1.
Bilingualisme
a.
Pengertian
Bilingualisme (Kedwibahasaan)
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa
Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah
dapat dipahami apa yang dimaksud dengan kedwibahasaan itu, yaitu berkenaan
dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa.[1] Secara sosiolinguistik
secara umum, kedwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang
penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
1.
Kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama
baiknya (bilingual dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama
baiknya).
2.
(kedwibahasaan adalah native like control of two languages)
(Bloomfield, 1933)
3.
Kedwibahasaan adalah
kebiasaan menggunakan dua bahasa atau
lebih secara bergantian (kedwibahasaan adalah the practiceof alternately
using two languages (Weinreich, 1953).
4.
Kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau
hampir sama baik, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa
bagaimanapun tingkatnya (Robert Lado)
5.
kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih
oleh seseorang (kedwibahasaan adalah the alternative use of two of more
languages by the same individual) (Mackey).
6.
Tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual (knowledge of
two languages) (Haugen,1961)
Pada bilingualism, pertukaran alih kode (code switching) adalah
sampai berapa luaskah seseorang dapat memepertukarkan bahasa-bahasa itu dan
bagaimana serta dalam keadaan bagaimana seseorang dapat berpindah dari satu
bahasa kebahasa lain.[2]
b.
Macam
Bilingualisme
Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi
kedwibahasaan, yaitu:[3]
1.
Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari
pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada
kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa
dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.
2.
Kedwibahasaan Koordinatif (sejajar)
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang
individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2.
Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan
B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi
B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat
suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat
kehilangan B1-nya.
Orang yang bisa menggunakan kedua bahasa itu
disebut orang yang bilingual dalam
bahasa Indonesia disebut dwibahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan
dua bahasa disebut bilingualitas dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasaan.
bilingualisme dan bilingualitas.
Jika kita perhatikan hubungan logika antara
bilingualisme dan bilingualitas, maka akan dapat dimengerti bahwa tidak semua
yang memiliki “bilingulitas” akan mempraktikkan “bilingualisme” dalam kehidupan
sehari-harinya, sebab hal ini tergantung pada situasi kebahasaan di
lingkungannya. Namun, dapat pula kita pahami bahwa seseorang tidak akan dapat
mempraktikkan “bilingualisme” tanpa memiliki “bilingualitas”. Singkatnya, bilingualisme
brimplikasi pada bilingualitas
Jika melihat batasan bilingualisme yang
dipaparkan oleh Bloomfield (Aslinda, 2007:23), seseorang dapat disebut sebagai
bilingual apabila mampu menggunakan B1 (bahasa pertama atau bahasa ibu) dan B2
(bahasa kedua) dengan sama baiknya. Namun, permasalahannya bagaimana cara
mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap penguasaan kedua
bahasa yang digunakannya? Selanjutnya, yang menjadi permasalahan adalah
mungkinkah seseorang dapat menggunakan B2-nya dengan kualitas yang sama baik
dengan B1-nya. Apabila ditemui penutur yang mampu menguasai B2-nya sama baik
dengan B1-nya, maka penutur tersebut tentunya mempunyai kesempatan yang sama
untuk mempelajari dan menggunakan kedua bahasa tersebut.
Pada pembahasan ini, selanjutnya kita akan
membahas pendapat yang dikemukakan oleh Mackey yang menyebutkan bahwa dalam
membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah
tingkat, fungsi, pertukaran atau alih kode, percampuan atau campur kode,
interferensi, dan integrasi.[4]
a.
Masalah tingkat kaitannya adalah dengan sejauh
mana sesorang mampu menjadi seorang dwibahasawan atau sejauh mana seseorang
mampu mengetahui bahasa yang dipakainya. Masalah tingkat dalam pembahasan
bilinguaisme menurut Alwasilah (1990:125) berkaitan dengan tingkat kemampuan
berbahasa seseorang. Kemampuan berbahasa seseorang akan nampak dari empat
keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis.
Menurutnya, dalam keempat keterampilan tersebut akan mencakup fonologi,
gramatik, leksis, semantik, dan stailistik. Jika diambil kesimpulan, masalah
tingkat ini adalah masalah yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan
seseorang terhadap bahasa yang dipakainya.
b.
Fungsi kaitannya dengan pengertian untuk apa
seseorang menggunakan bahasa dan apa peranan bahasa dalam kehidupan pelakunya.
Hal ini berkaitan dengan kapan seseorang yang bilingual menggunakan kedua
bahasanya secara bergantian. Masalah fungsi ini menyangkut masalah pokok
sosiolinguistik yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan,
dan dengan tujuan apa (Chaer, 2004:88). Penggunaan bahasa pertama oleh seorang
penutur, misalnya bahasa pertamanya bahasa Sunda, hanya akan digunakan dengan
semua anggota masyarakat tutur yang menggunakan bahasa Sunda pula.
c.
Pertukaran atau alih kode adalah sampai
seberapa luaskah seseorang dapat mempertukarkan bahasa-bahasa itu dan bagaimana
seseorang dapat berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain. Keempat, campur kode
terjadi bilamana seseorang mencampurkan dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa
dalam suatu situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa.
d.
Interferensi adalah bagaimana seseorang yang
menganut bilingualisme menjaga bahasa-bahasa itu sehingga terpisah dan seberapa
jauh seeorang itu mampu mencampuradukkan serta bagaimana pengaruh bahasa yang
satu dalam penggunaan bahasa lainnya. Interferensi berarti adanya saling
mempengaruhi antarbahasa. Interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata
bahasa, kosakata dan makna bahkan budaya – baik dalam ucapan maupun tulisan –
terutama kalau seseorang sedang mempelajari bahasa kedua (Alwasilah, 1990:131).
e.
Integrasi terjadi apabila unsur serapan dari
suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya
shingga pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa asing.
Pengintegrasian unsur serapan ke dalam suatu bahasa tidak sama pada setiap
wilayah. Adakalanya integrasi hanya terjadi pada suatu dialek, bahkan
adakalanya integrasi itu terjadi pada sebuah desa asalkan unsur tersebut
menunjukkan ciri-ciri integrasi.
Sebagai contoh simaklah ilustrasi alih kode berikut,alih kode yang
terjadi adalah dari bahasa Aceh ke bahasa Indonesia.
Latar
belakang : Asrama putra Alfaraby komplek
ma’had A’ly
Para pembicara :
Mahasiswa-mahasiswa Pasca sarjana UIN Malang.Dedy dan Musa mahasiswa asli orang aceh sedangkan
Sarifuddin mahasiswa asal aceh tetapi bukan asli orang aceh dan tidak
bisa berbicara bahasa aceh.
Topik : Percakapan tentang weekend
Sebab alih kode :kehadiran
Sarifuddin dalam peristiwa tutur
D :
singeh kajak ikah?
(Besok
kamu pergi tidak?)
M :
Kukalen ile,man dua teh sagai tajak?
(Saya
liat dulu,jadi hanya kita berdua saja ?)
D :
ko pigi gak bro?
Kamu
mau pergi tidak ?
S :
pergi kemana ?
M :
rencana kita mau weekend ke batu
D :
ken menye jih han dijak,tajak dua teh aju!
(kalau
dia gak pergi,kita pergi berdua saja)
Dari contoh tersebut,terlihat bahwa alih kode terjadi karena hadir
nya orang ketiga.alih kode tersebut terjadi dari bahasa Aceh ke dalam bahasa
Indonesia.Dedy beralih kode ke dalam bahasa Indonesia karena mitra tutur nya
Sarifuddin (orang asli Medan) tidak mengerti bahasa Aceh.
2.
Alih kode ( code switching)
a.
Pengertian
Code Switching
Code Switching atau alih kode adalah gejala peralihan
pemakaian bahasa karena berubah situasi. Menurut Hymes mengatakan ahli kode
bukan hanya terjadi antarbahasa, melainkan juga terjadi antara ragam-ragam
bahasa dan gaya bahasa yang terdapat dalam satu bahasa. Dengan demikian, alih
kode itu merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa yang terjadi karena
situasi dan terjadi antarbahasa serta antaragam dalam satu bahasa.[5]
Pada pengguna bahasa slang dalam peristiwa
komunikasi dapat diartikan adanya kegiatan pengalihan kode bahasa, atau yang
dikenal dengan istilah code switching. Code switching juga dapat diartikan
sebagai pemakaian individual dua atau lebih variasi bahasa dalam satu speech
event. Code switching dapat terjadi diantara bahasa atau dialek yang berbeda,
registers, atau “levels” bahasa, atau dari gaya bahasa saja. Analisis
linguistic menunjukkan bahwa code switching menunjukkan pengguna bahasa
bersifat sistematis, terdapat standar skill berbahasa, dan socially meaningful
(woolard 2004:94)
Dalam code switching, penutur mengganti bahasa yang
digunakannya ke code yang lain (termasuk ragam) karena pertimbangan (1) lawan
bicara. (2) penutur sendiri, (3) hadirnya penutur ketiga (misal orang Jawa sama
orang Jawa terus datang orang ketiga dari Sumatra maka mereka alih kode ke
bahasa Indonesia), (4) menimbulkan rasa humor, atau (5) meningkatkan gengsi,[6]
(6) perubahan dari formal ke informal (sebaliknya), dan (7) perubahan topik
pembicaraan.[7]
b.
Macam
Code Swiching
Berdasarka sebab munculnya, code switching terdiri dari dua
macam:
1. Situasional
Code Switching
Pengalihan
kode dalam suatu masyarakat multibahasa timbul karena adanya kebutuhan
leksikal, hal ini terjadi bila seseorang ingin mengekspresikan sesuatu yang
hanya ada pemaknaan dalam satu bahasa tertentu atau ketidak-puasan seseorang
dalam pemakaian satu bahasa ketika mengekspresikan satu atau beberapa kata.
Code-switching juga terjadi karena mengikuti situasi dalam perubahan
topik/permasalahan yang dibicarakan, atau juga merupakan kesengajaan utuk
membuat sebuah kode rahasia agar orang lain tidak mengerti isi pembicaraan.
Pengalihan kode ini juga dipengaruhi oleh umur, status sosial, latar belakang
pendidikannya dan gender. Kode switching
seperti ini disebut dengan Situasional Code Switching.
2. Methaporical
Code Switching
Pengalihan kode bahasa dalam sebuah situasi tunggal tetapi
menambahkan makna untuk sejumlah komponen sebagai aturan untuk di ekspresikan,
dan mempunyai tujuan tertentu. Pengalihan tersebut merupakan perubahan untuk
melibatkan pilihan dalam mengenalkan diri (identifikasi) kepada lawan bicara
dalam situsi tertentu. Perubahan ini disebut
dengan Methaporical Code Switching.
Dalam multibahasa komunitas bilingual, switching
metafora-kode mengacu pada kecenderungan
untuk beralih kode (bahasa atau ragam bahasa) dalam percakapan untuk membahas
topik yang biasanya akan jatuh ke lain domain percakapan.Dimana alternatif antara varietas mengubah situasi, menjadi
perubahan dalam mengatur norma, dan switching metaforis, mana alternatif
memperkaya suatu situasi, memungkinkan untuk kiasan untuk lebih dari satu
hubungan sosial dalam situasi. Sebagai contoh, di sebuah makan malam keluarga
(di mana Anda harapkan untuk mendengar berbagai L), anggota keluarga yang akan
berpindah dari L untuk H untuk membahas sekolah atau bekerja. Di tempat kerja
(dimana Anda harapkan untuk mendengar H) lawan bicara dapat beralih dari H ke L
keluarga mendiskusikan.[8]
Sebagai
contoh simaklah ilustrasi alih kode berikut, dari Penggalan percakapan di telepon antara Tio dan Rudi
pada sore hari :
Tio : Halo, selamat
siang?
Rudi : Siang?
Tio : Apakah saya
bisa bicara dengan Rudi?
Rudi : Iya, saya
sendiri. Dengan siapa?
Tio : Aku Tio Rud,
Rudi : Oh. Whats up?
Tio : Kenapa tidak
masuk kelas today?
Rudi : Aku terkena flu
berat.
Tio : Sudahkah
periksa ke thabib?
Rudi : Insya Allah, ntar sore aku
ke dokter.
Tio : Istirahat yang
banyak.
Rudi : Ok.
Tio : Bye the way,
besok lusa ada tugas kelompok,
Rudi : Oh ya?
Tio : Kalo masih
perlu istirahat tidak apa-apa, ntar kita yang ngerjain.
Rudi : Syukron.
Tio : Afwan, cepat
sembuh. Assalammualaikum.
Rudi :
Waalaikumussalam.
Analisa:
Latar
belakang :
Asrama putra Alfaraby komplek ma’had A’ly
dan rumah
Para pembicara :
Mahasiswa-mahasiswa Pasca sarjana UIN Malang
Topik :
pemberitahuan
Sebab
alih kode :
peralihan karena ketidak hadiran Rudi dalam kelas
Percakapan di atas adalah percakapan antara dua orang pelaku yaitu
pembicara dan pendengar (lawan bicara) dengan secara tidak langsung yaitu
menggunakan telepon. Percakapan tersebut
merupakan percakapan yang bersifat tidak langsung karena menggunakan alat bantu
untuk melakukan interaksi.
Percakapan di atas menggunakan beberapa bahasa yaitu bahasa
Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Inggris. Interaksi ini menyatakan pembicara
dan pendengar mempunyai pengetahuan lebih dari dua bahasa dan saling mengerti
dan memahami maksud yang dituturkan. Kejadian penggunaan bahasa lebih dari satu
dalam sebuah interaksi ini bisa disebut dengan pengalihan kode bahasa atau
terkenal dengan istilah Code-switching. Code switching dapat diartikan
sebagai pemakaian individual dua atau lebih variasi bahasa dalam satu speech
event. Code-switching juga dapat terjadi di antara bahasa atau dialek yang
berbeda, register atau “level” bahasa, atau dari gaya bahasa saja
seperti contoh di atas,
Tio : Sudahkah perudsa
ke thabib?
Rudi : Insya Allah, ntar
sore aku ke dokter.
Percakapan tersebut menggunakan bahasa utama yaitu bahasa
Indonesia. Karena beberapa faktor, pembicara menggunakan alih kode (code
switching) yang menurutnya (pembicara), pendengar memahami code-switching
tersebut. Pembicara menggunakan pengalihan bahasa karena code-switching
menujukan penggunaan bahasa lebih simpel, lebih sistematis, dan terdapat
standar skill berbahasa.
Kata “Thabib” merupakan code-switching pengalihan bahasa dari satu
bahasa ke bahasa lain yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab,
sedangkan kata “ntar” merupakan
pengalihan gaya bahasa saja yaitu dari bahasa baku Indonesia (bahasa
resmi) ke bahasa pasaran Indonesia
(tidak resmi). Percakapan tersebut dalam bahasa baku Indonesia dapat di artikan
sebagai berudut:
Tio : Sudahkah perudsa
ke dokter?
Rudi : Insya Allah, sore nanti
aku akan pergi ke dokter.
Pengalihan kode dalam suatu masyarakat multibahasa timbul karena
adanya kebutuhan leksikal, hal ini terjadi bila seseorang ingin mengekspresikan
sesuatu yang hanya ada pemaknaan dalam satu bahasa tertentu atau ketidak-puasan
seseorang dalam pemakaian satu bahasa ketika mengekspresikan satu atau beberapa
kata. Code-switching juga terjadi karena mengikuti situasi dalam perubahan
topik/permasalahan yang dibicarakan, atau juga merupakan kesengajaan utuk
membuat sebuah kode rahasia agar orang lain tidak mengerti isi pembicaraan.
Pengalihan kode ini juga dipengaruhi oleh umur, status sosial, latar belakang
pendidikannya dan gender. Kode switching
seperti ini disebut dengan Situasionl reasion.
Pengalihan kode bahasa dalam
sebuah situasi tunggal tetapi menambahkan makna untuk sejumlah komponen sebagai
aturan untuk di ekspresikan, dan mempunyai tujuan tertentu. Pengalihan tersebut
merupakan perubahan untuk melibatkan pilihan dalam mengenalkan diri
(identifikasi) kepada lawan bicara dalam situasi tertentu. Perubahan ini disebut dengan Methaporical
Code Switching. hal ini dapat terlihat dalam contoh percakapan di atas
(akan dikutip kembali sebagai berikut):
Tio : halo, selamat
siang?
Rudi : Siang?
Tio : Apakah saya
bisa bicara dengan Rudi?
Rudi : Iya, saya
sendiri. Dengan siapa?
Tio : Aku Tio Rud,
Rudi : Oh. Whats up?
Tio : Kenapa tidak masuk
kelas today?
Penggalan percakapan di atasa menggambarkan Methaporical Kode
Switching. pada awal pengangkatan telepon, penelepon yaitu Tio sebagai
pembicara menggunakan bahasa baku, hal ini karena pembicara belum mengatahui
(tidak mengenal) siapa lawan bicaranya. Setelah interaksi komunikasi
berlangsung lama, pembicara mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah temannya
Rudi. Dengan begitu pembicara langsung mengalihkan bahasa bakunya ke bahasa
pasaran (tidak resmi). Hal ini bisa dilihat pengalihan kata “saya” menjadi
“aku”. Pengalihan kode ini dilakukan pembicara untuk mengidentifikasikan diri
kepada lawan bicara bahwa si pembicara adalah teman lawan bicara yang mempunyai
kesamaan identitas pengalaman, yaitu seusia (umurnya sepadan) dan mempunyai
latar pendidikan yang sama. Pembuktian lain dapat dilihat dari penggalan
interaksi dengan menggunakan bahasa asing sebagai kode switching yaitu “whats
up” dan “today”.
Dalam percakapan di atas, juga terdapat politeness (sopan
santun) yang digunakan pembicara dan
pendengar di dalam interaksinya. Konteks atau keadaan pada saat berinterksi dan
keadaan lawan bicara juga mengikat dan mempengaruhi politeness. Dari percakapan
di atas pembicara menggunakan politeness jenis positive politeness. Pembicara
menggunakan bahasa yang sekiranya dapat menyenangkan hati lawan bicara
(pendengar) meskipun yang pembicara bicarakan tidak sepenuhnya dikehendaki atau
diinginkan, tidak semuanya diungkapkan dengan kejujuran (bersifat
mengada-mengada). Hal ini bisa dilihat dalam potongan percakapan di atas
sebagai berudut:
Tio : Bye the way, besok
lusa ada tugas kelompok,
Rudi : oh ya?
Tio : kalo masih
perlu istirahat tidak apa-apa, ntar kita yang ngerjain.
Rudi : Syukron.
Tio : afwan, cepat
sembuh. assalammualaikum.
Tio sebagai pembicara mengujarkan kalimat kepada lawan bicaranya
dengan kalimat “kalo masih perlu istirahat tidak apa-apa, ntar kita yang
ngerjain”. Tio bermaksud mengajak lawan bicaranya (Rudi) untuk mengerjakan
tugas kelompok bersama-sama dengan bahasa yang lebih sopan dan lebih kepada
konotasi positif. Makna atau maksud dalam Kalimat tersebut tidak sepenuhnya
diharapkan oleh pembicara, pembicara menginginkan lawan bicara bisa ikut
mengerjakan tugas kelompok bersama-sama. Harapan (keinginan) pembicaran
terhadap keikut-sertaan lawan bicara untk mengerjakan tugas kelompok
bersama-sama dapat dilihat dari kata awal dalam kalimat tersebut “kalo masih
perlu Istirahat”. Indikasi harapan pembicara tersebut juga terlihat pada
percakapan berudutnya yaitu pembicara mendoakan lawan bicara agar sembuh dari
penyakitnya.
3.
Campur
kode (code mixing)
a.
Pengertian campur kode
Pembicaraan
mengenai alih kode,biasanya diikuti dengan pembicaraan tentang campur
kode.campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa,misalnya bahasa
Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa
Indonesia.dengan kata lain,seseorang
yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi
keotonomiannya,sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama
merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebaga sebuah
kode.
Ciri yang menonjol
dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi Informal.dalam situasi
bebahasa formal,jarang terjadi campur kode,kalau terdapat campur kode dalam
keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan
bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari
bahasa daerah atau bahasa asing(Nasabah,1991:32).seorang penutur misalnya,dalam
berbahasa Indonesia banyak menyelipkan bahasa daerah nya,maka penutur itu dapat
dikatakan telah melakukan campur kode.
Thealander
(dalam Chaer dan Agustina,1995:152) mencoba menjelaskan perbedaan antara alaih
kode dan campur kode.menurutnya,bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi
peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain maka peristiwa
yang terjadi adalah alih kode.Akan tetapi,jika dalam suatu peristiwa tutur
klausa-klausa dan frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase
campuran dan masing-masing klausa dan frase itu tidak lagi mendukung fungsi
sendiri-sendiri,maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.dengan kata
lain,jika seseorang menggunakan suatu kata/frase dari suatu bahasa ,orang
tersebut telah melakukan campur kode.akan tetapi,apabila seseorang menggunakan
satu klausa jelas-jelas memiliki struktur suatu bahasa dan klausa itu disusun
menurut struktur bahasa lain,maka yang terjadi adalah alih kode.
Contoh percakapan antar mahasiswa tentang campur kode dalam bahasa aceh:
Latar belakang : Asrama putra Alfaraby komplek ma’had A’ly no. 15
Para pembicara :
Mahasiswa-mahasiswa Pasca sarjana UIN Malang.Dedy dan Mutazakkir mahasiswa asli orang aceh .
Topik :
Percakapan ketika sedang membuat kopi
Sebab campur kode :karena kebiasaan penutur
M :
pue kapeget nyan ?
(
sedang buat apa kamu?)
D :
peget kupi,ek keuh?
(buat
kopi,kamu mau ?)
M :
oma..jet syit lah...!
(
…boleh juga lah…!)
D :
nye ek syi cok sendok lam mari!
(kalau
mau,tolong ambil sendok dulu di lemari)
M :
oke,gampang nyan
(oke,gampang
itu)
[1] Abdul Chaer
dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka
Cipta, 2004), 84
[2] Aslinda dan
Leni syafyahya, Op.Cit, 24
[3] Arief
Hidayatullah, Pengertian Bilingualism/Kedwibahasaan (Maret 31,
2009) (http://mutiaraku.htm)
[4]
Http ://kedwibahasaan dan diglosia<<sungaibatinku.Htm
[5] Aslinda dan
Leni Syafyahya. Pengantar Sosiolinguistik (Bandung: Refika Aditama,
2007), 85
[6] Code Switching
atau Code Mixing « callhavid.htm
[7] Aslinda dan
Leni Syafyahya, Loc.Cit, 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar