abu. Bibirnya sedikit dipoles gincu merah jambu. Badannyapun berbau wangi.
Aku semakin senang memandang Midah dari dekat.
Kuperhatikan ada yang berbeda dari Midah, rambutnya kali ini lurus dan tak
lagi ikal, mungkin dia mengikuti gaya anak-anak kota yang pergi ke salon untuk
meluruskan rambutnya. Apapun itu, memandang Midah yang selalu tersenyum adalah
suatu hal yang selalu membuat jantungku bergemuruh.
Tak menunggu lama kamipun segera melangkahkan kaki menuju lapangan
yang ternyata sudah ramai sekali. Banyak muda mudi dan juga orang tua menyemuti tempat ini. Setelah membeli kacang
rebus aku sengaja mencari tempat yang agak gelap dan sepi agar bisa lebih
nyaman berdua-duaan dengan Midah. Akhirnya kami duduk di dekat Musi, kami duduk
pada potongan batang pohon kelapa yang
sudah habis digergaji. Memang agak jauh dari layar ditancapkan, namun tempat
ini kurasa pas untuk bisa dengan nyaman berdua-duaan dengan Midah.
Tak lama kemudian lampu layar menyala, pertanda film akan diputar. Biasanya
yang sering diputar pada acara layar tancap di dusunkuku adalah film-film
kolosal ataupun komedi. Meskipun sudah sering diputar hingga berkali-kali,
masyarakat di dusunku masih saja tak bosan untuk menonton. Kali ini aku merasa sedikit
aneh dan berbeda karena film yang diputar kali ini belum pernah aku tonton
sebelumnya. Di layar itu aku menyaksikan
seorang bujang terapung di sungai tanpa ubun-ubun di kepalanya.Aku mengamati
gambar bujang di layar itu lebih seksama.
Dan aku merasa semakin aneh saat melihat bujang itu memakai kemeja
kotak-kotak berwarna merah persis seperti yang aku gunakan saat ini. Jantungku
bergemuruh dahsyat, nafasku terasa sesak, denyut nadiku seolah hampir
tandas saat muka bujang itu terlihat
semakin jelas. Muka bujang itu mirip sekali denganku. Ya, tak salah lagi itu
memang aku!! Bagaimana ini bisa terjadi?
Kulirik Midah yang berada di sampingku, dia hanya tertawa menyeringai.
Mengerikan sekali. Lebih-lebih sekarang aku melihat dua taring muncul dari
mulut Midah dan siap menerkamku. Sejurus kemudian aku merasa jantungku tak lagi
memompa oksigen.
Catatan:
[1] Ayuk: Panggilan kakak perempuan di daerah Sumatera Selatan.
Singosari, Malang, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar