[1]
Bumi tak pernah khianat janji, berlari mengitari halaman
rumah matahari, itulah sebab begitu
cepat alamat menit berpindah tempat, kenangan sudah beranak pinak, kemarau
kembali disangkal musim, hingga rajab hangus ke sya’ban, menggemakan kidung
surgawi, pada jiwa-jiwa yang tak lelah menanti.
[2]
Wangi Ramadhan telah
dibawa bening hujan yang mengguyur dedaunan,
meninggalkan jejak tanah basah,
menguapkan aroma rindu, pada mushaf yang dipupuri debu, pada pekikan sahur yang menggusur tidur, pada ribut bedug
ompong yang menendangi lambung-lambung
kosong, pada magrib yang menjelma embun membasahi gersang kerongkong, juga pada
hembusan ayat-ayat-Nya yang meluruhi
keringat setelah rakaat ke duapuluh empat.
[3]
Kepak merpati menerbangkan memori, menyinggahi
dahan kenangan yang belum rapi, dan aku menemukan lembaran-lembaran
ingatan, tetentang bulan ketika pahala digandakan, tentang bulan yang menyapu
hitam dosa: ramadhan. Juga pada pesan
keramat Imam Ghazali “perut yang disengaja lapar karena berpuasa itulah yang
kelak akan mengetuk puntu surga” katanya.
[4]
Telah kugoreskan sebait rayu dalam gigil, kutitipkan melalui
deras arus yang bermuara pada-Mu, tentang inginku yang tumpah pada pesona malam paling mulia: yang Kau semat lima ayat dalam jingga
kitab suci yang kubaca.
Duhai Penggenggam
jiwa, izinkan aku berada dalam jamuan cinta-Mu, merukuk bersama pohon-pohon,
rumah-rumah, desau angin, pejam langit, dan semua ciptaan-Mu yang masih ada
maupun yang telah hilang, saat punggung sya’ban berpamit pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar