Senin, 01 Juni 2015

Antu Banyu



Aku tinggal di sebuah dusun yang miskin dari sentuhan komoderenan. Masyarakat di dusunku adalah orang-orang yang dalam kepalanya banyak ditumbuhi pemikiran kolot. Sebagian besar masyarakat dusunku ini bekerja sebagai tukang gergaji mesin, nelayan, pengasap ikan, pengusaha kerupuk ikan rumahan dan berkebun. Ada juga yang bekerja sebagai pegawai negeri, namun itu cukup bisa dihitung dengan jari.  Namun jangan ditanya tentang rasa kekeluargaan, tolong menolong, kesetiakawanan, dan juga bela-membela saat ada tetangga atau familinya yang cekcok mulut di pasar, bisa dipastikan tiada banding, pastilah ereka akan membela mati-matian hingga titik darah penghabisan. Meskipun cekcok mulut itu hanya karena hal sepele.
Masyarakat  di dusunku terbiasa memulai kembali menyalakan nyawa dari tidurnya sejak matahari belum berani mengintip bumi. Asap-asap akan mengepul dan merayap ke atas genteng dapur rumah-rumah di sini, pertanda para ibu sudah mulai menyalakan kayu untuk memasak. Anak-anak merekapun sudah dilatih untuk bangun sebelum subuh sejak kecil.  Nanti saat suara adzan dimuntahkan dari toa surau, merekapun akan berbondong-bondong  ke surau untuk shalat subuh  berjama’ah.
Anak-anak gadis di dusunku juga sudah terampil betul mengurus pekerjaan rumah sejak usia mereka belum baligh, mulai dari memasak, menyapu, menyuci baju di Musi, dan segala jenis pekerjaan rumah tangga lainnya. Pendidikan mereka rata-rata hanya mencapai MTs, ada juga yang sampai Aliyah dan perguruan tinggi, namun tentu itu menjadi pemandangan langka di dusunku. Maka tak heran jika di dusunku banyak gadis yang sudah menikah sejak usia mereka masih sangat belia.
Sedangkan bujangnya sendiri memiliki pendidikan yang lumayan lebih beruntung, bujang-bujang di sini rata-rata sekolah sampai  bangku Aliyah. Setelah lulus, banyak dari mereka yang merantau ke pulau seberang untuk bekerja di PT ataupun menjadi kuli bangunan. Ada juga yang membantu pekerjaan orangtua mereka di dusun. Seperti aku, setelah lulus Aliyah setahun yang lalu, aku masih setia menetap di dusun, membantu orang tuaku berkebun dan  dan membantu Pak Haji Maksum mengajar anak-anak mengaji di surau. Selain itu alasan yang membuatku betah menetap di dusun ini adalah Midah, gadis pujaanku yang berambut ikal sebahu, bermata bulat dengan bola mata yang coklat.
Meskipun rajin sembahyang berjamaah di surau, namun masyarakat di dusunku masih banyak yang mempecayai mitos-mitos. Termasuk mitos tentang Antu Banyu, yang katanya berwujud perempuan  bertaring dan berambut panjang dan akan muncul di malam hari saat air  Musi berwarna kecoklatan dan terasa hangat.  Antu banyu ini konon sangat menggemari ubun-ubun kepala dan sum-sum tulang belakang manusia, terutama ubun-ubun kepala bujang dan anak-anak kecil yang aqil baligh. Aku sendiri tak terlalu percaya dengan mitos-mitos semacam itu. Namun Emak dan Ayukku adalah termasuk dari mereka yang sangat percaya tentang mitos Antu Banyu ini. Maka tak heran kalau Emak akan sangat melarangku bermain di pinggir Musi  pada saat-saat tertentu yang disinyalir sebagai waktu keluarnya Antu Banyu dari sarangnya.
Ada kejadian yang akan selalu hidup dalam ingatan-ingatan masyarakat asli dusunku ini, kejadian ini terjadi saat aku masih SD. Saat itu dusunku digemparkan dengan hilangnya dua orang teman bermainku, Buyung dan Rustam. Mereka dikabarkan tak pulang ke rumah sampai langit sudah memejam. Semua warga bergotong royong mencari Buyung dan Rustam sampai ke sudut-sudut dusun, kuburan dan rawa-rawa sambil membawa obor dan memukuli piring seng. Masyarakat dusunku percaya jika pukulan piring seng ini dapat memanggil kembali anak kecil yang sedang disembunyikan makhluk-makhluk halus. Sebagian warga yang lain ada yang mencari di sungai sambil menaiki getek dan membawa lampu patromak. Dikhawatirkan Buyung dan Rustam hanyut di Musi. Karena terakhir  kali ada yang melihat kedua bocah itu memanjat pohon kelapa di dekat Musi setelah pulang sekolah.
Dusunku mendadak ramai dengan kur warga yang memanggil-manggil nama Buyung dan Rustam.  Aku yang saat itu masih SD tak ikut mencari keliling dusun ataupun ke Musi, aku hanya ikut Ibu dan Ayukku membaca yasin di surau bersama ibu-ibu dan anak kecil lainnya, berdoa agar Buyung dan Rustam segera ditemukan. Namun sampai rona fajar bergurat di pipi langitpun kedua bocah yang dikabarkan hilang itu tak kunjung muncul batang hidungnya. Sudah pasti warga menjadi semakin panik, kulihat Emak dari Buyung dan Rustampun menangis dan saling berpeluk menghawatirkan nasib anak-anak mereka. Kulirik mata Emakku juga sudah merah dan sebentar lagi pasti akan turun gerimis dari sana.
Warga kembali ke rumah mereka masing-masing. Aku yang saat itu tak tidur semalaman izin tak masuk sekolah. Sebagian warga juga banyak yang tak beraktifitas, kecuali para pengasap ikan yang memang sudah dikejar pesanan.
Belum saja bedug dzuhur berbunyi, dusunku digemparkan oleh teriakan  warga yang menemukan sosok mayat mengapung di Musi. Semua warga berbondong-bondong menuju tepian sungai. Di sana kami melihat satu mayat anak seusiaku yang masih menggunakan seragam sekolah, tubuhnya sudah mengembung menjadi hampir dua kali lipat dari aslinya, mukanyapun sudah sulit dikenali, namun bisa dipastikan mayat yang ditemukan itu adalah salah satu dari bocah yang hilang kemarin. Orang tua Buyung dan Rustampun menangis histeris sambil berlari ke tepi Musi.
Melihat dari ciri-ciri yang ada, mayat bocah yang ditemukan itu lebih mirip Buyung, maka mayat itupun dibawa warga ke Rumah Mang Nandar, Orang tua Buyung. Alat-alat untuk mengurus jenazahpun sudah disiapkan di rumah Mang Nandar. Mulai dari kafan, gentong-gentong air untuk memandikan mayat, sampai dengan keranda mayat.
Namun kejadian menjadi semakin kalut saat mayat  mulai dimandikan. Ternyata mayat yang dimandikan itu bukanlah mayat Buyung seperti yang diperkirakan. Karena mayat yang dimandikan di rumah Mang nandar itu sudah dikhitan, sedang semua warga tahu kalau Buyung belumlah dikhitan. Berarti mayat ini adalah mayat Rustam.  Maka setelah dimandikan, mayat bocah ini segera diantarkan ke Rumah orang tua Rustam untuk dikafankan, dishalatkan laku diberangkatkan peristirahatan terakhir.
Sedangkan Buyung sendiri samapai aku sebesar ini tak diketahui rimbanya. Entah masih hidup, ikut hanyut di sungai, diculik  ataupun apalah aku tak tahu. Namun warga di sini mempercayai kalau Buyung dimangsa Antu Banyu.
Sejak saat itu Emakku jadi lebih cerewet menasehatiku untuk tak dekat-dekat dengan Musi. Namun yang aku heran dari kekhawatiran Emakku yang berlebihan ini adalah bagaimana mungkin aku bisa menghindari Musi, sedangkan dari pintu dapur rumahku saja coklatnya air Musi sudah bisa disantap mata. Ah dasar Emak.
***
Malam ini aku berencana menonton layar tancap di lapangan dekat Musi dengan Midah, gadis pujaanku itu. Kemarin salah seorang warga dusunku ada yang menikahkan anaknya  dan layar tancap inilah sebagai hiburannya. Sebenarnya Emak  sudah melarangku untuk menonton, sebab esok harinya aku harus bekerja keras membantu Bapak mencangkul di kebun untuk menanam tanaman yang baru. Tapi tak aku hiraukan larangan Emak.
Setelah Isya aku bersiap-siap menjemput Midah di rumahnya, aku menggunakan celana dasar hitam dan kemeja kotak-kotak merah, kemeja andalan keduaku setelah kemeja biru laut polos hadiah dari Midah.   Rumah Midah sendiri tak begitu jauh jaraknya dari rumahku, kebetulan juga searah dengan lapangan tempat layar tancap berlangsung.
Saat kutemui Midah sudah menunggu di bawah pohon nangka depan rumahnya. Midah tampak cantik sekali dengan rok hitam semata kaki dan kaos abu-abu. Bibirnya sedikit dipoles gincu merah jambu. Badannyapun berbau wangi. Aku semakin senang memandang Midah dari dekat.  Kuperhatikan ada yang berbeda dari Midah, rambutnya kali ini lurus dan tak lagi ikal, mungkin dia mengikuti gaya anak-anak kota yang pergi ke salon untuk meluruskan rambutnya. Apapun itu, memandang Midah yang selalu tersenyum adalah suatu hal yang selalu membuat jantungku bergemuruh.
Tak menunggu lama kamipun segera melangkahkan kaki menuju lapangan yang ternyata sudah ramai sekali. Banyak muda mudi dan juga orang tua  menyemuti tempat ini. Setelah membeli kacang rebus aku sengaja mencari tempat yang agak gelap dan sepi agar bisa lebih nyaman berdua-duaan dengan Midah. Akhirnya kami duduk di dekat Musi, kami duduk  pada potongan batang pohon kelapa yang sudah habis digergaji. Memang agak jauh dari layar ditancapkan, namun tempat ini kurasa pas untuk bisa dengan nyaman berdua-duaan dengan Midah.
Tak lama kemudian lampu layar menyala, pertanda film akan diputar. Biasanya yang sering diputar pada acara layar tancap di dusunkuku adalah film-film kolosal ataupun komedi. Meskipun sudah sering diputar hingga berkali-kali, masyarakat di dusunku masih saja tak bosan untuk menonton. Kali ini aku merasa sedikit aneh dan berbeda karena film yang diputar kali ini belum pernah aku tonton sebelumnya. Di  layar itu aku menyaksikan seorang bujang terapung di sungai tanpa ubun-ubun di kepalanya.Aku mengamati gambar bujang di layar itu lebih seksama.  Dan aku merasa semakin aneh saat melihat bujang itu memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah persis seperti yang aku gunakan saat ini. Jantungku bergemuruh dahsyat, nafasku terasa sesak, denyut nadiku seolah hampir tandas  saat muka bujang itu terlihat semakin jelas. Muka bujang itu mirip sekali denganku. Ya, tak salah lagi itu memang aku!!  Bagaimana ini bisa terjadi? Kulirik Midah yang berada di sampingku, dia hanya tertawa menyeringai. Mengerikan sekali. Lebih-lebih sekarang aku melihat dua taring muncul dari mulut Midah dan siap menerkamku. Sejurus kemudian aku merasa jantungku tak lagi memompa oksigen.

Catatan:
[1] Ayuk: Panggilan kakak perempuan di daerah Sumatera Selatan.


Singosari, Malang, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar