Bagi Mahasiswa yang mendapat nilai C dapat mengajukan perbaikan. Waktu perbaikan Jumat, 26 Juni 2015 pukul 13.00. Perwakilan mahasiswa yang akan perbaikan silahkan menemui saya untuk menentukan tempatnya.
Menulislah! Tebar dakwah melalui rajutan kata-katamu yang indah! Menulislah! Agar kau tak hilang ditelan sejarah!
Kamis, 18 Juni 2015
NILAI UAS SEMETER GENAP 2014/2015
Selasa, 02 Juni 2015
KISI-KISI UAS SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2014/2015
Diberitahukan kepada mahasiswa yang mengikuti mata kuliah saya, bahwa Ujian Akhir Semester akan dilaksanakan pada minggu kedua di bulan juni 2015. Waktu menyesuakan jam kuliah sebagaimana biasanya.
Kisi-kisi soal dapat di download di bawah ini:
1. Kisi-kisi soal UAS Bahasa Inggris 2 Prodi HESy
2.Kisi-kisi soal UAS Bahasa Arab 2 Prodi Ekonomi Syariah
3. SOAL ULUMUL QURAN PRODI S1-PBS TAHUN 2015
Kisi-kisi soal dapat di download di bawah ini:
1. Kisi-kisi soal UAS Bahasa Inggris 2 Prodi HESy
2.Kisi-kisi soal UAS Bahasa Arab 2 Prodi Ekonomi Syariah
3. SOAL ULUMUL QURAN PRODI S1-PBS TAHUN 2015
أني أحبك
أكرر للمرة الألف أني أحبك
كيف تريديني أن افسر ما لا يفسر
وكيف تريدينني أن أقيس مساحة حبي
وحبي كالطفل
يزداد في كل يوم جمالا ويكبر
Untukmu yang Lembut Hatinya; Katik Rangkai Basa
Maaf jika cintaku tidak bisa kubahasakan dengan istimewa
Lewat dayu syair atau majas-majas hiperpola
Namun ketahuilah,
Tidak
sedetikpun kulalui hari tanpa mengingatmu.
Betapa
jiwa ini merana kala jarak memisahkan kita
Engkau
yang beberapa waktu lalu masih asing,
Kini
menjadi orang yang paling mengenal dan memahamiku
Menjadi pendamai jiwa
Kala
kepiluan datang melanda
Menjadi
penyejuk hati
Kala
kerikil kehidupan datang menghampiri
Engkau
yang lembut hatinya
Yang
santun lakunya
Terimakasih
sudah menjadi penyejuk jiwa.
Lampung,
31 Oktober 2014
Untuk Saudaraku yang Menanti Datangnya Jodoh
Untuk saudaraku yang menanti datangnya jodoh...
Dalam penantian datangnya jodoh impian, mungkin
menciptakkan keresahan tersendiri bagi sebagian orang yang menantinya. Terlebih
saat melihat rekan sebaya sudah melenggang bahagia ke pelaminan. Namun saat
pujaan hati yang kita nanti-nanti tak jua menghampiri, apakah kita harus
meratapi? Atau menggadaikan keceriaan yang kita miliki dan berkecil hati? Duhai
saudaraku, sejatinya tidak perlu semua itu. Tetaplah ikhtiar dan doa sebagai
pelipur hati yang (mungkin) pilu.
Jika ikhtiar dan doa sudah dilakukan, namun yang diharapkan
tak jua terkabulkan, jangan berburuk sangka dan buru-buru mengambil kesimpulan,
mari musabahah diri, sudahkah ikhtiar dan doa kita upayakan hingga batas
tawakal menghampiri? Setelah itu tanyakan lagi pada hati, sudahkan kita
tawakalkan semua pada-Nya? Mempercayakan semua pada Allah yang Kasihnya tak
terperi? Jika belum, serahkan semua pada Ilahi Rabbi.. semoga damai seketika
mengguyuri hati.
Untuk saudaraku yang menanti datangnya jodoh...
Mari minta pada-Nya dengan sabar dan shalat. Dengan
setulus-tulus doa yang kita eja di sepertiga malam yang senyap. Dalam bentangan
sajadah. Dengan air mata dan linangan gerimis jiwa
Untuk saudaraku yang menanti datangnya jodoh...
Ia Maha Tahu kapan
waktu yang paling tepat. Ia juga yang Maha Mengerti siapa yang terbaik
untuk diri. Tak perlu kita risaukan dengan segala yang terlihat gemerlap. Bisa
jadi yang tampak indah di mata manusia, justru itu yang menjadikan Allah murka.
Jangan kita tertipu dengan bungkusan. Bisa jadi yang
memesona di mata kita, justru ia yang kumuh di hadapan Rabb-Nya. Bisa jadi
pula, ia yang terlihat sangat biasa, namun ternyata dialah manusia yang
tertanam ketakwaan di halaman hati dan lakunya. Allah lebih tau sebenar-benar
isi hati. Ia yang lebih mengerti apa-apa yang tersembunyi.
Untuk saudaraku yang menanti datangnya jodoh...
Seperti halnya rizki, jodoh itu min haitsu laa yahtasib,
datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Bisa saja orang yang sama sekali
tidak pernah terlintas dalam benak, ternyata ialah manusia terbaik yang Allah
kirim untuk membersamai kita beribadah pada Allah dalam bingkai sunah
Rasul-Nya. Atau jangan-jangan jodoh kita sebetulnya ada dekat sekali dengan
kita, bernafas dalam satu kota yang sama, dalam satu kantor yang sama, dalam
satu lingkup yang sama. Hanya saja, kita tidak mau membuka hati, tersebab
mempunyai kriteria tinggi dalam mematok sang pujaan hati? Hingga sampai saat
ini kita masih setia menyendiri.
Duhai saudaraku.. Bukan harta dan paras yang menjadi
parameter utama dalam memilih pasangan. Sebab harta dan paras kadang melenakan
dari kewajiban kita sebagai hamba Tuhan. Jadikan Agama dan kesadaran untuk
selalu berusaha memperbaiki diri sebagai
kriteria menentukan pilihan.
Duhai saudari-saudariku yang shalihaat...
Mari selalu memperbaiki niat dan perilaku, agar lelaki
shalih yang kelak datang padamu, yang mencintaimu setulus hati dan tak pernah
jemu.
Duhai
saudara-saudaraku yang shalihiin..
Shalihkan dirimu agar kau terlihat gagah. Jangan pula
malas mencari nafkah. Agar calon mertua menyerahkan anak gadis mereka dengan
ikhlas dan tanpa rasa resah. Jika sudah, jemputlah gadis shalihahmu dalam
rangkaian khitbah dan akad yang indah.
Sebuah catatan kecil satu bulan menjelang pernikahan
Lampung, 12 Juli 2014
Untuk Panjenengan, Uda Taufiq Hidayat Nazar
Hari hari bertabur cinta
Meki masih hitungan hari
Namun kau telah menaburkan beribu bahagia di hati
Kau benar, cinta memang bukan masalah usia
Bukan juga tentang kata-kata cinta fatamorgana
Yang
diumbarsebelum mitsaqon ghaliza tiba
Sebab cinta adalah tentang ketenangan hati
Saat berdampingan dengan belahan hati
Untuk menggapai ridha-Nya kala meniti hari demi hari
Cinta juga tentang ketulusan
Dan bersinergi untuk saling melengkapi kekurangan
Agar selaras mengarungi melodia zaman
Cinta juga tentang berbagi
Dan tidak perlu mengungkit apa yang telah kita beri
Sebab kebaikan selalu mengerti
Ke arah mana ia akan kembali
Jika bening embun dapat menyejukkan pagi
Maka engkau adalah rinai hujan yang turun setelah gersang
merajam bumi
Jika ricik air dapat menghapus tiap-tiap dahaga
Maka kehadiranmu adalah obat kepiluan jiwa
Untuk panjenengan, Uda Taufiq Hidayat Nazar
Terimakasih telah membersamai
Menjadi suami sekaligus sahabat hati yang selalu siap
kuajak berbagi.
Uhibbuka hubban syadidan, yaa zawji,yaa habibi albi. :’)
Kepada Nafasmu; Katik Rangkai basa
Maaf jika cintaku tidak bisa kubahasakan dengan istimewa
Lewat dayu syair atau majas-majas hiperpola
Namun ketahuilah,
Tidak
sedetikpun kulalui hari tanpa mengingatmu.
Betapa
jiwa ini merana kala jarak memisahkan kita
Betapa
hati ini pilu kala terbangun tengah malam dan tak ada kau di sampingku.
Engkau
yang beberapa bulan lalu masih asing,
Kini
menjadi orang yang paling mengenal dan memahamiku
Menjadi pendamai jiwa
Kala
kepiluan datang melanda
Menjadi
penyejuk hati
Kala
kerikil kehidupan datang menghampiri
Engkau
yang lembut hatinya
Yang
santun lakunya
Terimakasih
sudah mencintaiku apa adanya
Lampung,
31 Oktober 2014
PUNGGUNG SYA’BAN BERPAMIT PULANG
[1]
Bumi tak pernah khianat janji, berlari mengitari halaman
rumah matahari, itulah sebab begitu
cepat alamat menit berpindah tempat, kenangan sudah beranak pinak, kemarau
kembali disangkal musim, hingga rajab hangus ke sya’ban, menggemakan kidung
surgawi, pada jiwa-jiwa yang tak lelah menanti.
[2]
Wangi Ramadhan telah
dibawa bening hujan yang mengguyur dedaunan,
meninggalkan jejak tanah basah,
menguapkan aroma rindu, pada mushaf yang dipupuri debu, pada pekikan sahur yang menggusur tidur, pada ribut bedug
ompong yang menendangi lambung-lambung
kosong, pada magrib yang menjelma embun membasahi gersang kerongkong, juga pada
hembusan ayat-ayat-Nya yang meluruhi
keringat setelah rakaat ke duapuluh empat.
[3]
Kepak merpati menerbangkan memori, menyinggahi
dahan kenangan yang belum rapi, dan aku menemukan lembaran-lembaran
ingatan, tetentang bulan ketika pahala digandakan, tentang bulan yang menyapu
hitam dosa: ramadhan. Juga pada pesan
keramat Imam Ghazali “perut yang disengaja lapar karena berpuasa itulah yang
kelak akan mengetuk puntu surga” katanya.
[4]
Telah kugoreskan sebait rayu dalam gigil, kutitipkan melalui
deras arus yang bermuara pada-Mu, tentang inginku yang tumpah pada pesona malam paling mulia: yang Kau semat lima ayat dalam jingga
kitab suci yang kubaca.
Duhai Penggenggam
jiwa, izinkan aku berada dalam jamuan cinta-Mu, merukuk bersama pohon-pohon,
rumah-rumah, desau angin, pejam langit, dan semua ciptaan-Mu yang masih ada
maupun yang telah hilang, saat punggung sya’ban berpamit pulang.
Bumi Kinanah
Tentang Bumi Kinanah
yang menyungai darah
Bertambah bilangan yatim dan piatu
sebab hujaman peluru-peluru
Misr al-Ghaliyah, Allah jamin dalam Quran-Nya
“Udhuluu Misra Insha Allahu Aminin”
Yaa Misr al Ardhil Kinanah
Yaa Misr al ‘Azhimah
Yaa Misr al Rahinah
Yaa Misr al Majidah
Yaa Misr al Hazinah
Tak ada yang mampu kubuat
Selain menjadi anak panah
Melalui doa resah dalam hamparan sajadah
Padamu, jasad-jasad yang telah rebah
Tuhanmu Maha adil dan pemurah
Akan ada pertanggungjawaban
Atas kejinya sebuah kezaliman.
Metro, Lampung, 2013
Negeri Pesisir
Dapatkah kau dengar bingar nyanyian, Tuan?
Melubangi telinga Tuan yang renta
Tentang mereka yang menabung lapar
di lambung
Berbaju lusuh dan berpeluh
Mengepal lelah hingga tumit pecah dan terbelah
Juga tentang mereka yang lain
bergincu dan minum susu
wangi dan berbaju rapi
Plesir ke negeri paling pesisir
Metro, Lampung, 2013
Luka paling menganga
Tak ada luka paling menganga
selain kesedihan gadis yang ditinggalkan pujaan
hidup serupa neraka
menjejak seperti mayat berjalan
hari-hari berkidung lara
air mata beku menjadi kesakitan
itulah guna iman tertancap di dada
agar tak salah langkah dan tujuan
Metro, Lampung, 2013
Luka paling menganga
Tak ada luka paling menganga
selain kesedihan gadis yang ditinggalkan pujaan
hidup serupa neraka
menjejak seperti mayat berjalan
hari-hari berkidung lara
air mata beku menjadi kesakitan
itulah guna iman tertancap di dada
agar tak salah langkah dan tujuan
Metro, Lampung, 2013
Menenun Jejak
Perihal pipiku yang mengalir sungai sungai kecil
Dari mata yang membanjir saat embun mulai mengigil
Tersebab hati telah retak
Sejak cintamu enggan mengarak
Tiba waktuku menenun jejak
Mengumpulkan kenangan yang mulai mengerak
Untuk kutanak menjadi sajak-sajak
Metro, Lampung, 2013
Restu Tetua
Apalagi yang bisa dilakukan gadis yang merindukan pujaan
Selain lelap yang digadai dalam doa-doa malam
Atau menanam sungai di pipi dengan aliran airmata yang memecah bebatuan
Tak ada lagi yang kita tunggu
selain restu terseduh dari hati para tetua dengan ikhlas penuh
Sedang semua rasa dalam dada tak henti-henti bergemuruh
Tentang penyamudraan hati yang ingin
segera berlabuh
Memuarakannya dalam ijab qabul utuh
Katamu, kita akan membangun cita cinta
Dari mimpi-mimpi yang lelah berkelana
Pada malam-malam pekat miskin cahaya
Telah tua asa kita langitkan
Terbang jauh, payah menemukan tepian; adalah kepedihan.
Seperti burung-burung kecil dianiaya kehausan
Lelah hampir jatuh dari dahan-dahan
harapan
Kabarkan kedatangan, Kakanda
Bersama aroma Singkarak yang harum
diteruskan siut angin yang tak henti tersenyum
hingga penantian lebur dalam syukur yang terlantun
Metro, Lampung, 2013
Muasal dari Segala Kepergian
Sejak abad-abad jauh yang tak butuh hitungan,
datang adalah muasal dari segala kepergian.
Lalu, sunyi adalah muara dari segala
kesedihan.
Pernah kita memahat kenangan, dalam tiap tapak-tapak jalan, pada sawah dan
ladang-ladang, pada bunga-bunga kopi
yang wangi, pada rupa yang datang dan
pergi bergantian, yang banyak mengajarkan silsilah kehilangan.
Satu tanya yang tersembunyi dalam sunyi-sunyi yang kunaungi. Perihal alasan
engkau membakar ribuan peta, hingga kesedihan tidak pernah tahu bagaimana
seharusnya menapaki jalan, menuju mukim di rahim-rahim kebahagiaan
Dimataku nanti akan tumbuh lubuk. Dengan ratusan ikan yang tak pandai
berenang. Tersebab engkau lupa menitipkan sirip dan insang.
Nanti engkau paham, air mata mampu lebih banyak berkata-kata, sunyi dan puisi menjadi lebih nyata dari segala yang aku rasa.
Singosari, Malang, 2013
Merdu laku Seorang Ibu
Kueja gurat
semangat sebaris pesan
Pada tubuh
yang merapuh tanpa keluh
Keriput mengkrucut tak menggoda semangatnya lucut.
Hingga kering
genang lautan lelah dibuatnya ciut
Kusaksikan merdu
laku seorang ibu
Pada pemilik mata
jelita sehitam zaitun
Luap bening embun
kasihnya menetes tertuntun
membasahi
rerumputan hati agar tak pias disapu panas
Dialah pemilik
rahim garba
Tempat awal kisah anak manusia bermula
Menjinakkan
kemarau
Mendamai badai
Mengunyah dahsyat
rimba kehidupan
Dialah bidadari
bumi hadiah Tuhan
Pembawa kehangatan
langit
Pengibas kutukan
semesta
Karna di suci
telapak kakinya
Mengalir deras
arus firdaus
Berbakti padanya
adalah menyalakan seribu bintang
Dalam gelap
lumbung tempat berpulang.
Lampung,
24-05-2011
Kepada Nafasmu..
[1]
Kepada nafasmu yang pernah mengalirkan bening hujan
Melalui dering telpon genggam, yang selalu aku tunggu saat langit mulai
memejam.
Manalah mungkin aku memutus urat di nadimu
Sedang darahku terlanjur mengalir di dalamnya
Menyusuri tiap degub jantungmu
Yang mendenyut di dadaku.
[2]
Kepada coklat biji matamu yang pernah menghantarkan semangat
Melalui bening embun pagi yang menghinggapi kuncup pucuk melati
Manalah mampu kuparuh hatimu dan menyodorkannya pada yang lain; adalah
meminang kesedihan.
Serupa merubah biru menjadi abu. Lalu membiarkan waktu mati dengan
caranya sendiri.
[3]
Musim telah berganti nama, kepada durja ia memilih hinggap
Birupun terlanjur menjelma abu
Tiada lagi rindu yang bersambut
Atau tawa yang mengobati risau hati paling putus asa
Sedu menderu, sedih merepih memilu
[4]
Kususuri tiap letih yang tertitih
Mengunyah waktu lalu meludahkannya dalam aliran parit mimpi burukku
Kulangitkan doa pada Ia Sang penggenggam Nyawa
Semoga dapat menjadi mantra bagi luka-luka hati yang masih menyala
Lelaki Cahaya; Sebuah Dzikir kerinduan
Kepada Lelaki Cahaya,
yang melalui Rahim garba Umunaa Aminah kisahnya sebagai anak manusia bermula;
Muhammad ibn Abdullah.
Setelah sejarah menerjemahkan riwayat
kehidupanmu yang paling darah
dalam naungan langit dan bumi yang terkadang damai dan bergetar marah
yang sampai padaku melalui gemulai angin yang melewati kekokohan
gunung-gunung juga wangi samudra yang
menyuburkan tanah
maka kerinduan yang
membuncah menjadi serupa umpan yang mengundang airmata
untuk selalu tumpah
dalam shalawat muhabbah
doa yang menengadah
dan bentangan sajadah yang resah.
Dzikir kerinduan yang
mengetuki hati paling nurani adalah muara dari mataku yang menelaga
hingga sungai-sungai
membanjir di pipi
membuncahkan keimanan
yang sering rapuh menjadi kembali mendidih bergemuruh
hanya tertuju kepada
engkau duhai lelaki cahaya
yang harum namanya terus
mendenyut dalam jantung-jantung zaman
berabad-abad lamanya.
Maka izinkan aku menikmati
rindu yang mengumpar terbiar
mengarus dalam aliran
denyut-denyut nadi yang menjadikan tubuhku bergetar
Sehingga tak dapat kuungkapkan
segala rindu yang mekar
kecuali dengan cinta,
linangan air mata dan gerimis jiwa yang membelukar
Biarkan pula kulantunkan dzikir
dalam kucuran alir dawat syair.
Maka kini kupilihkan
untukmu rindu yang tiada tepi, yang
kugoreskan dalam bait-bait puisi
Lalu mengeraminya menjadi sebuah cerita tanpa
narasi
agar rindu yang kian menggemuruh dapat sampai kepadamu
bersama doa-doaku yang pilu
membiru aku mengharap dekapan syafaatmu. --Yaa Habiballah, salam ‘alaik--
Nganjuk, Juli 2012
Hikayat Wanita yang Memerami Air Mata
Syahdan, seorang wanita
berwajah manis, o bukan, seorang gadis dibalut kain minimalis berlari ke tepian
malam dengan sekarung cemas dan air mata yang telah lama ia peram.
Dibawanya serta riwayat
pesakitan, lambung kosong serta perih kehidupan yang sejak lama menganiaya
usia.
Siapa yang bisa
disalahkan saat
Lalu, dititipkanya
kebahagiaan yang serupa benalu pada desah yang meresah, cucuran keringat juga
goncangan cairan tengah tubuh anak manusia; surga baginya.
Apakah ia tak mengenal
cerita nabi-nabi atau indahnya surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai
susu? Atau kalajengking dan
cacing-cacing yang menjadi teman setelah nyawa diceraikan badan?
Oo bukan,
bukan hendak melumat
bulat-bulat perihal siksa kubur juga api neraka, namun kisah paling darah ini
hanya ia yang mampu menjamahinya. Bukan kamu, bukan kita, ataupun wanita-wanita
kampung yang dari bibirnya selalu berloncatan segala serapah.
--Kini ia terus melangkah
dengan biduk pelepah dan air mata, dengan kenangan yang terus beranak pinak,
dengan ramai dosa yang menyesakki batok kepala.
Ia mulai mengemas juga
mangemis cinta Pencipta, karena sejauh apapun jiwanya bertualang, dalam lumbung
kosonglah kelak ia akan berpulang.
Sesayat Rusuk
Kelak rindu ini tertunai,
oleh engkau yang akan membersamaiku menjinakan hujan dan kemarau.
Akan tiba waktunya engkau
menjadi pakaianku-aku menjadi perhiasanmu, lalu saling bergenggaman tangan
untuk menuju imperium baru.
Biarlah di tigaratus
purnama usiaku yang hampir purna kita masih dibentangkan jarak, kelak kita
telan jarak itu bulat-bulat, hingga ia melebur dalam baur, dan aku menjadi
pengamin setia doa-doamu.
Lalu, pendar-pendar
cahaya menjelma satu per satu, membias, menyejarah dalam payungan matahari;
Jundi-jundi kita.
Sebab rindu yang sebegini
derasnya hanya kita yang akan merasakan. Sampai nanti saat senja menganiaya
usia, raga kita tak lagi mampu, namun jiwa tetap berpeluk-peluk.
Maka jagalah selalu
semesta kecil di dada kita; Qolbu. Agar saat temu nanti benar-benar nyata,
buncahan rindunya, letupan cintanya menggetarkan kaki-kak surga. Melesat hingga
ke jannah-Nya. ---Aamiin yaa Mujibassailiin---
Sajak Kerinduan 1
Perihal kerinduan adalah
rapal yang menyibukkan bibir, jari yang terjulur dalam kidung doa dan dzikir
panjang, mulai dini hari juga saat
langit padam. Agar kita tak mendurhakai atas telapak kaki dan ubun-ubun
yang terlanjur terlahir.
Takkan pernah selesai
kutunai jasanya, saat yang dieraminya dengan
darah dan airmata. Sehingga rangkuman sunahnya serupa kompas abadi bagi penjejak bumi seesudahnya. Maka
Tuhan dan malaikat melangitkan shalawat untuknya; jangan dustakan ayat Tuhan
pada Al azhab 56.
1/
Perihal kerinduan adalah
mantra yang mengarus dalam shalawat, jari yang terjulur dalam kidung doa dan
dzikir panjang, mulai dini hari juga saat langit padam. Agar kita tak mendurhakai atas
telapak kaki dan ubun-ubun yang terlanjur terlahir. Juga rindu yang selalu
ranum pada pemilik mata seindah zaitun, adalah kepada engkau Yaa Habiballah.
2/
Takkan kering air
ingatan, pada sebaris mantra, dalam kitab yang dieraminya dengan darah dan airmata. Sehingga rangkuman
sunahnya serupa kompas abadi bagi
penjejak bumi seesudahnya. Maka Tuhan dan malaikat melangitkan shalawat
untuknya; jangan dustakan ayat Tuhan pada Al azhab 56.
3/
Cahayamu, adalah tempat
tertanam dan tumbuhnya segala rindu yang biru, cinta yang nyata. Hingga aku
menyalakan pijaran-pijaran harap, yang kini mengapung, terpantul dalam ribuan
shalawat, dapatkah menerobosi jendela-jendela syafaatmu, Ya Habiballah?
4/
Seperti menghitung
bilangan prima, satu satu luruh air mata, atas juntaian-juntaian dosa, juga
alpa yang paling nanah. Namun cintamu, adalah letupan-letupan yang mengelus
batin untuk memekarkan senyum.
Dengan jiwaku yang
merunduk juga alunan salawat yang kuterbangkan pada bahumu yang sahaja, semoga dapat
menjadi wasilah atas rindu-rindu yang kelak terijabah -Allahumma shali wa
salim ala sayyidina Muhammad-
Melodi Rindu
Menatap langit pekat bumi Lampungku
Tak satupun bintang menggantung di sana
Tak hadir jua bias dewi malam
Mendung menyulap benda-benda langit
berembunyi di balik awan hitam yang menggumpal
Seperti gumpalan rindu dalam hatiku
Pada sekeping hati yang tak pernah tau
dirindu.
Lampung, 10-05-2011
MENDEKAP NIRMALA
Ada rasa yang menderas di
halaman hati
Mengalir dan bermuara
pada kolam asa
Dipayungi langit pekat
tanpa cahaya
Meski gelap kukuh menawan
jiwa
Aku tak akan lelah menanti
purnama
Hingga “bangunanmu” kokoh
dan mengepakkan sayapnya
Menerbangkanku dalam
denyut nadi yang tak sama
Melesat, jauh mendekap
nirmala.
Aku masih sama,
Menanti kuncupmu mekar
jadi bunga
Menebar wangi bak kesturi
di taman surgawi
Menjemputku mengalunkan
melodi merdu
Mengikatnya dalam simpul
yang satu.
Malang, 12-10-2011
ANGKUH
Gigil mengadu gigi
merusak rusuk
Kutarik selambu yang mengantongi debu
Menutupkannya pada tulangmu yang kemarau.
Kau gusar.
Tak sudi kotor mencicipi wangimu.
Kuberlari
Menembusi karat bergerigi
Kau longokkan kepala
Menyusuri tiap lorong sunyi
Mencari jantungmu yang kucuri.
Kau dapati aku
Saat sedih sedang kuseduh.
Dengan silau mata pisau
kau ukur akar yang mengukir di nadiku.
Baru kau tahu, semua namamu.
Lalu, saat selang sesal berseling di irisan-irisan degubmu.
Baru akan kau rindui punggung yang berpamit pulang.
merusak rusuk
Kutarik selambu yang mengantongi debu
Menutupkannya pada tulangmu yang kemarau.
Kau gusar.
Tak sudi kotor mencicipi wangimu.
Kuberlari
Menembusi karat bergerigi
Kau longokkan kepala
Menyusuri tiap lorong sunyi
Mencari jantungmu yang kucuri.
Kau dapati aku
Saat sedih sedang kuseduh.
Dengan silau mata pisau
kau ukur akar yang mengukir di nadiku.
Baru kau tahu, semua namamu.
Lalu, saat selang sesal berseling di irisan-irisan degubmu.
Baru akan kau rindui punggung yang berpamit pulang.
HUTANKU
Hutanku..
Laksana penyejuk, kau
menjadikan udara segar
Hijaumu terhampar,
pohon-pohon menjulang dalam bentangan cakrawala lebar
Kau menyemak belukar,
menjadi habitat satwa jinak dan liar
Hutanku..
Kau penyeimbang biosfer..
Menjaga tanah dari erosi
Menyimpan air di dalam
perut bumi
Menetralkan udara dari
polusi
Namun kini...
Batangmu tumbang oleh
tangan-tangan kasar
Indahmu binasa oleh
manusia-manusia tamak berhati liar
Sejukmu berganti kepulan
asap ranting-ranting terbakar
Aku sedih..
Aku pilu..
Aku menangis kering dawat
syairku..
Tak mampu lagi bercerita
tentang indahnya hutanku..
Senin, 01 Juni 2015
Semoga seterusnya tetap menyenangkan seperti ini.
Seperti malam-malam
biasanya, sambil menjemput kantuk kita
saling bercerita tentang apa yang kita alami masing-masing seharian tadi.
Tentunya setelah melakukan ritual standart kita sebelum tidur; wudhu dan
berdoa. Setelah itu kita merebahkan diri di atas tempat tidur dengan saling
berhadapan, aku menghadap ke kanan dan kamu menghadap ke kiri, lalu setelah
saling bercanda, kamu menceritakan hal-hal yang kamu alami seharian di kantor
dan aku mendengarkan. Atau sebaliknya, aku yang bercerita tentang apa yang kualami
bersama murid-murid TK ku yang menggemaskan dan kamu yang akan mendengarkan.
Selalu saja, saat aku
bercerita pandanganmu tak pernah bergeser se-centipun dari mataku. Matamu
selalu saja mengejar ke manapun retinaku berlari. Kamu selalu memperhatikan dan
mendengarkan dengan seksama saat aku membagi cerita, lalu kamu akan
terbahak-bahak jika aku sedang
menceritakan tingkah salah satu muridku yang lucu, atau kamu akan kuatir minta
ampun jika aku menceritakan hal yang hampir saja membuatku cidera, tidak jarang
juga tiba-tiba kamu menghentikan ceritaku sekedar untuk mengatakan “I love you”
di sela-sela aku bercerita. Lalu akupun membalas ucapanmu “I love you too”
atau sekedar kata “too” dan akupun kembali melanjutkan ceritaku. Hingga
akhirnya kita sama-sama terlelap, aku kurang tahu aku yang tidur terlebih dulu
ataupaun kamu, yang aku tahu saat aku terbangun sebelum subuh menjelang,
tanganmu sedang melingkari tubuhku atau kepalaku yang berada di dadamu.
Namun jika kita sama-sama
terlalu lelah, maka tidak ada cerita untuk malam itu, kita hanya akan saling
mengucapkan selamat tidur dan kamu mengecup keningku, lalu seperti biasa kamu
melingkarkan tanganmu ke tubuhku, tak lama kemudan menyusul suara dengkurmu.
Saat itu aku hanya memandangimu yang sudah terlelap sambil membelai-belai
rambutmu, atau sekedar menciumi tanganmu pelan-pelan agar tak membangunkamu.
Tapi dari malam-malam
yang telah kita lewati bersama sejak pernikahan kita, kita lebih sering
berbagicerita terlebih dahulu sebelum tidur dibandingkan langsung terlelap. Dan
aku selalu suka ritual kita ini. Semua terasa menyenangkan sekali. Semoga
seterusnya tetap menyenangkan seperti ini.
Ini tentang cara kita membangunkan tidur
Ini tentang cara kita membangunkan tidur. Biasanya aku yang akan bangun lebih awal daripada
kamu, tapi tak jarang juga kamu yang bangun terlebih dahulu daripada aku.
Biasanya kamu sengaja bangun setelah tengah malam untuk menuangkan ide-idemu ke
dalam tulisan, lalu mengirimkannya ke salah satu media keesokan harinya, hobi
yang memang telah menemanimu jauh sebelum kamu memintaku menjadi belahan jiwamu
dan aku menerimanya. Lalu beberapa menit menjelang subuh kamu akan
membangunkanku, bersama-sama melaksanakan amalan yang memang kita niatkan untuk
terus konsisten melakukannya setiap hari jika tidak ada halangan; tahajud dan
tilawah bersama hingga adzan Subuh.
Seperti kali ini
misalnya, setelah menyelesaikan tulisanmu, kamu membangunkanku lembut, mendekatkan
bibirmu ke telingaku, membisikkanku sesuatu yang akan membuatku terbangun,
namun kalau aku tetap juga tidak terbangun, biasanya kamu akan menggelitik atau
menciumiku bertubi-tubi sampai aku terbangun. Kadang aku memang sengaja tidak
membuka mata saat kamu berbisik membangunkanku, walaupun sebenarnya bisikanmu
itu sudah bisa membangunkanku. Hihihi.. kamu jangan marah ya? Alasanku, karena
aku menunggu untuk kamu cium.
Aku juga punya cara untuk
membangunkan tidurmu, biasanya setelah berwudlu aku akan menempelkan tanganku
ke pipimu, dinginnya tanganku akan merambati pori-pori kulitmu dan
memerintahkan syaraf untuk membuka matamu. Namun jika cara ini belum berhasil,
kukeluarkan jurusku selanjutnya, yaitu
membuat secangkir hot chocolate dan mendekatkan aromanya ke
hidungmu. Biasanya cara ini cukup ampuh, karena kamu memang penggemar hot
chocolate. Tapi, jika cara ini juga belum berhasil, maka aku ikuti caramu
membangunkanku, yaitu menggelitik atau menciumimu bertubi-tubi. Jika sudah
begini, kamu tidak mungkin lagi melanjutkan lelapmu.
Oya, katamu dengan
menempelkan tanganku ke pipimu setelah berwudhu atau mendekatkan aroma hot
chocolate ke hidungmu, sebenarnya itu sudah bisa membangunkan tidurmu. Kamu
memang sengaja bermanja-manja tidak mau bangun. Dan rupanya alasanmu sama juga
dengan alasanku, yaitu karena kamu menunggu untuk aku cium. Hihihi..
Ah kamu, suamiku, aku
mencintaimu, terimakasih telah bersedia membersamaiku, menjadi imam dalam
shalat-shalat kehidupanku.
Antu Banyu
Aku tinggal di sebuah dusun yang miskin dari sentuhan komoderenan. Masyarakat
di dusunku adalah orang-orang yang dalam kepalanya banyak ditumbuhi pemikiran kolot.
Sebagian besar masyarakat dusunku ini bekerja sebagai tukang gergaji mesin,
nelayan, pengasap ikan, pengusaha kerupuk ikan rumahan dan berkebun. Ada juga
yang bekerja sebagai pegawai negeri, namun itu cukup bisa dihitung dengan jari.
Namun jangan ditanya tentang rasa
kekeluargaan, tolong menolong, kesetiakawanan, dan juga bela-membela saat ada
tetangga atau familinya yang cekcok mulut di pasar, bisa dipastikan tiada
banding, pastilah ereka akan membela mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Meskipun cekcok mulut itu hanya karena hal sepele.
Masyarakat di dusunku terbiasa
memulai kembali menyalakan nyawa dari tidurnya sejak matahari belum berani
mengintip bumi. Asap-asap akan mengepul dan merayap ke atas genteng dapur
rumah-rumah di sini, pertanda para ibu sudah mulai menyalakan kayu untuk
memasak. Anak-anak merekapun sudah dilatih untuk bangun sebelum subuh sejak kecil. Nanti saat suara adzan dimuntahkan dari toa
surau, merekapun akan berbondong-bondong ke surau untuk shalat subuh berjama’ah.
Anak-anak gadis di dusunku juga sudah terampil betul mengurus
pekerjaan rumah sejak usia mereka belum baligh, mulai dari memasak, menyapu,
menyuci baju di Musi, dan segala jenis pekerjaan rumah tangga lainnya.
Pendidikan mereka rata-rata hanya mencapai MTs, ada juga yang sampai Aliyah dan
perguruan tinggi, namun tentu itu menjadi pemandangan langka di dusunku. Maka
tak heran jika di dusunku banyak gadis yang sudah menikah sejak usia mereka masih
sangat belia.
Sedangkan bujangnya sendiri memiliki pendidikan yang lumayan lebih
beruntung, bujang-bujang di sini rata-rata sekolah sampai bangku Aliyah. Setelah lulus, banyak dari
mereka yang merantau ke pulau seberang untuk bekerja di PT ataupun menjadi kuli
bangunan. Ada juga yang membantu pekerjaan orangtua mereka di dusun. Seperti
aku, setelah lulus Aliyah setahun yang lalu, aku masih setia menetap di dusun,
membantu orang tuaku berkebun dan dan
membantu Pak Haji Maksum mengajar anak-anak mengaji di surau. Selain itu alasan
yang membuatku betah menetap di dusun ini adalah Midah, gadis pujaanku yang
berambut ikal sebahu, bermata bulat dengan bola mata yang coklat.
Meskipun rajin sembahyang berjamaah di surau, namun masyarakat di
dusunku masih banyak yang mempecayai mitos-mitos. Termasuk mitos tentang Antu
Banyu, yang katanya berwujud perempuan bertaring dan berambut panjang dan akan muncul
di malam hari saat air Musi berwarna
kecoklatan dan terasa hangat. Antu banyu
ini konon sangat menggemari ubun-ubun kepala dan sum-sum tulang belakang
manusia, terutama ubun-ubun kepala bujang dan anak-anak kecil yang aqil baligh.
Aku sendiri tak terlalu percaya dengan mitos-mitos semacam itu. Namun Emak dan
Ayukku adalah termasuk dari mereka yang sangat percaya tentang mitos Antu Banyu
ini. Maka tak heran kalau Emak akan sangat melarangku bermain di pinggir
Musi pada saat-saat tertentu yang
disinyalir sebagai waktu keluarnya Antu Banyu dari sarangnya.
Ada kejadian yang akan selalu hidup dalam ingatan-ingatan masyarakat
asli dusunku ini, kejadian ini terjadi saat aku masih SD. Saat itu dusunku
digemparkan dengan hilangnya dua orang teman bermainku, Buyung dan Rustam.
Mereka dikabarkan tak pulang ke rumah sampai langit sudah memejam. Semua warga
bergotong royong mencari Buyung dan Rustam sampai ke sudut-sudut dusun, kuburan
dan rawa-rawa sambil membawa obor dan memukuli piring seng. Masyarakat dusunku
percaya jika pukulan piring seng ini dapat memanggil kembali anak kecil yang
sedang disembunyikan makhluk-makhluk halus. Sebagian warga yang lain ada yang
mencari di sungai sambil menaiki getek dan membawa lampu patromak.
Dikhawatirkan Buyung dan Rustam hanyut di Musi. Karena terakhir kali ada yang melihat kedua bocah itu memanjat
pohon kelapa di dekat Musi setelah pulang sekolah.
Dusunku mendadak ramai dengan kur warga yang memanggil-manggil nama
Buyung dan Rustam. Aku yang saat itu
masih SD tak ikut mencari keliling dusun ataupun ke Musi, aku hanya ikut Ibu
dan Ayukku membaca yasin di surau bersama ibu-ibu dan anak kecil lainnya,
berdoa agar Buyung dan Rustam segera ditemukan. Namun sampai rona fajar
bergurat di pipi langitpun kedua bocah yang dikabarkan hilang itu tak kunjung muncul
batang hidungnya. Sudah pasti warga menjadi semakin panik, kulihat Emak dari
Buyung dan Rustampun menangis dan saling berpeluk menghawatirkan nasib
anak-anak mereka. Kulirik mata Emakku juga sudah merah dan sebentar lagi pasti
akan turun gerimis dari sana.
Warga kembali ke rumah mereka masing-masing. Aku yang saat itu tak
tidur semalaman izin tak masuk sekolah. Sebagian warga juga banyak yang tak
beraktifitas, kecuali para pengasap ikan yang memang sudah dikejar pesanan.
Belum saja bedug dzuhur berbunyi, dusunku digemparkan oleh teriakan
warga yang menemukan sosok mayat
mengapung di Musi. Semua warga berbondong-bondong menuju tepian sungai. Di sana
kami melihat satu mayat anak seusiaku yang masih menggunakan seragam sekolah,
tubuhnya sudah mengembung menjadi hampir dua kali lipat dari aslinya, mukanyapun
sudah sulit dikenali, namun bisa dipastikan mayat yang ditemukan itu adalah
salah satu dari bocah yang hilang kemarin. Orang tua Buyung dan Rustampun menangis
histeris sambil berlari ke tepi Musi.
Melihat dari ciri-ciri yang ada, mayat bocah yang ditemukan itu
lebih mirip Buyung, maka mayat itupun dibawa warga ke Rumah Mang Nandar, Orang
tua Buyung. Alat-alat untuk mengurus jenazahpun sudah disiapkan di rumah Mang
Nandar. Mulai dari kafan, gentong-gentong air untuk memandikan mayat, sampai
dengan keranda mayat.
Namun kejadian menjadi semakin kalut saat mayat mulai dimandikan. Ternyata mayat yang
dimandikan itu bukanlah mayat Buyung seperti yang diperkirakan. Karena mayat
yang dimandikan di rumah Mang nandar itu sudah dikhitan, sedang semua warga tahu
kalau Buyung belumlah dikhitan. Berarti mayat ini adalah mayat Rustam. Maka setelah dimandikan, mayat bocah ini
segera diantarkan ke Rumah orang tua Rustam untuk dikafankan, dishalatkan laku diberangkatkan
peristirahatan terakhir.
Sedangkan Buyung sendiri samapai aku sebesar ini tak diketahui
rimbanya. Entah masih hidup, ikut hanyut di sungai, diculik ataupun apalah aku tak tahu. Namun warga di
sini mempercayai kalau Buyung dimangsa Antu Banyu.
Sejak saat itu Emakku jadi lebih cerewet menasehatiku untuk tak
dekat-dekat dengan Musi. Namun yang aku heran dari kekhawatiran Emakku yang
berlebihan ini adalah bagaimana mungkin aku bisa menghindari Musi, sedangkan
dari pintu dapur rumahku saja coklatnya air Musi sudah bisa disantap mata. Ah
dasar Emak.
***
Malam ini aku berencana menonton layar tancap di lapangan dekat
Musi dengan Midah, gadis pujaanku itu. Kemarin salah seorang warga dusunku ada
yang menikahkan anaknya dan layar tancap
inilah sebagai hiburannya. Sebenarnya Emak sudah melarangku untuk menonton, sebab esok
harinya aku harus bekerja keras membantu Bapak mencangkul di kebun untuk
menanam tanaman yang baru. Tapi tak aku hiraukan larangan Emak.
Setelah Isya aku bersiap-siap menjemput Midah di rumahnya, aku
menggunakan celana dasar hitam dan kemeja kotak-kotak merah, kemeja andalan
keduaku setelah kemeja biru laut polos hadiah dari Midah. Rumah Midah sendiri tak begitu jauh jaraknya
dari rumahku, kebetulan juga searah dengan lapangan tempat layar tancap
berlangsung.
Saat kutemui Midah sudah menunggu di bawah pohon nangka depan
rumahnya. Midah tampak cantik sekali dengan rok hitam semata kaki dan kaos
abu-abu. Bibirnya sedikit dipoles gincu merah jambu. Badannyapun berbau wangi.
Aku semakin senang memandang Midah dari dekat.
Kuperhatikan ada yang berbeda dari Midah, rambutnya kali ini lurus dan tak
lagi ikal, mungkin dia mengikuti gaya anak-anak kota yang pergi ke salon untuk
meluruskan rambutnya. Apapun itu, memandang Midah yang selalu tersenyum adalah
suatu hal yang selalu membuat jantungku bergemuruh.
Tak menunggu lama kamipun segera melangkahkan kaki menuju lapangan
yang ternyata sudah ramai sekali. Banyak muda mudi dan juga orang tua menyemuti tempat ini. Setelah membeli kacang
rebus aku sengaja mencari tempat yang agak gelap dan sepi agar bisa lebih
nyaman berdua-duaan dengan Midah. Akhirnya kami duduk di dekat Musi, kami duduk
pada potongan batang pohon kelapa yang
sudah habis digergaji. Memang agak jauh dari layar ditancapkan, namun tempat
ini kurasa pas untuk bisa dengan nyaman berdua-duaan dengan Midah.
Tak lama kemudian lampu layar menyala, pertanda film akan diputar. Biasanya
yang sering diputar pada acara layar tancap di dusunkuku adalah film-film
kolosal ataupun komedi. Meskipun sudah sering diputar hingga berkali-kali,
masyarakat di dusunku masih saja tak bosan untuk menonton. Kali ini aku merasa sedikit
aneh dan berbeda karena film yang diputar kali ini belum pernah aku tonton
sebelumnya. Di layar itu aku menyaksikan
seorang bujang terapung di sungai tanpa ubun-ubun di kepalanya.Aku mengamati
gambar bujang di layar itu lebih seksama.
Dan aku merasa semakin aneh saat melihat bujang itu memakai kemeja
kotak-kotak berwarna merah persis seperti yang aku gunakan saat ini. Jantungku
bergemuruh dahsyat, nafasku terasa sesak, denyut nadiku seolah hampir
tandas saat muka bujang itu terlihat
semakin jelas. Muka bujang itu mirip sekali denganku. Ya, tak salah lagi itu
memang aku!! Bagaimana ini bisa terjadi?
Kulirik Midah yang berada di sampingku, dia hanya tertawa menyeringai.
Mengerikan sekali. Lebih-lebih sekarang aku melihat dua taring muncul dari
mulut Midah dan siap menerkamku. Sejurus kemudian aku merasa jantungku tak lagi
memompa oksigen.
Catatan:
[1] Ayuk: Panggilan kakak perempuan di daerah Sumatera Selatan.
Singosari, Malang, 2012
Malam ini kucoba pula mencelupkan sepasang mata hatiku pada sepotong layar...
Malam ini kucoba pula mencelupkan sepasang mata hatiku pada sepotong layar yang menggenangi wajah
teduhmu. Memoriku melesat jauh ke
belakang, ada jutaan nafas-nafas bahagia, jiga kala aku belajar mengemas
riwayat hatiku yang pernah jatuh pada rasa dalam bening tangan paling putus
asa. Ada basah berenang ke dada. Hatiku gerimis.
Kucoba menyalakan saklar lampu-lampu ingatanku. Mengais-ngais memori yang masih belum pergi. Pada sebuah titik rasa ini bermula. Namun hingga kini, aku tak pernah paham cara Tuhan menanammu dalam ingatan.
Kucoba menyalakan saklar lampu-lampu ingatanku. Mengais-ngais memori yang masih belum pergi. Pada sebuah titik rasa ini bermula. Namun hingga kini, aku tak pernah paham cara Tuhan menanammu dalam ingatan.
Di tengah desir gerimis...
Di tengah desir gerimis yang lamat menyapa telinga, saat
petang ingin telanjang, pada langit yang
telah memejam, kutunggu janji yang telah ditunai siang tadi. Namun nihil, dan
terpaksa kutelan lg pil phit.
Malam hangus, dini hari menjelma. Namun kantuk tak jua
tiba.sekuat tenaga kukunyah waktu dengan menggores cerita. Tentang sekelumit
warna dalam kalbu yang masih memantul dalam otak kelabu.
Tentang sepotong episode yang sempat mengharu biru, aku menunggu kantuk yang tak juga datang
menyapa. Sembari mengunyah waktu, akan
kucoba menggores sebaris cerita. Tentang sekelumit warna dalam hidup
yang masih mengebul dalam otak kelabu.
Namun maaf, tulisanku tak selalu bisa kubahasakan dengan istimewa.
Aku selalu sulit menunjukan maksudku dengan tingkah laku.
Semuanya tak mudah ku ungkapkan selugas tarian pena. Selalu serba salah di
hadapmu. Padahal tersimpan segunung kata yang ingin ku ungkapkan kala itu, semua itu justru mencipta kenangan-kenangan
tak indah dan enggan mengulangnya. Aku pun tak tahu mengapa, mungkin angkuh dan
malu terlalu meraja.
Aku ada Karena Kau telah tercipta
Dalam bentangan cakrawala kau menebarkan jejak berupa bintang-bintang. Kukumpulkan, kugenggami dan kuerami dalam doa-doa. Biar kurangkai menjadi Andromeda, Antlia, Microscopium, Puppis atau rasi apa saja. Lalu akan kukembalikan padamu. Saat itu, mari menyulang cahaya. Untuk merayakan bersatunya raga yang seperempat abad tak pernah sua. Meski sejatinya jiwa kita saling memeluk dalam harap dan air mata. Damailah, aku ada karena kau telah tercipta.
Marahilah aku...
Sesekali marahlah!! Jangan karena
takut kehilangan atau aku tinggalkan lalu kau durhakai emosimu, kau redam
ucapmu. Asal kau tahu, aku juga ingin kau marahi, kau acuhi, kau bisui barang
setengah hari. Agar cinta ini lebih berwarna, berdegradasi seperti pelangi.
Mejikuhibiniu.
RAHASIA MENJADI PINTAR
Kejadian
ini saat aku masih duduk di kelas satu eksperiment semsester dua di Pondok
Pesantren Darussalam, Tegineneng, Lampung. Bagi para santri di sini,
salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan seluruh adalah shalat
wajib berjamaah di masjid. Tapi inget lho, santriwan dan santriwati tidak
shalat bersama, kecuali saat Tarawih atau shalat Iedul Adha. Makanya
masjid untuk putra dan putri dipisah. Berbeda tempat.
Setiap
selesai shalat berjamaah, biasanya kami saling bersalaman, tradisi bersalaman
di sini biasanya yang lebih muda mencium tangan yang lebih tua tingkat
kelasnya. Jadi simpelnya, adik kelas cium tangan kakak kelas atau juga anak MTs
(setingkat SMP) cium tangan ke anak Aliyah (setingkt SMA) . Eits tapi ada juga
loh kakak kelas dan ustadzah yang nggak mau dicium tangannya kalau bersalaman.
Nggak tau juga apa alasannya. Dari sumber yang nggak jelas asalnya, katanya
alasan mereka nggak mau dicium tangannya kalau bersalaman adalah takut ilmunya
berkurang karena terserap oleh orang yang mencium tangan. (haha lucu ya, tapi
betulan ada loh yang kayak begini).
Salah
satu temen sekelas aku ada juga yang kalau salaman nggak mau dicium tangannya.
Namanya Tika Anggraini. Anak Pak Kades di Muara Dua, Sumatera Selatan nan
jauh di sana. Anaknya cantik, taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, baik hati,
tidak sombong, rela menolong, tabah, disiplin, berani, ksatria, hemat,
cermat dan bersahaja, pokoknya berjiwa ala Dhasa Dharma Pramuka banget,
anaknya juga pinter.
Nah,
saat itu aku dan teman-teman yang lainnya shalat Dzuhur berjama’ah, seperti
biasa, setelah shalat kami langsung bersalaman satu sama lain. Saat
saling bersalaman itu spontan ide jailku kumat, aku menyalami Tika dengan
mencium tangannya. Padahal jelas-jelas dia ini termasuk orang yang anti dicium
tangannya kalau bersalaman. Hahah jelas aja reflek dia menarik tangannya dengan
raut muka yang mengekspresikan
–ya-ampun-ilmu-gue-kecolong-berapa-kilo-ya?- sambil mukanya ditekuk gitu.
Aku yang merupakan tersangka utama kejadian itu Cuma senyum cengengesan penuh
kemenangan. Yeaaaaaaahhh!! :D
Hal
absurd yang terjadi setelah tragedi menyium tangan Tika itu adalah ketika kami
semua bagi raport semester dua. Seperti lazimnya pembagian raport, kami
para murid kelas I eksperiment satu persatu dipanggil namanya oleh wali
kelas untuk mengambil raport di meja guru, termasuk aku dan juga Tika yang
memang sekelas. Saat raport sudah ditangan, dengan sangat hati-hati aku
membuka raportku. Dan betapa terkejutnya ketika ada angka “2”
yang tertulis di tempat rangking. Yang artinya aku rengking dua. Huaaaa…
Alhamdulillah. Meskipun bukan
juara satunya, aku
tetap bersyukur banget,
karena bagi aku nggak mudah bisa ‘membalap’ temen-temen di kelas ini. For your
information, waktu semester satu kemarin aku rengking banyak banget, kalau nggak salah
inget rengking 10 besar dari bawah. Bisa
dibilang bottom ten-lah. Hehehe. Dan saat Tika tahu aku mengungguli dia
(dia rengking empat atau berapa gitu kalau nggak salah), dia berfikir kalau aku
bisa rengking dua berkat nyium tangan dia beberapa waktu lalu. Hahah aja aja
ada. Padahal waktu ulangan semester dua ini aku belajar mati-matian
karena nilaiku pas semester satu kemarin jeblok baget. Harap maklum, pelajaran pondok
yang serba Arab-Arab ini awam banget buat aku, karena SMP kemarin aku
bersekolah di SMP umum yang nggak ada pelajaran Arab-Arabnya sama sekali. Jadi sebetulnya aku mulai belajar bahasa Arab
dan pelajaran-pelajaran ala pesantren ya baru di pondok ini. Sebelumnya nggak pernah sama sekali. Waktu
kecil aku kalau di suruh ngaji di TPA (Tamana Pendidikan Alquran) aku selalu
ogah-ogahan. Jadi istilahnya kondisiku di pesantren ini pada awalnya, kalau
yang lain udah pada mahir baca tulisan Arab gundul, lain lagi bagi aku saat
itu, aku baca tulisan Arab gondrong aja masih belepotan, apalagi yang gundul. Tapi
aku nggak pernah putus
asa, semua di dunia ini nggak ada yang nggak bisa kalau kita mau usaha, belajar
dan disertai doa. Man janda
wajad duda, eh salah, maksud aku Man Jadda Wajada, siapa yang
bersungguh-sungguh pasti berhasil.
Oya, prasangka Tika
tentang aku bisanya rengking karena habis nyium tangan dia ini Tika sendiri
loh yang cerita. Karena di semester berikutnya aku dan Tika jadi temen
akrab.
Pesan: Kalau mau pintar, belajar aja.
Kalau mau jadi juara, belajar banget.
Kalau mau kenyang, makan.
Kalau mau masuk tv, ikut program Masih di Dunia Lain di Trans 7. Olalala.. :D :D
Bye bye. Sampai ketemu lagi di kisah
selanjutnya. Keep Istiqomah dan selalu jaga hati. Ingat, setan itu sangat
kreatif dalam menggoda hamba-hambaNya. Maka waspadalah!! Waspadalah!!
Bukan Omongan Jorok :D
Sekarang aku sudah kelas lima
loh (untuk programku rutannya adalah kelas 1 eksperiment, 3 eksperiment,
kelas 5 dan terakhir kelas 6, jadi ini sudah tahun ketiga aku di pondok). Jika
waktu kelas 1 eksperiment sampai 3 eksperiment yang menyimak bacaan Al Quran
kami adalah para kakak tingkat kelas 5 , 6 dan ustadzah pengabdian, maka untuk
kelas 5 ini yang menyimak adalah para Ustadzah senior.
Waktu itu kami (aku, Nila, Asyani dan Sefrida) mengaji di rumah Ustadzah Siti Amanah. Saat itu tugas kami adalah setoran hafalan surat Yasin. Setelah satu persatu kami semi semua selesai hafalan, kami ngobrol-ngobrol ringan dengan ustadzah Siti Amanah dan suaminya, Ustadz Dalimi. Disela-sela obrolan ringan kami waktu itu, ustadz Dalimi bertanya,
“Antun (Kalian) kelas berapa?” Beliau bertanya kepada kami. Ustadz dalimi saat itu memang bekerja di luar pondok, di salah satu kantor KUA di daerah di Lampung Tengah, sehingga kurang seberapa kenal dengan para santriwati.
“Kelas lima, Tadz” jawab kami hampir bersamaan.
“berarti sudah pada menjabat di OPPD ya?” beliau bertanya lagi. OPPD ini adalah singkatan dari Orgnisasi Pelajar Pondok pesantren Darussalam. Semacam OSIS gitu.
“Iya, tadz” suara kami kali ini lebih serempak, mirip kour lagu 17 agustus pas upacara peringatan hari kemerdekaan Indonseia.
“Ketua OPPD-nya siapa?” Ustadz Dalimi bertanya lagi.
“Nawang, tadz” Jawab Nila, Asyani dan Sefrida sambil menoyor-noyorkan kepalaku (noyor-noyorin kepalanya bohong. :D)
“Oh anti?” balas ustadz dalimi sembari memutarkan biji matanya ke arahku.
“Iya Tadz” Kali ini aku menjawab sendiri. Nila, Asyani dan Sefrida tidak ikut urun suara. Mungkin lagi ngemut roti yang disajikan oleh Ustadzah Siti Amanah. heheh
Setelah itu beliau memaparkan panjang lebar perihal setiap jawaban kami yang menyertakan kata “Tadz” di belakangnya. Maksud kami sih, tadz itu kependekan dari ustadz. Misalnya namaku Nawang dipanggilnya wang aja, misalnya Nila jadi Nil, sefrida jadi Sef, Asyani jadi Ni, Tuti jadi Tut, Lita jadi Lit, Mahmudah jadi Mudah, Masayu jadi Mas, Giring jadi Ring, Juni jadi Jun, Fadli jadi Fad, Zulpoko jadi Piko, laser jadi Ser, Risca jadi Ris, Sulis jadi Lis, Marta jadi Tha, Rindi jadi Rin, dsb (dan saya bingung) :D :D. Ya pokoknya intinya, Tadz itu kependekan dari ustadz. Gitu!!.
Beberapa saat kemudian, angin bertiup malas, gumpalan awan menjelma gerimis, tersebar aroma khas tanah basah, air hujan mengguyur dedaunan, kelalawar berteduh di sarang, semut-semut ngerumpi sambil salam-salaman, Ustadz Dalimi melanjutkan paparannya, “Kenapa santri-santri di sini suka sekali hanya menyertakan kata “Tadz” saat berbicara pada Ustadznya, padahal kalau kata “Tadz” tadi disertakan setelah kata-kata tertentu jadi berabe urusannya”
Kami berempat cuma senyum-senyum bingung sambil ngemut roti mendengarkan penjelasan beliau. Tak lama berselang Ustadz Dalimi melanjutkan perkataannya,
“Ya coba bayangin kalau Ustadz Tanya, ‘Kapan kalian liburnya Nak?’ kalian jawab, ‘Minggu dePANTADZ’. ‘Orang yang akhlaknya baik itu harus gimana?’ Harus SoPANTADZ. ‘Itu kenapa pohonnya bisa rubuh?’ ‘Ketiup angin toPANTADZ’. Partai kamu apa? PANTADZ!! Coba kalau kalian jawab dengan lengkap pasti jawabannya akan menjadi “ Minggu depan Ustadz, Sopan Ustadz, Ketiup angin Topan Ustadz, PAN Ustadz.“
Mendengar ucapan ustadz Dalimi kami semua spontan ketawa. Hahahahhahahahah... :D
Allah yubarik fikum Yaa Ustadz Dalimi. Wa li jami’il asatidz wa asaatidzah fil Ma’hadidaarissalam.
Pesan: Hati-hati dengan penggunaan kata “Tadz” saat disertai kata-kata tertentu.
Panggilah seseorang dengan panggilan yang disenanginya. Ting. :D
Bye bye. Sampai ketemu lagi di kisah selanjutnya. Keep Istiqomah dan selalu jaga hati. Ingat, setan itu sangat kreatif dalam menggoda hamba-hambaNya. Maka Shalatlah!! Shalatlah!!! :D
Waktu itu kami (aku, Nila, Asyani dan Sefrida) mengaji di rumah Ustadzah Siti Amanah. Saat itu tugas kami adalah setoran hafalan surat Yasin. Setelah satu persatu kami semi semua selesai hafalan, kami ngobrol-ngobrol ringan dengan ustadzah Siti Amanah dan suaminya, Ustadz Dalimi. Disela-sela obrolan ringan kami waktu itu, ustadz Dalimi bertanya,
“Antun (Kalian) kelas berapa?” Beliau bertanya kepada kami. Ustadz dalimi saat itu memang bekerja di luar pondok, di salah satu kantor KUA di daerah di Lampung Tengah, sehingga kurang seberapa kenal dengan para santriwati.
“Kelas lima, Tadz” jawab kami hampir bersamaan.
“berarti sudah pada menjabat di OPPD ya?” beliau bertanya lagi. OPPD ini adalah singkatan dari Orgnisasi Pelajar Pondok pesantren Darussalam. Semacam OSIS gitu.
“Iya, tadz” suara kami kali ini lebih serempak, mirip kour lagu 17 agustus pas upacara peringatan hari kemerdekaan Indonseia.
“Ketua OPPD-nya siapa?” Ustadz Dalimi bertanya lagi.
“Nawang, tadz” Jawab Nila, Asyani dan Sefrida sambil menoyor-noyorkan kepalaku (noyor-noyorin kepalanya bohong. :D)
“Oh anti?” balas ustadz dalimi sembari memutarkan biji matanya ke arahku.
“Iya Tadz” Kali ini aku menjawab sendiri. Nila, Asyani dan Sefrida tidak ikut urun suara. Mungkin lagi ngemut roti yang disajikan oleh Ustadzah Siti Amanah. heheh
Setelah itu beliau memaparkan panjang lebar perihal setiap jawaban kami yang menyertakan kata “Tadz” di belakangnya. Maksud kami sih, tadz itu kependekan dari ustadz. Misalnya namaku Nawang dipanggilnya wang aja, misalnya Nila jadi Nil, sefrida jadi Sef, Asyani jadi Ni, Tuti jadi Tut, Lita jadi Lit, Mahmudah jadi Mudah, Masayu jadi Mas, Giring jadi Ring, Juni jadi Jun, Fadli jadi Fad, Zulpoko jadi Piko, laser jadi Ser, Risca jadi Ris, Sulis jadi Lis, Marta jadi Tha, Rindi jadi Rin, dsb (dan saya bingung) :D :D. Ya pokoknya intinya, Tadz itu kependekan dari ustadz. Gitu!!.
Beberapa saat kemudian, angin bertiup malas, gumpalan awan menjelma gerimis, tersebar aroma khas tanah basah, air hujan mengguyur dedaunan, kelalawar berteduh di sarang, semut-semut ngerumpi sambil salam-salaman, Ustadz Dalimi melanjutkan paparannya, “Kenapa santri-santri di sini suka sekali hanya menyertakan kata “Tadz” saat berbicara pada Ustadznya, padahal kalau kata “Tadz” tadi disertakan setelah kata-kata tertentu jadi berabe urusannya”
Kami berempat cuma senyum-senyum bingung sambil ngemut roti mendengarkan penjelasan beliau. Tak lama berselang Ustadz Dalimi melanjutkan perkataannya,
“Ya coba bayangin kalau Ustadz Tanya, ‘Kapan kalian liburnya Nak?’ kalian jawab, ‘Minggu dePANTADZ’. ‘Orang yang akhlaknya baik itu harus gimana?’ Harus SoPANTADZ. ‘Itu kenapa pohonnya bisa rubuh?’ ‘Ketiup angin toPANTADZ’. Partai kamu apa? PANTADZ!! Coba kalau kalian jawab dengan lengkap pasti jawabannya akan menjadi “ Minggu depan Ustadz, Sopan Ustadz, Ketiup angin Topan Ustadz, PAN Ustadz.“
Mendengar ucapan ustadz Dalimi kami semua spontan ketawa. Hahahahhahahahah... :D
Allah yubarik fikum Yaa Ustadz Dalimi. Wa li jami’il asatidz wa asaatidzah fil Ma’hadidaarissalam.
Pesan: Hati-hati dengan penggunaan kata “Tadz” saat disertai kata-kata tertentu.
Panggilah seseorang dengan panggilan yang disenanginya. Ting. :D
Bye bye. Sampai ketemu lagi di kisah selanjutnya. Keep Istiqomah dan selalu jaga hati. Ingat, setan itu sangat kreatif dalam menggoda hamba-hambaNya. Maka Shalatlah!! Shalatlah!!! :D
SAKITNYA TUH DI SINI!!
Just share pengalaman ya,
Mates. Mungkin Mates sekalian pernah mengalami seperti apa yang saya alami awal
bulan lalu. Rabu, 2 oktober kemarin saat hendak mandi ba’da magrib, saya
mengalami sedikit insiden kecil, jari tengah kaki kiri saya tertusuk kayu tipis.
Rasanya luar biasa nyeri, entah saya yang tidak tahan sakit atau bagaimana,
tapi saat itu memang terasa luar biasa pedih. Saya yang dasarnya memang takut
dengan darah membiarkan saja luka itu dan tidak berani melihatnya, saya tetap
mandi dengan darah di kaki tetap mengucur, sambil berharap semoga air mandi
yang dingin dapat menghentikan aliran darah. Karena memang salah satu cara
untuk menghentikan darah adalah dengan mengompresnya menggunakan es batu.
Saat sudah di kamar, saya
memberanikan diri untuk melihat lukanya. Saya baru tahu, ternyata luka itu
membuat kuku saya sedikit agak lepas dari dagingnya. Orang tua saya sudah
menyarankan untuk membawa ke dokter, tapi masih urung saya lakukan karena
selain nyeri dari luka itu, saya merasa lelah sekali karena mengajar sejak
pukul 07.30-18.00.Jadi saya lebih memilih istirahat dan berharap besok
keadaannya lebih membaik.
Di pagi harinya, saya
lihat jari kaki yang luka itu membengkak. Dan di lukanya terdapat seperti
daging putih yang saya tidak tahu apa namanya. Yang saya rasakan hari itu
justeru lebih sakit dari kemarin sore, untuk jalan saja nyeri luar biasa. Saya
berfikir, mungkin karena luka itu terdapat di ujung jari, makanya sakitnya
menjadi lebih terasa, sebab ujung jari adalah bagian tubuh yang lebih sensitif
terhadap sentuhan.
Pagi itu saya harus
mengajar dengan keadaan kaki yang bengkak dan jalan dengan sedikit
terpincang-pincang karena tidak terlalu menumpukan beban di kaki kiri. Awalnya
saya berniat mengajar menggunakan sandal, tapi saat saya pakai rasanya kok
malah kurang pantas, akhirnya saya pilih-pilih sepatu yang ujungnya tidak
terlalu mengerucut agar tidak terlalu menekan jari yang bengkak.
Singkatnya, setelah dua
minggu, bengkaknya tidak kunjung sembuh, padahal perasaan saya serpihan kayu
yang menancan sudah semuanya saya bersihkan. Dan rasanyapun masih sangat sangat
sangat sakit dan nyeri. Akhirnya pada hari minggu pagi, satu hari sebelum Iedul
adha saya pergi ke IGD, sampai disana luka saya hanya dilihat-lihat dan saya
ditanya kronologis kejadiannya, perawatnya tidak berani melakukan tindakan
karena kondisi jari kaki saya masih membengkak. Akhirnya saya diberi antibiotik
dan obat untuk mengempeskan bengkaknya. Perawat menyuruh saya kembali lagi
untuk melepas kuku setelah bengkaknya mengempis.
Keesokan harinya setelah
mandi sore, saat saya mau memotong kuku, termasuk kuku jari tengah yang mau
dilepas ke dokter jika jarinya sudah tidak bengkak nanti, entah bagaimana kuku
jari tengah itu bisa dengan mudah saya lepas, tidah terlalu sakit, karena
memang sudah tidak terlalu menempel di dagingnya. Saya bersyukur, karena kuku
saya lepas sendiri tanpa harus ke dokter, karena sejujurnya, alasan saya urung
pergi ke dokteradalah karena saya takut jarum suntik, ibu saya bilang, untuk
melepas kuku harus dibius lokal dengan cara disuntik. Itu yang membuat saya
ngeri duluan.
Saya sudah sedikit lega karena kuku saya sudah lepas,
bengkaknyapun sudah tidak terlalu besar, mungkin karena pengaruh obat yang
diberikan kemarin, dan tentunya semua itu atas izin Allah. Namun, sudah hampir
empat hari sejak kuku lepas tersebut, jari kaki saya masih terasa sakit, salah
seorang tukang pijit yang sempat memeriksa jari saya bilang kalau tulang jari
saya kemungkinan retak, Masya Allah, saya shock. Saya berniat akan ke sangkal
putung saat sudah benar-benar tidak bengkak lagi, sebab untuk disentuh saja
masih sangat terasa nyeri. Jadi saya berfikir pasti akan lebih sakit saat
dipijit ke sangkal putung.
Saat sedang duduk di
dekat pintu, saya memperhatikan jari yang bengkak itu terkena sinar matahari,
saat itu saya melihat ada satu titik hitam di sudut tempat tumbuh kuku. Saya
sebetulnya sudah tahu titik hitam itu sejak lama, namu saya mengira itu sebuah
lubang yang desebabkan bekas serpihan kayu yang akhirnya membentuk liang kecil
dan dalam, namun saat saya sentuh pakai ujung pembersih kuku, sakitnya terasa
sampai ke sekujur kuku, dan titik itu terasa seperti sebuah benda keras. Saya
menyimpulkan itulah sebab dari sakit luar biasa yang sedang saya rasakan, ADA
SERPIHAN KAYU SETEBAL LIDI YANG MENANCAP DI DAGING KAKI. Akhinya dengan segera
saya pergi ke mantri terdekat, saya sudah tidak hiraukan lagi ketakutan saya
dengan jarum suntik. Saya ingin benda asing ini segera keluar. L
Sampainya di tempat
mantri, saya sempat diskusi dengan bapak mantrinya, saya bertanya apakah ada
cara membius lokal dengan cara tidak disuntik, beliau menjawab ada,
alhamdulillah saya menjadi sedikit tenang, karena cara membiusnya bisa dengan
disemprotkan obat. Tapi ternyataaaaaaa... dibius lokal dengan obat semprot
tersebut tidak ampuuuuuh, saat bapak mantrinya berusaha mengeluarkan benda
asing tadi, masih terasa sakit. SANGAT SAKIT. Akhirnya apa yang saya takuti
benar-benar terjadi. Bapak mantrinya berkata, “Maaf mbak, kayaknya memang harus
disuntik nih, nggak papa ya? Sakitnya sebentar kok” Dengan berat hati saya
berkata “Iya Pak, nggak papa”
Daaaaaaaaaaaaan, for your
information ya, Mateees.. disuntik bius itu rasanya sunggguk mak
nyuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut... hiiiisssssyyyyy.. sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit
banget. :D
Karena si benda asing tadi susah dicabut, akhitnya daging kakinya disobek sedikit, dan taraaaaaaaaaaaaa tercabutlah serpihan kayu setebal lidi yang saya nggak tahu pasti panjangnya berapa centi, yang jelas serpihan kayu itu bersemayam di sudut tempat tumbuh kuku sampai hampir ke batas ruas jari.
Karena si benda asing tadi susah dicabut, akhitnya daging kakinya disobek sedikit, dan taraaaaaaaaaaaaa tercabutlah serpihan kayu setebal lidi yang saya nggak tahu pasti panjangnya berapa centi, yang jelas serpihan kayu itu bersemayam di sudut tempat tumbuh kuku sampai hampir ke batas ruas jari.
Alhamdulillah..
alhamdulillah.. Segala puji hanya milik Allah. Alhamdulillah saat ini jari saya
sudah tidak nyeri lagi. Berjalan dan memakai sepatupun sudah tidak kesusahan.
Apa yang dikerjakan saat inipun terasa jauh lebih nyaman. Overall, kejadian
kemarin adalah musibah bagi saya, dan saya tahu musibah menimpa itu karena
dosa. Mungkin juga karena sedekah saya yang kurang. Pastinya kejadian kemarin
adalah sentilan dari Allah agar saya lebih baik lagi dalam segala hal. Untuk
itu semua, maka saya wajib untuk lebih banyak meminta Ampun kepada Allah atas
dosa saya yang menggunung. Dan melalui tulisan ini, saya juga meminta maaf
kepada siapa saja yang membaca, saya mohon maaf jika tanpa sengaja pernah
berbuat salah. Yang pastinya semoga saya bisa lebih hati-hati lagi. Semoga dari
yang sedikit ini ada manfaat yang bisa Mates ambil.
Kata Nawang Tentang Pernikahan.. :D
Sebab pernikahan itu akan bernilai rendah
jika hanya sekedar mencari teman bersandar. Karena pasangan bukan ia yang
menyamai fungsi dinding saja. Pernikahan adalah Mitsaqan Ghaliza untuk
sepanjang hayat, kan? Maka butuh filtrasi orientasi agar muara berfokus hanya
untuk menghambakan diri kepada Allah. Kesanggupan mental untuk meluruhkan ego.
Managemen emosi yang terkendali saat isi kepala membentur bilik perbedaan.
Akhlak baik yang seimbang untuk orangtua dan mertua. Milyaran pengetahuan demi
menciptakan generasi Rabbani. Semuanya tentang keshalihan diri, agar mampu
hidupkan ruhul islam dalam peradaban kecilmu.
Shalihkan dirimu, maka ia yang shalih juga
yang akan menjadi pasangan hidupmu. Yang menyayangimu setulus hati dan tak
pernah jemu. :)
Antre Karcis Kereta Api Kediri-Malang
Sebetulnya tulisan ini sudah lama banget ditulis, tapi nggak tau nyempil di mana, kemarin waktu iseng-iseng otak-atik folder di laptop secara nggak sengaja nemu tulisan ini. Yah lumayanlah diposting di sini untuk menuh-menuhin Blog, biar blognya makin rame dan kece badai. :D
Minggu, 23 Desember 2012
Dini hari tadi, sebelum ayam-ayam pada bangun, sebelum bulan
pulang ke kandang, sebelum kampret-kampret pulang ke goa, Ibuku sudah rapi dan wangi. Aroma wanginya yang kayak
gabungan dari bunga setaman menusuk indra penciumanku yang lagi pulas tidur.
Perlahan akupun terjaga dari tidur, namun masih enggan membuka mata. Apa dikata, insting seorang ibu memanglah
kuat, melebihi kuatnya gigi yang digosok pakai pepsodent tiga kali sehari, maka
ketika ibu mengetahui aku sebenarnya sudah bangun, maka mulailah ia angkat
bicara,
“Bangun Laaaan, ayo bangun. Kita harus antri karcis kereta
api pagi ini. Kalau nggak cepet nanti kehabisan.”
Aku yang segenap jiwa dan raga masih berusaha mengumpulkan
nyawa, dengan ogah-ogahan membuka mata.
Setelah ngulet-ngulet sebentar, mandi
dan pada jeda berikutnya sudah siap mendampingi ibuku, (demi bakti seorang anak
kepada ibu, ce ileeeh). Berbekal jaket tebal berwarna pink kepunyaan Lik Endah
(Sepupu Ibuku) yang kupinjam beberapa hari lalu (karena saat dari Malang pulang
ke Kediri kemarin aku sama sekali tidak membawa jaket) yang belum sempat
kupulangkan dan juga helm hitam (hadiah setiap pembelian motor honda) kepunyaan
sepupuku, Mas Miko, jadilah kami anak beranak ini memulai petualangan menembusi
gigilnya perjalanan dari desa Manyaran, kelurahan Tarokan, kecamatan Jati
Kapur, nama Lurah: Siswoyo (Nama lurahnya ngasal, :D )
Sepanjang perjalanan ibuku diam tanpa kata, dia seolah jenuh
padaku, ku ingin dia bicara, katakan saja apaaaaaaa maunyaaaaaaaaaa. Hehhee. Selama
perjalanan kami memang lebih banyak diam. Selain udara dingin, subuh-subuh buta
begini memang mata masih terasa mengantuk. Setelah sekitar setengah jam dan
beberapa kali muter-muter dan bolak-balik-belok-buluk karena nggak terlalu
hafal jalan ke Stasiun Kediri, akhirnya
sampailah kami di Stasiun kediri. Alhamdulillah..
Dan, taraaaaaaaaaa apa yang terjadi?? Tunggu setelah
pesan-pesan berikut ini. Hehehhe.. kayak iklan di tengah-tengah acara
inpotaimen ajaaaaah. :D
Apa yang terjadi?? Saat kami di sampai di sana, antrian para
calon pembeli karcis sudah mengular panjang banget. Melebihi panjang tangan
aku, ibuku, bapaku, dan kedua adikku Nieken dan Nuri kalau digabungin jadi
satu. :D hehhe. Tapi beneran deh, antriannya sudah panjang sekali. Padahal aku
dan ibuku datang sekitar pukul 03. 40, bahkan ada juga calon pembeli yang sudah
mengantri sejak pukul 01.30. Padahal loket penjualan karcisnya baru dibuka
sekitar pukul 04.00.
Iya.. iya... aku tau, pasti kalian berfikir, kenapa nggak
pesen karcisnya jauh-jauh hari sih? Atau kenapa kok nggak beli onlen aja? Atau
Kok nggak beli lewat Indomaret atau Indodesember oktober nopember atau
Indosiar?? :D Naaaah Mates... Untuk perjalanan domestik Jawa Timur ini, karcisnya hanya boleh dibeli
di hari pemberangkatan (nggak boleh dibeli sehari sebelumnya, sebulan
sebelumnya ataupun setahun sebelumnya. Terlebih lagi, karcisnya nggak boleh
dibeli satu hari setelah hari pemberangkatan kita, karena pasti karcisnya akan
sia-sia, karena itu artinya kita membeli karcis untuk pemberangkatan
kemarin.Lah untuk apa dibeli?) :D
Oke Mates, kemabali ke uuuuulaaar. :D Bukan bukan, maksudnya
kembali ke antrian calon pembeli karcis kereta yang mengular tadi ya. Setelah
ikut gabung di antara antrian yang mengular tadi, akhirnya loket benar-benar
dibuka pukul 04.00. Dan saat itu juga
para calon pembeli karcis kereta jurusan Kediri-Kota Baru, Malang merasa
kecewa. (Bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)