Kamis, 18 Juni 2015

NILAI UAS SEMETER GENAP 2014/2015



Berikut ini adalah Nilai UAS Bahasa Arab 2 program studi Ekonomi Syariah dan  Ulumul Quran Program Studi Perbankan Syariah semester genap tahun akademik 2014/2015.

Nilai Bahasa Arab 2 Prodi Esy: DOWNLOAD
Nilai Ulumul Quran Prodi S1-PBS: DOWNLOAD



Bagi Mahasiswa yang mendapat nilai C dapat mengajukan perbaikan. Waktu perbaikan Jumat, 26 Juni 2015 pukul 13.00. Perwakilan mahasiswa yang akan perbaikan silahkan menemui saya untuk menentukan tempatnya.

Selasa, 02 Juni 2015

KISI-KISI UAS SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2014/2015

Diberitahukan kepada mahasiswa yang mengikuti mata kuliah saya, bahwa Ujian Akhir Semester akan dilaksanakan pada minggu kedua di bulan juni 2015. Waktu menyesuakan jam kuliah sebagaimana biasanya.

Kisi-kisi soal dapat di download di bawah ini:
1. Kisi-kisi soal UAS Bahasa Inggris 2 Prodi HESy
2.Kisi-kisi soal UAS Bahasa Arab 2 Prodi Ekonomi Syariah
3. SOAL ULUMUL QURAN PRODI S1-PBS TAHUN 2015

أني أحبك




أكرر للمرة الألف أني أحبك 
 كيف تريديني أن افسر ما لا يفسر 
 وكيف تريدينني أن أقيس مساحة حبي 
 وحبي كالطفل 
 يزداد في كل يوم جمالا ويكبر

Untukmu yang Lembut Hatinya; Katik Rangkai Basa



Maaf jika cintaku tidak bisa kubahasakan dengan istimewa
Lewat dayu syair atau majas-majas hiperpola
Namun ketahuilah,
Tidak sedetikpun kulalui hari tanpa mengingatmu.
Betapa jiwa ini merana kala jarak memisahkan kita

Engkau yang beberapa waktu  lalu masih asing,
Kini menjadi orang yang paling mengenal dan memahamiku
Menjadi  pendamai jiwa
Kala kepiluan datang melanda
Menjadi penyejuk hati
Kala kerikil kehidupan datang menghampiri

Engkau yang lembut hatinya
Yang santun lakunya
Terimakasih sudah menjadi penyejuk jiwa.



Lampung, 31 Oktober 2014


Untuk Saudaraku yang Menanti Datangnya Jodoh




Untuk saudaraku yang menanti datangnya jodoh...
Dalam penantian datangnya jodoh impian, mungkin menciptakkan keresahan tersendiri bagi sebagian orang yang menantinya. Terlebih saat melihat rekan sebaya sudah melenggang bahagia ke pelaminan. Namun saat pujaan hati yang kita nanti-nanti tak jua menghampiri, apakah kita harus meratapi? Atau menggadaikan keceriaan yang kita miliki dan berkecil hati? Duhai saudaraku, sejatinya tidak perlu semua itu. Tetaplah ikhtiar dan doa sebagai pelipur hati yang (mungkin)  pilu.

Jika ikhtiar dan doa sudah dilakukan, namun yang diharapkan tak jua terkabulkan, jangan berburuk sangka dan buru-buru mengambil kesimpulan, mari musabahah diri, sudahkah ikhtiar dan doa kita upayakan hingga batas tawakal menghampiri? Setelah itu tanyakan lagi pada hati, sudahkan kita tawakalkan semua pada-Nya? Mempercayakan semua pada Allah yang Kasihnya tak terperi? Jika belum, serahkan semua pada Ilahi Rabbi.. semoga damai seketika mengguyuri hati.

Untuk saudaraku yang menanti datangnya jodoh...
Mari minta pada-Nya dengan sabar dan shalat. Dengan setulus-tulus doa yang kita eja di sepertiga malam yang senyap. Dalam bentangan sajadah. Dengan air mata dan linangan gerimis jiwa

Untuk saudaraku yang menanti datangnya jodoh...
Ia  Maha Tahu kapan waktu yang  paling tepat.  Ia juga yang Maha Mengerti siapa yang terbaik untuk diri. Tak perlu kita risaukan dengan segala yang terlihat gemerlap. Bisa jadi yang tampak indah di mata manusia, justru itu yang menjadikan  Allah murka.

Jangan kita tertipu dengan bungkusan. Bisa jadi yang memesona di mata kita, justru ia yang kumuh di hadapan Rabb-Nya. Bisa jadi pula, ia yang terlihat sangat biasa, namun ternyata dialah manusia yang tertanam ketakwaan di halaman hati dan lakunya. Allah lebih tau sebenar-benar isi hati. Ia yang lebih mengerti apa-apa yang tersembunyi.

Untuk saudaraku yang menanti datangnya jodoh...
Seperti halnya rizki, jodoh itu min haitsu laa yahtasib, datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Bisa saja orang yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak, ternyata ialah manusia terbaik yang Allah kirim untuk membersamai kita beribadah pada Allah dalam bingkai sunah Rasul-Nya. Atau jangan-jangan jodoh kita sebetulnya ada dekat sekali dengan kita, bernafas dalam satu kota yang sama, dalam satu kantor yang sama, dalam satu lingkup yang sama. Hanya saja, kita tidak mau membuka hati, tersebab mempunyai kriteria tinggi dalam mematok sang pujaan hati? Hingga sampai saat ini kita masih setia menyendiri.

Duhai saudaraku.. Bukan harta dan paras yang menjadi parameter utama dalam memilih pasangan. Sebab harta dan paras kadang melenakan dari kewajiban kita sebagai hamba Tuhan. Jadikan Agama dan kesadaran untuk selalu berusaha memperbaiki diri sebagai  kriteria menentukan pilihan.

Duhai saudari-saudariku yang shalihaat...
Mari selalu memperbaiki niat dan perilaku, agar lelaki shalih yang kelak datang padamu, yang mencintaimu setulus hati dan tak pernah jemu.

Duhai  saudara-saudaraku yang shalihiin..
Shalihkan dirimu agar kau terlihat gagah. Jangan pula malas mencari nafkah. Agar calon mertua menyerahkan anak gadis mereka dengan ikhlas dan tanpa rasa resah. Jika sudah, jemputlah gadis shalihahmu dalam rangkaian khitbah dan akad yang indah.


Sebuah catatan kecil satu bulan menjelang pernikahan

Lampung, 12 Juli 2014

Untuk Panjenengan, Uda Taufiq Hidayat Nazar

Hari hari bertabur cinta
Meki masih hitungan hari
Namun kau telah menaburkan beribu bahagia di hati

Kau benar, cinta memang bukan masalah usia
Bukan juga tentang kata-kata cinta fatamorgana
Yang  diumbarsebelum mitsaqon ghaliza tiba

Sebab cinta adalah tentang ketenangan hati
Saat berdampingan dengan belahan hati
Untuk menggapai ridha-Nya kala meniti hari demi hari

Cinta juga tentang ketulusan
Dan bersinergi untuk saling melengkapi kekurangan
Agar selaras mengarungi melodia zaman

Cinta juga tentang berbagi
Dan tidak perlu mengungkit apa yang telah kita beri
Sebab kebaikan selalu mengerti
Ke arah mana ia akan kembali

Jika bening embun dapat menyejukkan pagi
Maka engkau adalah rinai hujan yang turun setelah gersang merajam bumi
Jika ricik air dapat menghapus tiap-tiap dahaga
Maka kehadiranmu  adalah obat kepiluan jiwa

Untuk panjenengan, Uda Taufiq Hidayat Nazar
Terimakasih telah membersamai
Menjadi suami sekaligus sahabat hati yang selalu siap kuajak berbagi.

Uhibbuka hubban syadidan, yaa zawji,yaa habibi albi.  :’)

Kepada Nafasmu; Katik Rangkai basa

Maaf jika cintaku tidak bisa kubahasakan dengan istimewa
Lewat dayu syair atau majas-majas hiperpola
Namun ketahuilah,
Tidak sedetikpun kulalui hari tanpa mengingatmu.
Betapa jiwa ini merana kala jarak memisahkan kita
Betapa hati ini pilu kala terbangun tengah malam dan tak ada kau di sampingku.

Engkau yang beberapa bulan lalu masih asing,
Kini menjadi orang yang paling mengenal dan memahamiku
Menjadi  pendamai jiwa
Kala kepiluan datang melanda
Menjadi penyejuk hati
Kala kerikil kehidupan datang menghampiri

Engkau yang lembut hatinya
Yang santun lakunya
Terimakasih sudah mencintaiku apa adanya



Lampung, 31 Oktober 2014


PUNGGUNG SYA’BAN BERPAMIT PULANG


[1]
Bumi tak pernah khianat janji, berlari mengitari halaman rumah matahari, itulah sebab  begitu cepat alamat menit berpindah tempat, kenangan sudah beranak pinak, kemarau kembali disangkal musim, hingga rajab hangus ke sya’ban, menggemakan kidung surgawi, pada jiwa-jiwa yang tak lelah menanti.

[2]
Wangi  Ramadhan telah dibawa bening hujan yang mengguyur dedaunan,  meninggalkan  jejak tanah basah, menguapkan aroma rindu, pada mushaf yang dipupuri debu, pada pekikan sahur  yang menggusur tidur, pada ribut bedug ompong  yang menendangi lambung-lambung kosong, pada magrib yang menjelma embun membasahi gersang kerongkong, juga pada hembusan ayat-ayat-Nya yang  meluruhi keringat setelah rakaat ke duapuluh empat.

[3]
Kepak merpati menerbangkan memori,  menyinggahi  dahan kenangan yang belum rapi, dan aku menemukan lembaran-lembaran ingatan, tetentang bulan ketika pahala digandakan, tentang bulan yang menyapu hitam dosa: ramadhan.  Juga pada pesan keramat Imam Ghazali “perut yang disengaja lapar karena berpuasa itulah yang kelak akan mengetuk puntu surga” katanya.

[4]
Telah kugoreskan sebait rayu dalam gigil, kutitipkan melalui deras arus yang bermuara pada-Mu, tentang inginku yang tumpah pada  pesona malam paling  mulia: yang Kau semat lima ayat dalam jingga kitab suci yang kubaca.


Duhai  Penggenggam jiwa, izinkan aku berada dalam jamuan cinta-Mu, merukuk bersama pohon-pohon, rumah-rumah, desau angin, pejam langit, dan semua ciptaan-Mu yang masih ada maupun yang telah hilang, saat punggung sya’ban berpamit pulang.

Bumi Kinanah


Tentang Bumi Kinanah
yang menyungai darah
Bertambah bilangan  yatim dan piatu
sebab hujaman peluru-peluru

Misr al-Ghaliyah, Allah jamin dalam Quran-Nya
“Udhuluu Misra Insha Allahu Aminin”

Yaa Misr al Ardhil Kinanah
Yaa Misr al ‘Azhimah
Yaa Misr al Rahinah
Yaa Misr al Majidah
Yaa Misr al Hazinah
Tak ada yang mampu kubuat
Selain menjadi anak panah
Melalui doa resah dalam hamparan sajadah
Padamu,  jasad-jasad yang telah rebah
Tuhanmu  Maha adil dan pemurah
Akan ada pertanggungjawaban
Atas kejinya sebuah kezaliman.

Metro, Lampung, 2013


Negeri Pesisir



Dapatkah kau dengar bingar nyanyian, Tuan?
Melubangi telinga Tuan yang renta
Tentang mereka yang  menabung lapar di lambung
Berbaju lusuh dan berpeluh
Mengepal lelah hingga tumit pecah dan terbelah

Juga tentang mereka yang lain
bergincu dan minum susu
wangi dan berbaju rapi
Plesir ke negeri paling pesisir


Metro, Lampung, 2013

Luka paling menganga


Tak ada luka paling menganga
selain kesedihan gadis yang ditinggalkan pujaan
hidup serupa neraka
menjejak seperti mayat berjalan
hari-hari berkidung lara
air mata beku  menjadi  kesakitan
itulah guna iman tertancap di dada
agar tak salah langkah dan tujuan

Metro, Lampung, 2013

Luka paling menganga


Tak ada luka paling menganga
selain kesedihan gadis yang ditinggalkan pujaan
hidup serupa neraka
menjejak seperti mayat berjalan
hari-hari berkidung lara
air mata beku  menjadi  kesakitan
itulah guna iman tertancap di dada
agar tak salah langkah dan tujuan

Metro, Lampung, 2013

Menenun Jejak


Perihal pipiku yang mengalir sungai sungai kecil
Dari mata yang membanjir saat embun mulai mengigil
Tersebab hati telah retak
Sejak cintamu enggan mengarak
Tiba waktuku menenun jejak
Mengumpulkan kenangan yang mulai mengerak
Untuk kutanak  menjadi sajak-sajak


Metro, Lampung, 2013

Restu Tetua


Apalagi yang bisa dilakukan gadis yang merindukan pujaan
Selain lelap yang digadai dalam doa-doa malam
Atau menanam sungai di pipi dengan aliran airmata yang  memecah bebatuan

Tak ada lagi yang kita tunggu
selain restu terseduh dari hati para tetua dengan ikhlas penuh
Sedang semua rasa dalam dada tak henti-henti bergemuruh
Tentang  penyamudraan hati yang ingin  segera berlabuh
Memuarakannya dalam ijab qabul utuh

Katamu, kita akan membangun cita cinta
Dari mimpi-mimpi yang lelah berkelana
Pada malam-malam pekat miskin cahaya

Telah tua asa kita langitkan
Terbang jauh, payah menemukan tepian; adalah kepedihan.
Seperti burung-burung kecil dianiaya kehausan
Lelah hampir  jatuh dari dahan-dahan harapan

Kabarkan kedatangan, Kakanda
Bersama aroma Singkarak yang harum
diteruskan siut angin yang tak henti tersenyum
hingga penantian lebur dalam syukur yang terlantun


Metro, Lampung, 2013

Muasal dari Segala Kepergian


Sejak abad-abad jauh yang tak butuh hitungan,
datang adalah muasal dari segala kepergian.
Lalu, sunyi  adalah muara dari segala kesedihan.

Pernah kita memahat kenangan, dalam tiap tapak-tapak jalan, pada sawah dan ladang-ladang, pada bunga-bunga  kopi yang wangi,  pada rupa yang datang dan pergi bergantian, yang banyak mengajarkan silsilah kehilangan.

Satu tanya yang tersembunyi dalam sunyi-sunyi yang kunaungi. Perihal alasan engkau membakar ribuan peta, hingga kesedihan tidak pernah tahu bagaimana seharusnya menapaki jalan, menuju mukim di rahim-rahim kebahagiaan

Dimataku nanti akan tumbuh lubuk. Dengan ratusan ikan yang tak pandai berenang. Tersebab engkau lupa menitipkan sirip dan insang.

Nanti engkau paham, air mata mampu lebih banyak berkata-kata,  sunyi dan puisi menjadi lebih nyata dari  segala yang aku rasa.


Singosari, Malang,  2013

Merdu laku Seorang Ibu

Kueja gurat semangat sebaris pesan
Pada tubuh yang  merapuh tanpa keluh
Keriput  mengkrucut tak menggoda semangatnya lucut.
Hingga kering genang lautan lelah  dibuatnya ciut

Kusaksikan merdu laku seorang ibu
Pada pemilik mata jelita sehitam zaitun
Luap bening embun kasihnya  menetes tertuntun
membasahi rerumputan hati  agar tak pias disapu panas

Dialah pemilik rahim garba
Tempat  awal kisah anak manusia  bermula
Menjinakkan kemarau
Mendamai badai
Mengunyah dahsyat rimba kehidupan

Dialah bidadari bumi hadiah Tuhan
Pembawa kehangatan langit
Pengibas kutukan semesta
Karna di suci telapak kakinya
Mengalir deras arus firdaus
Berbakti padanya adalah menyalakan seribu bintang
Dalam gelap lumbung tempat berpulang.


Lampung, 24-05-2011

Kepada Nafasmu..

[1]
Kepada nafasmu yang pernah mengalirkan bening hujan
Melalui dering telpon genggam, yang selalu aku tunggu saat langit mulai memejam.

Manalah mungkin aku memutus urat di nadimu
Sedang darahku terlanjur mengalir di dalamnya
Menyusuri tiap degub jantungmu
Yang mendenyut di dadaku.

[2]
Kepada coklat biji matamu yang pernah menghantarkan semangat
Melalui bening embun pagi yang menghinggapi kuncup pucuk melati

Manalah mampu kuparuh hatimu dan menyodorkannya pada yang lain; adalah meminang kesedihan.
Serupa merubah biru menjadi abu. Lalu membiarkan waktu mati dengan caranya sendiri.

[3]
Musim telah berganti nama, kepada durja ia memilih hinggap
Birupun terlanjur menjelma abu
Tiada lagi rindu yang bersambut
Atau tawa yang mengobati risau hati paling putus asa
Sedu menderu, sedih merepih memilu

[4]
Kususuri tiap letih yang tertitih
Mengunyah waktu lalu meludahkannya dalam aliran parit mimpi burukku
Kulangitkan doa pada Ia Sang penggenggam Nyawa

Semoga dapat menjadi mantra bagi luka-luka hati yang masih menyala

Lelaki Cahaya; Sebuah Dzikir kerinduan

Kepada Lelaki Cahaya, yang melalui Rahim garba Umunaa Aminah kisahnya sebagai anak manusia bermula; Muhammad ibn Abdullah.

Setelah sejarah menerjemahkan riwayat kehidupanmu yang paling darah
dalam naungan langit dan bumi yang terkadang damai dan  bergetar marah
yang sampai padaku  melalui gemulai angin yang melewati kekokohan gunung-gunung juga wangi samudra  yang menyuburkan tanah
maka kerinduan yang membuncah menjadi serupa umpan yang mengundang airmata untuk selalu tumpah
dalam shalawat muhabbah
doa yang menengadah
dan bentangan sajadah yang resah.

Dzikir kerinduan yang mengetuki hati paling nurani adalah muara dari mataku yang menelaga
hingga sungai-sungai membanjir di pipi
membuncahkan keimanan yang sering rapuh menjadi kembali mendidih bergemuruh
hanya tertuju kepada engkau duhai lelaki cahaya
yang harum namanya terus mendenyut dalam jantung-jantung  zaman berabad-abad lamanya.

Maka izinkan aku menikmati rindu yang mengumpar terbiar
mengarus dalam aliran denyut-denyut nadi yang menjadikan tubuhku bergetar
Sehingga tak dapat kuungkapkan segala rindu yang mekar
kecuali dengan cinta, linangan air mata dan gerimis jiwa yang membelukar

Biarkan pula kulantunkan dzikir dalam kucuran alir dawat syair.
Maka kini kupilihkan untukmu rindu yang tiada tepi,  yang kugoreskan dalam bait-bait puisi
 Lalu mengeraminya menjadi sebuah cerita tanpa narasi
agar rindu yang kian  menggemuruh dapat sampai kepadamu
bersama doa-doaku yang pilu membiru aku mengharap dekapan syafaatmu. --Yaa Habiballah, salam ‘alaik--

Nganjuk, Juli 2012


Hikayat Wanita yang Memerami Air Mata


Syahdan, seorang wanita berwajah manis, o bukan, seorang gadis dibalut kain minimalis berlari ke tepian malam dengan sekarung cemas dan air mata yang telah lama ia peram.

Dibawanya serta riwayat pesakitan, lambung kosong serta perih kehidupan yang sejak lama menganiaya usia.

Siapa yang bisa disalahkan saat
Lalu, dititipkanya kebahagiaan yang serupa benalu pada desah yang meresah, cucuran keringat juga goncangan cairan tengah tubuh anak manusia; surga baginya.

Apakah ia tak mengenal cerita nabi-nabi atau indahnya surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai susu? Atau  kalajengking dan cacing-cacing yang menjadi teman setelah nyawa diceraikan badan?

Oo bukan,
bukan hendak melumat bulat-bulat perihal siksa kubur juga api neraka, namun kisah paling darah ini hanya ia yang mampu menjamahinya. Bukan kamu, bukan kita, ataupun wanita-wanita kampung yang dari bibirnya selalu berloncatan segala serapah.

--Kini ia terus melangkah dengan biduk pelepah dan air mata, dengan kenangan yang terus beranak pinak, dengan ramai dosa yang menyesakki batok kepala.

Ia mulai mengemas juga mangemis cinta Pencipta, karena sejauh apapun jiwanya bertualang, dalam lumbung kosonglah kelak ia akan berpulang.


Sesayat Rusuk

Kelak rindu ini tertunai, oleh engkau yang akan membersamaiku menjinakan hujan dan kemarau.


Akan tiba waktunya engkau menjadi pakaianku-aku menjadi perhiasanmu, lalu saling bergenggaman tangan untuk menuju imperium baru.


Biarlah di tigaratus purnama usiaku yang hampir purna kita masih dibentangkan jarak, kelak kita telan jarak itu bulat-bulat, hingga ia melebur dalam baur, dan aku menjadi pengamin setia doa-doamu.


Lalu, pendar-pendar cahaya menjelma satu per satu, membias, menyejarah dalam payungan matahari; Jundi-jundi kita.


Sebab rindu yang sebegini derasnya hanya kita yang akan merasakan. Sampai nanti saat senja menganiaya usia, raga kita tak lagi mampu, namun jiwa tetap berpeluk-peluk.

Maka jagalah selalu semesta kecil di dada kita; Qolbu. Agar saat temu nanti benar-benar nyata, buncahan rindunya, letupan cintanya menggetarkan kaki-kak surga. Melesat hingga ke jannah-Nya. ---Aamiin yaa Mujibassailiin---




Sajak Kerinduan 1

Perihal kerinduan adalah rapal yang menyibukkan bibir, jari yang terjulur dalam kidung doa dan dzikir panjang, mulai dini hari juga saat  langit padam. Agar kita tak mendurhakai atas telapak kaki dan ubun-ubun yang terlanjur terlahir.

Takkan pernah selesai kutunai jasanya, saat yang dieraminya dengan  darah dan airmata. Sehingga rangkuman sunahnya serupa kompas  abadi bagi penjejak bumi seesudahnya. Maka Tuhan dan malaikat melangitkan shalawat untuknya; jangan dustakan ayat Tuhan pada Al azhab 56.


1/
Perihal kerinduan adalah mantra yang mengarus dalam shalawat, jari yang terjulur dalam kidung doa dan dzikir panjang, mulai dini hari juga saat  langit padam. Agar kita tak mendurhakai atas telapak kaki dan ubun-ubun yang terlanjur terlahir. Juga rindu yang selalu ranum pada pemilik mata seindah zaitun, adalah kepada engkau Yaa Habiballah.

2/
Takkan kering air ingatan, pada sebaris mantra, dalam kitab yang dieraminya dengan  darah dan airmata. Sehingga rangkuman sunahnya serupa kompas  abadi bagi penjejak bumi seesudahnya. Maka Tuhan dan malaikat melangitkan shalawat untuknya; jangan dustakan ayat Tuhan pada Al azhab 56.

3/
Cahayamu, adalah tempat tertanam dan tumbuhnya segala rindu yang biru, cinta yang nyata. Hingga aku menyalakan pijaran-pijaran harap, yang kini mengapung, terpantul dalam ribuan shalawat, dapatkah menerobosi jendela-jendela syafaatmu, Ya Habiballah?

4/
Seperti menghitung bilangan prima, satu satu luruh air mata, atas juntaian-juntaian dosa, juga alpa yang paling nanah. Namun cintamu, adalah letupan-letupan yang mengelus batin untuk memekarkan senyum.


Dengan jiwaku yang merunduk juga alunan salawat yang kuterbangkan pada bahumu yang sahaja, semoga dapat menjadi wasilah atas rindu-rindu yang kelak terijabah -Allahumma shali wa salim ala sayyidina Muhammad-

Melodi Rindu


Menatap langit pekat bumi Lampungku
Tak satupun bintang menggantung di sana
Tak hadir jua bias dewi malam
Mendung menyulap benda-benda langit berembunyi di balik awan hitam yang menggumpal
Seperti gumpalan rindu dalam hatiku
Pada sekeping hati yang tak pernah tau dirindu.


Lampung, 10-05-2011

MENDEKAP NIRMALA

Ada rasa yang menderas di halaman hati
Mengalir dan bermuara pada kolam asa
Dipayungi langit pekat tanpa cahaya
Meski gelap kukuh menawan jiwa
Aku tak akan lelah menanti purnama
Hingga “bangunanmu” kokoh dan mengepakkan sayapnya
Menerbangkanku dalam denyut nadi yang tak sama
Melesat, jauh mendekap nirmala.
  Aku masih sama,
Menanti kuncupmu mekar jadi bunga
Menebar wangi bak kesturi di taman surgawi
Menjemputku mengalunkan melodi merdu
Mengikatnya dalam simpul yang satu.



Malang, 12-10-2011

ANGKUH


Gigil mengadu gigi
merusak rusuk
Kutarik selambu yang mengantongi debu
Menutupkannya pada tulangmu yang kemarau.
Kau gusar.
Tak sudi kotor mencicipi wangimu.
Kuberlari
Menembusi karat bergerigi
Kau longokkan kepala
Menyusuri tiap lorong sunyi
Mencari jantungmu yang kucuri.
Kau dapati aku
Saat sedih sedang kuseduh.
Dengan silau mata pisau
kau ukur akar yang mengukir di nadiku.
Baru kau tahu, semua namamu.
Lalu, saat selang sesal berseling di irisan-irisan degubmu.
Baru akan kau rindui punggung yang berpamit pulang.

HUTANKU




Hutanku..
Laksana penyejuk, kau menjadikan udara segar
Hijaumu terhampar, pohon-pohon menjulang dalam bentangan cakrawala lebar
Kau menyemak belukar, menjadi habitat satwa jinak dan liar

Hutanku..
Kau penyeimbang biosfer..
Menjaga tanah dari erosi
Menyimpan air di dalam perut bumi
Menetralkan udara dari polusi

Namun kini...
Batangmu tumbang oleh tangan-tangan kasar
Indahmu binasa oleh manusia-manusia tamak berhati liar
Sejukmu berganti kepulan asap ranting-ranting terbakar

Aku sedih..
Aku pilu..
Aku menangis kering dawat syairku..
Tak mampu lagi bercerita tentang indahnya hutanku..








                                         

Senin, 01 Juni 2015

Semoga seterusnya tetap menyenangkan seperti ini.

Seperti malam-malam biasanya,  sambil menjemput kantuk kita saling bercerita tentang apa yang kita alami masing-masing seharian tadi. Tentunya setelah melakukan ritual standart kita sebelum tidur; wudhu dan berdoa. Setelah itu kita merebahkan diri di atas tempat tidur dengan saling berhadapan, aku menghadap ke kanan dan kamu menghadap ke kiri, lalu setelah saling bercanda, kamu menceritakan hal-hal yang kamu alami seharian di kantor dan aku mendengarkan. Atau sebaliknya, aku yang bercerita tentang apa yang kualami bersama murid-murid TK ku yang menggemaskan dan kamu yang akan mendengarkan.


Selalu saja, saat aku bercerita pandanganmu tak pernah bergeser se-centipun dari mataku. Matamu selalu saja mengejar ke manapun retinaku berlari. Kamu selalu memperhatikan dan mendengarkan dengan seksama saat aku membagi cerita, lalu kamu akan terbahak-bahak jika aku  sedang menceritakan tingkah salah satu muridku yang lucu, atau kamu akan kuatir minta ampun jika aku menceritakan hal yang hampir saja membuatku cidera, tidak jarang juga tiba-tiba kamu menghentikan ceritaku sekedar untuk mengatakan “I love you” di sela-sela aku bercerita. Lalu akupun membalas ucapanmu “I love you too” atau sekedar kata “too” dan akupun kembali melanjutkan ceritaku. Hingga akhirnya kita sama-sama terlelap, aku kurang tahu aku yang tidur terlebih dulu ataupaun kamu, yang aku tahu saat aku terbangun sebelum subuh menjelang, tanganmu sedang melingkari tubuhku atau kepalaku yang berada di dadamu.

Namun jika kita sama-sama terlalu lelah, maka tidak ada cerita untuk malam itu, kita hanya akan saling mengucapkan selamat tidur dan kamu mengecup keningku, lalu seperti biasa kamu melingkarkan tanganmu ke tubuhku, tak lama kemudan menyusul suara dengkurmu. Saat itu aku hanya memandangimu yang sudah terlelap sambil membelai-belai rambutmu, atau sekedar menciumi tanganmu pelan-pelan agar tak membangunkamu.

Tapi dari malam-malam yang telah kita lewati bersama sejak pernikahan kita, kita lebih sering berbagicerita terlebih dahulu sebelum tidur dibandingkan langsung terlelap. Dan aku selalu suka ritual kita ini. Semua terasa menyenangkan sekali. Semoga seterusnya tetap menyenangkan seperti ini.



Ini tentang cara kita membangunkan tidur

Ini tentang cara kita  membangunkan tidur. Biasanya aku yang akan bangun lebih awal daripada kamu, tapi tak jarang juga kamu yang bangun terlebih dahulu daripada aku. Biasanya kamu sengaja bangun setelah tengah malam untuk menuangkan ide-idemu ke dalam tulisan, lalu mengirimkannya ke salah satu media keesokan harinya, hobi yang memang telah menemanimu jauh sebelum kamu memintaku menjadi belahan jiwamu dan aku menerimanya. Lalu beberapa menit menjelang subuh kamu akan membangunkanku, bersama-sama melaksanakan amalan yang memang kita niatkan untuk terus konsisten melakukannya setiap hari jika tidak ada halangan; tahajud dan tilawah bersama hingga adzan Subuh.

Seperti kali ini misalnya, setelah menyelesaikan tulisanmu, kamu membangunkanku lembut, mendekatkan bibirmu ke telingaku, membisikkanku sesuatu yang akan membuatku terbangun, namun kalau aku tetap juga tidak terbangun, biasanya kamu akan menggelitik atau menciumiku bertubi-tubi sampai aku terbangun. Kadang aku memang sengaja tidak membuka mata saat kamu berbisik membangunkanku, walaupun sebenarnya bisikanmu itu sudah bisa membangunkanku. Hihihi.. kamu jangan marah ya? Alasanku, karena aku menunggu untuk kamu cium.  

Aku juga punya cara untuk membangunkan tidurmu, biasanya setelah berwudlu aku akan menempelkan tanganku ke pipimu, dinginnya tanganku akan merambati pori-pori kulitmu dan memerintahkan syaraf untuk membuka matamu. Namun jika cara ini belum berhasil, kukeluarkan jurusku selanjutnya, yaitu  membuat secangkir hot chocolate dan mendekatkan aromanya ke hidungmu. Biasanya cara ini cukup ampuh, karena kamu memang penggemar hot chocolate. Tapi, jika cara ini juga belum berhasil, maka aku ikuti caramu membangunkanku, yaitu menggelitik atau menciumimu bertubi-tubi. Jika sudah begini, kamu tidak mungkin lagi melanjutkan lelapmu.

Oya, katamu dengan menempelkan tanganku ke pipimu setelah berwudhu atau mendekatkan aroma hot chocolate ke hidungmu, sebenarnya itu sudah bisa membangunkan tidurmu. Kamu memang sengaja bermanja-manja tidak mau bangun. Dan rupanya alasanmu sama juga dengan alasanku, yaitu karena kamu menunggu untuk aku cium. Hihihi..


Ah kamu, suamiku, aku mencintaimu, terimakasih telah bersedia membersamaiku, menjadi imam dalam shalat-shalat kehidupanku.

Antu Banyu



Aku tinggal di sebuah dusun yang miskin dari sentuhan komoderenan. Masyarakat di dusunku adalah orang-orang yang dalam kepalanya banyak ditumbuhi pemikiran kolot. Sebagian besar masyarakat dusunku ini bekerja sebagai tukang gergaji mesin, nelayan, pengasap ikan, pengusaha kerupuk ikan rumahan dan berkebun. Ada juga yang bekerja sebagai pegawai negeri, namun itu cukup bisa dihitung dengan jari.  Namun jangan ditanya tentang rasa kekeluargaan, tolong menolong, kesetiakawanan, dan juga bela-membela saat ada tetangga atau familinya yang cekcok mulut di pasar, bisa dipastikan tiada banding, pastilah ereka akan membela mati-matian hingga titik darah penghabisan. Meskipun cekcok mulut itu hanya karena hal sepele.
Masyarakat  di dusunku terbiasa memulai kembali menyalakan nyawa dari tidurnya sejak matahari belum berani mengintip bumi. Asap-asap akan mengepul dan merayap ke atas genteng dapur rumah-rumah di sini, pertanda para ibu sudah mulai menyalakan kayu untuk memasak. Anak-anak merekapun sudah dilatih untuk bangun sebelum subuh sejak kecil.  Nanti saat suara adzan dimuntahkan dari toa surau, merekapun akan berbondong-bondong  ke surau untuk shalat subuh  berjama’ah.
Anak-anak gadis di dusunku juga sudah terampil betul mengurus pekerjaan rumah sejak usia mereka belum baligh, mulai dari memasak, menyapu, menyuci baju di Musi, dan segala jenis pekerjaan rumah tangga lainnya. Pendidikan mereka rata-rata hanya mencapai MTs, ada juga yang sampai Aliyah dan perguruan tinggi, namun tentu itu menjadi pemandangan langka di dusunku. Maka tak heran jika di dusunku banyak gadis yang sudah menikah sejak usia mereka masih sangat belia.
Sedangkan bujangnya sendiri memiliki pendidikan yang lumayan lebih beruntung, bujang-bujang di sini rata-rata sekolah sampai  bangku Aliyah. Setelah lulus, banyak dari mereka yang merantau ke pulau seberang untuk bekerja di PT ataupun menjadi kuli bangunan. Ada juga yang membantu pekerjaan orangtua mereka di dusun. Seperti aku, setelah lulus Aliyah setahun yang lalu, aku masih setia menetap di dusun, membantu orang tuaku berkebun dan  dan membantu Pak Haji Maksum mengajar anak-anak mengaji di surau. Selain itu alasan yang membuatku betah menetap di dusun ini adalah Midah, gadis pujaanku yang berambut ikal sebahu, bermata bulat dengan bola mata yang coklat.
Meskipun rajin sembahyang berjamaah di surau, namun masyarakat di dusunku masih banyak yang mempecayai mitos-mitos. Termasuk mitos tentang Antu Banyu, yang katanya berwujud perempuan  bertaring dan berambut panjang dan akan muncul di malam hari saat air  Musi berwarna kecoklatan dan terasa hangat.  Antu banyu ini konon sangat menggemari ubun-ubun kepala dan sum-sum tulang belakang manusia, terutama ubun-ubun kepala bujang dan anak-anak kecil yang aqil baligh. Aku sendiri tak terlalu percaya dengan mitos-mitos semacam itu. Namun Emak dan Ayukku adalah termasuk dari mereka yang sangat percaya tentang mitos Antu Banyu ini. Maka tak heran kalau Emak akan sangat melarangku bermain di pinggir Musi  pada saat-saat tertentu yang disinyalir sebagai waktu keluarnya Antu Banyu dari sarangnya.
Ada kejadian yang akan selalu hidup dalam ingatan-ingatan masyarakat asli dusunku ini, kejadian ini terjadi saat aku masih SD. Saat itu dusunku digemparkan dengan hilangnya dua orang teman bermainku, Buyung dan Rustam. Mereka dikabarkan tak pulang ke rumah sampai langit sudah memejam. Semua warga bergotong royong mencari Buyung dan Rustam sampai ke sudut-sudut dusun, kuburan dan rawa-rawa sambil membawa obor dan memukuli piring seng. Masyarakat dusunku percaya jika pukulan piring seng ini dapat memanggil kembali anak kecil yang sedang disembunyikan makhluk-makhluk halus. Sebagian warga yang lain ada yang mencari di sungai sambil menaiki getek dan membawa lampu patromak. Dikhawatirkan Buyung dan Rustam hanyut di Musi. Karena terakhir  kali ada yang melihat kedua bocah itu memanjat pohon kelapa di dekat Musi setelah pulang sekolah.
Dusunku mendadak ramai dengan kur warga yang memanggil-manggil nama Buyung dan Rustam.  Aku yang saat itu masih SD tak ikut mencari keliling dusun ataupun ke Musi, aku hanya ikut Ibu dan Ayukku membaca yasin di surau bersama ibu-ibu dan anak kecil lainnya, berdoa agar Buyung dan Rustam segera ditemukan. Namun sampai rona fajar bergurat di pipi langitpun kedua bocah yang dikabarkan hilang itu tak kunjung muncul batang hidungnya. Sudah pasti warga menjadi semakin panik, kulihat Emak dari Buyung dan Rustampun menangis dan saling berpeluk menghawatirkan nasib anak-anak mereka. Kulirik mata Emakku juga sudah merah dan sebentar lagi pasti akan turun gerimis dari sana.
Warga kembali ke rumah mereka masing-masing. Aku yang saat itu tak tidur semalaman izin tak masuk sekolah. Sebagian warga juga banyak yang tak beraktifitas, kecuali para pengasap ikan yang memang sudah dikejar pesanan.
Belum saja bedug dzuhur berbunyi, dusunku digemparkan oleh teriakan  warga yang menemukan sosok mayat mengapung di Musi. Semua warga berbondong-bondong menuju tepian sungai. Di sana kami melihat satu mayat anak seusiaku yang masih menggunakan seragam sekolah, tubuhnya sudah mengembung menjadi hampir dua kali lipat dari aslinya, mukanyapun sudah sulit dikenali, namun bisa dipastikan mayat yang ditemukan itu adalah salah satu dari bocah yang hilang kemarin. Orang tua Buyung dan Rustampun menangis histeris sambil berlari ke tepi Musi.
Melihat dari ciri-ciri yang ada, mayat bocah yang ditemukan itu lebih mirip Buyung, maka mayat itupun dibawa warga ke Rumah Mang Nandar, Orang tua Buyung. Alat-alat untuk mengurus jenazahpun sudah disiapkan di rumah Mang Nandar. Mulai dari kafan, gentong-gentong air untuk memandikan mayat, sampai dengan keranda mayat.
Namun kejadian menjadi semakin kalut saat mayat  mulai dimandikan. Ternyata mayat yang dimandikan itu bukanlah mayat Buyung seperti yang diperkirakan. Karena mayat yang dimandikan di rumah Mang nandar itu sudah dikhitan, sedang semua warga tahu kalau Buyung belumlah dikhitan. Berarti mayat ini adalah mayat Rustam.  Maka setelah dimandikan, mayat bocah ini segera diantarkan ke Rumah orang tua Rustam untuk dikafankan, dishalatkan laku diberangkatkan peristirahatan terakhir.
Sedangkan Buyung sendiri samapai aku sebesar ini tak diketahui rimbanya. Entah masih hidup, ikut hanyut di sungai, diculik  ataupun apalah aku tak tahu. Namun warga di sini mempercayai kalau Buyung dimangsa Antu Banyu.
Sejak saat itu Emakku jadi lebih cerewet menasehatiku untuk tak dekat-dekat dengan Musi. Namun yang aku heran dari kekhawatiran Emakku yang berlebihan ini adalah bagaimana mungkin aku bisa menghindari Musi, sedangkan dari pintu dapur rumahku saja coklatnya air Musi sudah bisa disantap mata. Ah dasar Emak.
***
Malam ini aku berencana menonton layar tancap di lapangan dekat Musi dengan Midah, gadis pujaanku itu. Kemarin salah seorang warga dusunku ada yang menikahkan anaknya  dan layar tancap inilah sebagai hiburannya. Sebenarnya Emak  sudah melarangku untuk menonton, sebab esok harinya aku harus bekerja keras membantu Bapak mencangkul di kebun untuk menanam tanaman yang baru. Tapi tak aku hiraukan larangan Emak.
Setelah Isya aku bersiap-siap menjemput Midah di rumahnya, aku menggunakan celana dasar hitam dan kemeja kotak-kotak merah, kemeja andalan keduaku setelah kemeja biru laut polos hadiah dari Midah.   Rumah Midah sendiri tak begitu jauh jaraknya dari rumahku, kebetulan juga searah dengan lapangan tempat layar tancap berlangsung.
Saat kutemui Midah sudah menunggu di bawah pohon nangka depan rumahnya. Midah tampak cantik sekali dengan rok hitam semata kaki dan kaos abu-abu. Bibirnya sedikit dipoles gincu merah jambu. Badannyapun berbau wangi. Aku semakin senang memandang Midah dari dekat.  Kuperhatikan ada yang berbeda dari Midah, rambutnya kali ini lurus dan tak lagi ikal, mungkin dia mengikuti gaya anak-anak kota yang pergi ke salon untuk meluruskan rambutnya. Apapun itu, memandang Midah yang selalu tersenyum adalah suatu hal yang selalu membuat jantungku bergemuruh.
Tak menunggu lama kamipun segera melangkahkan kaki menuju lapangan yang ternyata sudah ramai sekali. Banyak muda mudi dan juga orang tua  menyemuti tempat ini. Setelah membeli kacang rebus aku sengaja mencari tempat yang agak gelap dan sepi agar bisa lebih nyaman berdua-duaan dengan Midah. Akhirnya kami duduk di dekat Musi, kami duduk  pada potongan batang pohon kelapa yang sudah habis digergaji. Memang agak jauh dari layar ditancapkan, namun tempat ini kurasa pas untuk bisa dengan nyaman berdua-duaan dengan Midah.
Tak lama kemudian lampu layar menyala, pertanda film akan diputar. Biasanya yang sering diputar pada acara layar tancap di dusunkuku adalah film-film kolosal ataupun komedi. Meskipun sudah sering diputar hingga berkali-kali, masyarakat di dusunku masih saja tak bosan untuk menonton. Kali ini aku merasa sedikit aneh dan berbeda karena film yang diputar kali ini belum pernah aku tonton sebelumnya. Di  layar itu aku menyaksikan seorang bujang terapung di sungai tanpa ubun-ubun di kepalanya.Aku mengamati gambar bujang di layar itu lebih seksama.  Dan aku merasa semakin aneh saat melihat bujang itu memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah persis seperti yang aku gunakan saat ini. Jantungku bergemuruh dahsyat, nafasku terasa sesak, denyut nadiku seolah hampir tandas  saat muka bujang itu terlihat semakin jelas. Muka bujang itu mirip sekali denganku. Ya, tak salah lagi itu memang aku!!  Bagaimana ini bisa terjadi? Kulirik Midah yang berada di sampingku, dia hanya tertawa menyeringai. Mengerikan sekali. Lebih-lebih sekarang aku melihat dua taring muncul dari mulut Midah dan siap menerkamku. Sejurus kemudian aku merasa jantungku tak lagi memompa oksigen.

Catatan:
[1] Ayuk: Panggilan kakak perempuan di daerah Sumatera Selatan.


Singosari, Malang, 2012

Malam ini kucoba pula mencelupkan sepasang mata hatiku pada sepotong layar...

Malam ini kucoba pula mencelupkan sepasang mata hatiku  pada sepotong layar yang menggenangi wajah teduhmu. Memoriku melesat jauh ke belakang, ada jutaan nafas-nafas bahagia, jiga kala aku belajar mengemas riwayat hatiku yang pernah jatuh pada rasa dalam bening tangan paling putus asa. Ada basah berenang ke dada. Hatiku gerimis.


Kucoba menyalakan saklar lampu-lampu ingatanku. Mengais-ngais memori yang masih belum pergi. Pada sebuah titik rasa ini bermula. Namun hingga kini, aku tak pernah paham cara Tuhan menanammu dalam ingatan.

Di tengah desir gerimis...

Di tengah desir gerimis yang lamat menyapa telinga, saat petang ingin telanjang,  pada langit yang telah memejam, kutunggu janji yang telah ditunai siang tadi. Namun nihil, dan terpaksa kutelan lg pil phit.

Malam hangus, dini hari menjelma. Namun kantuk tak jua tiba.sekuat tenaga kukunyah waktu dengan menggores cerita. Tentang sekelumit warna dalam kalbu yang masih memantul dalam otak kelabu.
Tentang sepotong episode yang sempat mengharu biru,  aku menunggu kantuk yang tak juga datang menyapa.  Sembari mengunyah waktu,  akan  kucoba menggores sebaris cerita. Tentang sekelumit warna dalam hidup yang masih mengebul dalam otak kelabu.  Namun maaf, tulisanku tak selalu bisa kubahasakan dengan istimewa.


Aku selalu sulit menunjukan maksudku dengan tingkah laku. Semuanya tak mudah ku ungkapkan selugas tarian pena. Selalu serba salah di hadapmu. Padahal tersimpan segunung kata yang ingin ku ungkapkan kala itu,  semua itu justru mencipta kenangan-kenangan tak indah dan enggan mengulangnya. Aku pun tak tahu mengapa, mungkin angkuh dan malu terlalu meraja.  

Aku ada Karena Kau telah tercipta

Dalam bentangan cakrawala kau menebarkan jejak berupa bintang-bintang.  Kukumpulkan, kugenggami dan kuerami dalam doa-doa.  Biar kurangkai menjadi  Andromeda, Antlia, Microscopium,  Puppis atau rasi apa saja. Lalu akan kukembalikan padamu.  Saat itu, mari  menyulang cahaya. Untuk merayakan bersatunya raga yang seperempat abad tak pernah sua. Meski  sejatinya jiwa kita saling memeluk dalam harap dan air mata. Damailah, aku ada karena kau telah tercipta.

Marahilah aku...

Sesekali marahlah!! Jangan karena takut kehilangan atau aku tinggalkan lalu kau durhakai emosimu, kau redam ucapmu. Asal kau tahu, aku juga ingin kau marahi, kau acuhi, kau bisui barang setengah hari. Agar cinta ini lebih berwarna, berdegradasi seperti pelangi. Mejikuhibiniu.

RAHASIA MENJADI PINTAR

Kejadian ini saat aku masih duduk di kelas satu eksperiment semsester dua di Pondok Pesantren Darussalam, Tegineneng, Lampung.  Bagi para santri di sini, salah satu kewajiban yang harus  dilaksanakan seluruh  adalah shalat wajib berjamaah di masjid. Tapi inget lho, santriwan dan santriwati  tidak shalat bersama, kecuali saat Tarawih atau shalat Iedul Adha. Makanya  masjid untuk putra dan putri dipisah. Berbeda tempat.
Setiap selesai shalat berjamaah, biasanya kami saling bersalaman, tradisi bersalaman di sini biasanya yang lebih muda mencium tangan yang lebih tua tingkat kelasnya. Jadi simpelnya, adik kelas cium tangan kakak kelas atau juga anak MTs (setingkat SMP) cium tangan ke anak Aliyah (setingkt SMA) . Eits tapi ada juga loh kakak kelas dan ustadzah yang nggak mau dicium tangannya kalau bersalaman. Nggak tau juga apa alasannya. Dari sumber yang nggak jelas asalnya, katanya alasan mereka nggak mau dicium tangannya kalau bersalaman adalah takut ilmunya berkurang karena terserap oleh orang yang mencium tangan. (haha lucu ya, tapi betulan ada loh yang kayak begini). 

Salah satu temen sekelas aku ada juga yang kalau salaman nggak mau dicium tangannya. Namanya Tika Anggraini.  Anak Pak Kades di Muara Dua, Sumatera Selatan nan jauh di sana. Anaknya cantik, taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, baik hati, tidak sombong, rela menolong, tabah,  disiplin, berani, ksatria, hemat, cermat dan bersahaja, pokoknya berjiwa ala Dhasa Dharma Pramuka banget,  anaknya juga pinter.

Nah, saat itu aku dan teman-teman yang lainnya shalat Dzuhur berjama’ah, seperti biasa, setelah shalat kami  langsung bersalaman satu sama lain. Saat saling bersalaman itu  spontan ide jailku kumat, aku menyalami Tika dengan mencium tangannya. Padahal jelas-jelas dia ini termasuk orang yang anti dicium tangannya kalau bersalaman. Hahah jelas aja reflek dia menarik tangannya dengan raut muka yang  mengekspresikan –ya-ampun-ilmu-gue-kecolong-berapa-kilo-ya?-  sambil mukanya ditekuk gitu. Aku yang merupakan tersangka utama kejadian itu Cuma senyum cengengesan penuh kemenangan. Yeaaaaaaahhh!! :D

Hal absurd yang terjadi setelah tragedi menyium tangan Tika itu adalah ketika kami semua bagi raport semester dua.  Seperti lazimnya pembagian raport, kami para murid kelas I eksperiment  satu persatu dipanggil namanya oleh wali kelas untuk mengambil raport di meja guru, termasuk aku dan juga Tika yang memang  sekelas. Saat raport sudah ditangan, dengan sangat hati-hati aku membuka raportku. Dan betapa terkejutnya ketika ada angka 2”  yang tertulis di tempat rangking. Yang artinya aku rengking dua. Huaaaa… Alhamdulillah. Meskipun bukan juara satunya, aku tetap bersyukur  banget, karena bagi aku nggak mudah bisa ‘membalap’ temen-temen di kelas ini. For your information, waktu semester satu kemarin aku rengking banyak banget, kalau nggak salah inget rengking 10 besar dari bawah.  Bisa dibilang bottom ten-lah. Hehehe.  Dan saat Tika tahu aku mengungguli dia (dia rengking empat atau berapa gitu kalau nggak salah), dia berfikir kalau aku bisa rengking dua berkat nyium tangan dia beberapa waktu lalu. Hahah aja aja ada.  Padahal waktu ulangan semester dua ini aku belajar mati-matian karena nilaiku pas semester satu kemarin jeblok baget. Harap maklum, pelajaran pondok yang serba Arab-Arab ini awam banget buat aku, karena SMP kemarin aku bersekolah di SMP umum yang nggak ada pelajaran Arab-Arabnya sama sekali. Jadi sebetulnya aku mulai belajar bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran ala pesantren ya baru di pondok ini. Sebelumnya nggak pernah sama sekali. Waktu kecil aku kalau di suruh ngaji di TPA (Tamana Pendidikan Alquran) aku selalu ogah-ogahan. Jadi istilahnya kondisiku di pesantren ini pada awalnya, kalau yang lain udah pada mahir baca tulisan Arab gundul, lain lagi bagi aku saat itu, aku baca tulisan Arab gondrong aja masih belepotan, apalagi yang gundul. Tapi  aku nggak pernah putus asa, semua di dunia ini nggak ada yang nggak bisa kalau kita mau usaha, belajar dan disertai doa. Man janda wajad duda, eh salah, maksud aku Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. 

Oya, prasangka Tika tentang aku bisanya rengking karena habis nyium tangan dia ini Tika sendiri  loh yang cerita. Karena di semester berikutnya aku dan Tika jadi temen akrab.

Pesan: Kalau mau pintar, belajar aja.
            Kalau mau jadi juara, belajar banget.
            Kalau mau kenyang, makan.
            Kalau mau masuk tv, ikut program Masih di Dunia Lain di Trans 7. Olalala.. :D :D

 Bye bye. Sampai ketemu lagi di kisah selanjutnya.  Keep Istiqomah dan selalu jaga hati. Ingat, setan itu sangat kreatif dalam menggoda hamba-hambaNya. Maka waspadalah!! Waspadalah!!


Bukan Omongan Jorok :D

Sekarang aku sudah kelas lima loh  (untuk programku rutannya adalah kelas 1 eksperiment, 3 eksperiment, kelas 5 dan terakhir kelas 6, jadi ini sudah tahun ketiga aku di pondok). Jika waktu kelas 1 eksperiment sampai 3 eksperiment  yang menyimak bacaan Al Quran kami adalah para kakak tingkat kelas 5 , 6 dan ustadzah pengabdian, maka untuk kelas 5 ini yang menyimak adalah para Ustadzah senior. 

Waktu itu kami (aku, Nila, Asyani dan Sefrida) mengaji di rumah Ustadzah Siti Amanah.  Saat itu tugas kami adalah setoran hafalan surat Yasin. Setelah satu persatu kami semi semua selesai hafalan, kami ngobrol-ngobrol ringan dengan ustadzah Siti Amanah dan suaminya, Ustadz Dalimi.  Disela-sela obrolan ringan kami waktu itu, ustadz Dalimi bertanya, 
“Antun (Kalian) kelas berapa?” Beliau bertanya kepada  kami. Ustadz dalimi saat itu memang bekerja di luar pondok, di salah satu kantor KUA di daerah di Lampung Tengah, sehingga kurang seberapa kenal dengan para santriwati.
“Kelas lima, Tadz” jawab kami hampir bersamaan.
“berarti sudah pada menjabat di OPPD ya?” beliau bertanya lagi. OPPD ini adalah singkatan dari Orgnisasi Pelajar Pondok pesantren Darussalam. Semacam OSIS gitu.
“Iya, tadz” suara kami kali ini lebih serempak, mirip kour lagu 17 agustus pas upacara peringatan hari kemerdekaan Indonseia.
“Ketua OPPD-nya siapa?” Ustadz Dalimi bertanya lagi.
“Nawang, tadz” Jawab Nila, Asyani dan Sefrida sambil menoyor-noyorkan kepalaku (noyor-noyorin kepalanya bohong. :D)
“Oh anti?” balas ustadz dalimi sembari memutarkan biji matanya ke arahku.
“Iya Tadz” Kali ini aku menjawab sendiri. Nila, Asyani dan Sefrida tidak ikut urun suara. Mungkin lagi ngemut roti yang disajikan oleh Ustadzah Siti Amanah. heheh
Setelah itu beliau memaparkan panjang lebar perihal setiap jawaban kami yang menyertakan kata “Tadz” di belakangnya. Maksud kami  sih, tadz itu kependekan dari ustadz. Misalnya namaku Nawang dipanggilnya wang aja, misalnya Nila jadi Nil, sefrida jadi Sef, Asyani  jadi Ni, Tuti jadi Tut, Lita jadi Lit, Mahmudah jadi Mudah, Masayu jadi Mas, Giring jadi Ring, Juni jadi Jun, Fadli jadi Fad, Zulpoko jadi Piko, laser jadi Ser, Risca jadi Ris, Sulis jadi Lis, Marta jadi Tha, Rindi jadi Rin, dsb (dan saya bingung) :D :D. Ya pokoknya intinya, Tadz itu kependekan dari ustadz. Gitu!!. 

Beberapa saat kemudian, angin bertiup malas, gumpalan awan menjelma gerimis, tersebar aroma khas tanah basah, air hujan mengguyur dedaunan, kelalawar berteduh di sarang, semut-semut ngerumpi sambil salam-salaman,  Ustadz Dalimi melanjutkan paparannya, “Kenapa santri-santri di sini suka sekali hanya menyertakan kata “Tadz” saat berbicara pada Ustadznya, padahal kalau kata “Tadz” tadi disertakan setelah kata-kata tertentu jadi berabe urusannya”

Kami berempat cuma senyum-senyum bingung sambil ngemut roti mendengarkan penjelasan beliau. Tak lama berselang Ustadz Dalimi melanjutkan perkataannya,

“Ya coba bayangin kalau Ustadz Tanya, ‘Kapan kalian liburnya Nak?’ kalian jawab, ‘Minggu dePANTADZ’.  ‘Orang yang akhlaknya baik itu harus gimana?’ Harus SoPANTADZ.  ‘Itu kenapa pohonnya bisa rubuh?’ ‘Ketiup angin toPANTADZ’. Partai kamu apa? PANTADZ!! Coba kalau kalian jawab dengan lengkap pasti jawabannya akan menjadi “ Minggu depan Ustadz, Sopan Ustadz, Ketiup angin Topan Ustadz, PAN Ustadz.“
Mendengar ucapan ustadz Dalimi kami semua spontan ketawa. Hahahahhahahahah... :

Allah yubarik fikum Yaa Ustadz Dalimi. Wa li jami’il asatidz wa asaatidzah fil Ma’hadidaarissalam.

Pesan: Hati-hati dengan penggunaan kata “Tadz” saat disertai kata-kata tertentu.
            Panggilah seseorang dengan panggilan yang disenanginya. Ting. :D


 Bye bye. Sampai ketemu lagi di kisah selanjutnya.  Keep Istiqomah dan selalu jaga hati. Ingat, setan itu sangat kreatif dalam menggoda hamba-hambaNya. Maka Shalatlah!! Shalatlah!!! :D

SAKITNYA TUH DI SINI!!

Just share pengalaman ya, Mates. Mungkin Mates sekalian pernah mengalami seperti apa yang saya alami awal bulan lalu. Rabu, 2 oktober kemarin saat hendak mandi ba’da magrib, saya mengalami sedikit insiden kecil, jari tengah kaki kiri saya tertusuk kayu tipis. Rasanya luar biasa nyeri, entah saya yang tidak tahan sakit atau bagaimana, tapi saat itu memang terasa luar biasa pedih. Saya yang dasarnya memang takut dengan darah membiarkan saja luka itu dan tidak berani melihatnya, saya tetap mandi dengan darah di kaki tetap mengucur, sambil berharap semoga air mandi yang dingin dapat menghentikan aliran darah. Karena memang salah satu cara untuk menghentikan darah adalah dengan mengompresnya menggunakan es batu.

Saat sudah di kamar, saya memberanikan diri untuk melihat lukanya. Saya baru tahu, ternyata luka itu membuat kuku saya sedikit agak lepas dari dagingnya. Orang tua saya sudah menyarankan untuk membawa ke dokter, tapi masih urung saya lakukan karena selain nyeri dari luka itu, saya merasa lelah sekali karena mengajar sejak pukul 07.30-18.00.Jadi saya lebih memilih istirahat dan berharap besok keadaannya lebih membaik.

Di pagi harinya, saya lihat jari kaki yang luka itu membengkak. Dan di lukanya terdapat seperti daging putih yang saya tidak tahu apa namanya. Yang saya rasakan hari itu justeru lebih sakit dari kemarin sore, untuk jalan saja nyeri luar biasa. Saya berfikir, mungkin karena luka itu terdapat di ujung jari, makanya sakitnya menjadi lebih terasa, sebab ujung jari adalah bagian tubuh yang lebih sensitif terhadap sentuhan.

Pagi itu saya harus mengajar dengan keadaan kaki yang bengkak dan jalan dengan sedikit terpincang-pincang karena tidak terlalu menumpukan beban di kaki kiri. Awalnya saya berniat mengajar menggunakan sandal, tapi saat saya pakai rasanya kok malah kurang pantas, akhirnya saya pilih-pilih sepatu yang ujungnya tidak terlalu mengerucut agar tidak terlalu menekan jari yang bengkak.

Singkatnya, setelah dua minggu, bengkaknya tidak kunjung sembuh, padahal perasaan saya serpihan kayu yang menancan sudah semuanya saya bersihkan. Dan rasanyapun masih sangat sangat sangat sakit dan nyeri. Akhirnya pada hari minggu pagi, satu hari sebelum Iedul adha saya pergi ke IGD, sampai disana luka saya hanya dilihat-lihat dan saya ditanya kronologis kejadiannya, perawatnya tidak berani melakukan tindakan karena kondisi jari kaki saya masih membengkak. Akhirnya saya diberi antibiotik dan obat untuk mengempeskan bengkaknya. Perawat menyuruh saya kembali lagi untuk melepas kuku setelah bengkaknya mengempis.

Keesokan harinya setelah mandi sore, saat saya mau memotong kuku, termasuk kuku jari tengah yang mau dilepas ke dokter jika jarinya sudah tidak bengkak nanti, entah bagaimana kuku jari tengah itu bisa dengan mudah saya lepas, tidah terlalu sakit, karena memang sudah tidak terlalu menempel di dagingnya. Saya bersyukur, karena kuku saya lepas sendiri tanpa harus ke dokter, karena sejujurnya, alasan saya urung pergi ke dokteradalah karena saya takut jarum suntik, ibu saya bilang, untuk melepas kuku harus dibius lokal dengan cara disuntik. Itu yang membuat saya ngeri duluan.

Saya sudah sedikit  lega karena kuku saya sudah lepas, bengkaknyapun sudah tidak terlalu besar, mungkin karena pengaruh obat yang diberikan kemarin, dan tentunya semua itu atas izin Allah. Namun, sudah hampir empat hari sejak kuku lepas tersebut, jari kaki saya masih terasa sakit, salah seorang tukang pijit yang sempat memeriksa jari saya bilang kalau tulang jari saya kemungkinan retak, Masya Allah, saya shock. Saya berniat akan ke sangkal putung saat sudah benar-benar tidak bengkak lagi, sebab untuk disentuh saja masih sangat terasa nyeri. Jadi saya berfikir pasti akan lebih sakit saat dipijit ke sangkal putung.

Saat sedang duduk di dekat pintu, saya memperhatikan jari yang bengkak itu terkena sinar matahari, saat itu saya melihat ada satu titik hitam di sudut tempat tumbuh kuku. Saya sebetulnya sudah tahu titik hitam itu sejak lama, namu saya mengira itu sebuah lubang yang desebabkan bekas serpihan kayu yang akhirnya membentuk liang kecil dan dalam, namun saat saya sentuh pakai ujung pembersih kuku, sakitnya terasa sampai ke sekujur kuku, dan titik itu terasa seperti sebuah benda keras. Saya menyimpulkan itulah sebab dari sakit luar biasa yang sedang saya rasakan, ADA SERPIHAN KAYU SETEBAL LIDI YANG MENANCAP DI DAGING KAKI. Akhinya dengan segera saya pergi ke mantri terdekat, saya sudah tidak hiraukan lagi ketakutan saya dengan jarum suntik. Saya ingin benda asing ini segera keluar. L

Sampainya di tempat mantri, saya sempat diskusi dengan bapak mantrinya, saya bertanya apakah ada cara membius lokal dengan cara tidak disuntik, beliau menjawab ada, alhamdulillah saya menjadi sedikit tenang, karena cara membiusnya bisa dengan disemprotkan obat. Tapi ternyataaaaaaa... dibius lokal dengan obat semprot tersebut tidak ampuuuuuh, saat bapak mantrinya berusaha mengeluarkan benda asing tadi, masih terasa sakit. SANGAT SAKIT. Akhirnya apa yang saya takuti benar-benar terjadi. Bapak mantrinya berkata, “Maaf mbak, kayaknya memang harus disuntik nih, nggak papa ya? Sakitnya sebentar kok” Dengan berat hati saya berkata “Iya Pak, nggak papa”

Daaaaaaaaaaaaan, for your information ya, Mateees.. disuntik bius itu rasanya sunggguk mak nyuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut... hiiiisssssyyyyy.. sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit banget. :D
Karena si benda asing tadi susah dicabut, akhitnya daging kakinya disobek sedikit, dan taraaaaaaaaaaaaa tercabutlah serpihan kayu setebal lidi yang saya nggak tahu pasti panjangnya berapa centi, yang jelas serpihan kayu itu bersemayam di sudut tempat tumbuh kuku sampai hampir ke batas ruas jari.

Alhamdulillah.. alhamdulillah.. Segala puji hanya milik Allah. Alhamdulillah saat ini jari saya sudah tidak nyeri lagi. Berjalan dan memakai sepatupun sudah tidak kesusahan. Apa yang dikerjakan saat inipun terasa jauh lebih nyaman. Overall, kejadian kemarin adalah musibah bagi saya, dan saya tahu musibah menimpa itu karena dosa. Mungkin juga karena sedekah saya yang kurang. Pastinya kejadian kemarin adalah sentilan dari Allah agar saya lebih baik lagi dalam segala hal. Untuk itu semua, maka saya wajib untuk lebih banyak meminta Ampun kepada Allah atas dosa saya yang menggunung. Dan melalui tulisan ini, saya juga meminta maaf kepada siapa saja yang membaca, saya mohon maaf jika tanpa sengaja pernah berbuat salah. Yang pastinya semoga saya bisa lebih hati-hati lagi. Semoga dari yang sedikit ini ada manfaat yang bisa Mates ambil.


Kata Nawang Tentang Pernikahan.. :D

Sebab pernikahan itu akan bernilai rendah jika hanya sekedar mencari teman bersandar. Karena pasangan bukan ia yang menyamai fungsi dinding saja. Pernikahan adalah Mitsaqan Ghaliza untuk sepanjang hayat, kan? Maka butuh filtrasi orientasi agar muara berfokus hanya untuk menghambakan diri kepada Allah. Kesanggupan mental untuk meluruhkan ego. Managemen emosi yang terkendali saat isi kepala membentur bilik perbedaan. Akhlak baik yang seimbang untuk orangtua dan mertua. Milyaran pengetahuan demi menciptakan generasi Rabbani. Semuanya tentang keshalihan diri, agar mampu hidupkan ruhul islam dalam peradaban kecilmu.


Shalihkan dirimu, maka ia yang shalih juga yang akan menjadi pasangan hidupmu. Yang menyayangimu setulus hati dan tak pernah jemu. :)

Antre Karcis Kereta Api Kediri-Malang

Sebetulnya tulisan ini sudah lama banget ditulis, tapi nggak tau nyempil di mana, kemarin waktu iseng-iseng otak-atik folder di laptop secara nggak sengaja nemu tulisan ini. Yah lumayanlah diposting di sini untuk menuh-menuhin Blog, biar blognya makin rame dan kece badai. :D

Minggu, 23 Desember 2012
Dini hari tadi, sebelum ayam-ayam pada bangun, sebelum bulan pulang ke kandang, sebelum kampret-kampret pulang ke goa, Ibuku sudah  rapi dan wangi. Aroma wanginya yang kayak gabungan dari bunga setaman menusuk indra penciumanku yang lagi pulas tidur. Perlahan akupun terjaga dari tidur, namun masih enggan membuka mata.  Apa dikata, insting seorang ibu memanglah kuat, melebihi kuatnya gigi yang digosok pakai pepsodent tiga kali sehari, maka ketika ibu mengetahui aku sebenarnya sudah bangun, maka mulailah ia angkat bicara,
“Bangun Laaaan, ayo bangun. Kita harus antri karcis kereta api pagi ini. Kalau nggak cepet nanti kehabisan.”
Aku yang segenap jiwa dan raga masih berusaha mengumpulkan nyawa, dengan ogah-ogahan membuka mata.  Setelah  ngulet-ngulet sebentar, mandi dan pada jeda berikutnya sudah siap mendampingi ibuku, (demi bakti seorang anak kepada ibu, ce ileeeh). Berbekal jaket tebal berwarna pink kepunyaan Lik Endah (Sepupu Ibuku) yang kupinjam beberapa hari lalu (karena saat dari Malang pulang ke Kediri kemarin aku sama sekali tidak membawa jaket) yang belum sempat kupulangkan dan juga helm hitam (hadiah setiap pembelian motor honda) kepunyaan sepupuku, Mas Miko, jadilah kami anak beranak ini memulai petualangan menembusi gigilnya perjalanan dari desa Manyaran, kelurahan Tarokan, kecamatan Jati Kapur, nama Lurah: Siswoyo (Nama lurahnya ngasal, :D ) 

Sepanjang perjalanan ibuku diam tanpa kata, dia seolah jenuh padaku, ku ingin dia bicara, katakan saja apaaaaaaa maunyaaaaaaaaaa. Hehhee. Selama perjalanan kami memang lebih banyak diam. Selain udara dingin, subuh-subuh buta begini memang mata masih terasa mengantuk. Setelah sekitar setengah jam dan beberapa kali muter-muter dan bolak-balik-belok-buluk karena nggak terlalu hafal jalan ke Stasiun Kediri,  akhirnya sampailah kami di Stasiun kediri. Alhamdulillah..
Dan, taraaaaaaaaaa apa yang terjadi?? Tunggu setelah pesan-pesan berikut ini. Hehehhe.. kayak iklan di tengah-tengah acara inpotaimen ajaaaaah. :D

Apa yang terjadi?? Saat kami di sampai di sana, antrian para calon pembeli karcis sudah mengular panjang banget. Melebihi panjang tangan aku, ibuku, bapaku, dan kedua adikku Nieken dan Nuri kalau digabungin jadi satu. :D hehhe. Tapi beneran deh, antriannya sudah panjang sekali. Padahal aku dan ibuku datang sekitar pukul 03. 40, bahkan ada juga calon pembeli yang sudah mengantri sejak pukul 01.30. Padahal loket penjualan karcisnya baru dibuka sekitar pukul 04.00.

Iya.. iya... aku tau, pasti kalian berfikir, kenapa nggak pesen karcisnya jauh-jauh hari sih? Atau kenapa kok nggak beli onlen aja? Atau Kok nggak beli lewat Indomaret atau Indodesember oktober nopember atau Indosiar?? :D Naaaah Mates... Untuk perjalanan domestik  Jawa Timur ini, karcisnya hanya boleh dibeli di hari pemberangkatan (nggak boleh dibeli sehari sebelumnya, sebulan sebelumnya ataupun setahun sebelumnya. Terlebih lagi, karcisnya nggak boleh dibeli satu hari setelah hari pemberangkatan kita, karena pasti karcisnya akan sia-sia, karena itu artinya kita membeli karcis untuk pemberangkatan kemarin.Lah untuk apa dibeli?) :D


Oke Mates, kemabali ke uuuuulaaar. :D Bukan bukan, maksudnya kembali ke antrian calon pembeli karcis kereta yang mengular tadi ya. Setelah ikut gabung di antara antrian yang mengular tadi, akhirnya loket benar-benar dibuka pukul  04.00. Dan saat itu juga para calon pembeli karcis kereta jurusan Kediri-Kota Baru, Malang merasa kecewa. (Bersambung)