Minggu, 31 Mei 2015

BILINGUALISME, ALIH KODE DAN CAMPUR KODE



1.      Bilingualisme
a.   Pengertian Bilingualisme (Kedwibahasaan)
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan kedwibahasaan itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa.[1] Secara sosiolinguistik secara umum, kedwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
1.      Kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya (bilingual dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya).
2.      (kedwibahasaan adalah native like control of two languages) (Bloomfield, 1933)
3.       Kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan  dua bahasa atau lebih secara bergantian (kedwibahasaan adalah the practiceof alternately using two languages (Weinreich, 1953).
4.      Kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baik, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya (Robert Lado)
5.      kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (kedwibahasaan adalah the alternative use of two of more languages by the same individual) (Mackey).
6.      Tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual (knowledge of two languages) (Haugen,1961)
Pada bilingualism, pertukaran alih kode (code switching) adalah sampai berapa luaskah seseorang dapat memepertukarkan bahasa-bahasa itu dan bagaimana serta dalam keadaan bagaimana seseorang dapat berpindah dari satu bahasa kebahasa lain.[2]
b.   Macam Bilingualisme
Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu:[3]
1.      Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.
2.      Kedwibahasaan Koordinatif  (sejajar)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.

Orang yang bisa menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. bilingualisme dan bilingualitas.
Jika kita perhatikan hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, maka akan dapat dimengerti bahwa tidak semua yang memiliki “bilingulitas” akan mempraktikkan “bilingualisme” dalam kehidupan sehari-harinya, sebab hal ini tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya. Namun, dapat pula kita pahami bahwa seseorang tidak akan dapat mempraktikkan “bilingualisme” tanpa memiliki “bilingualitas”. Singkatnya, bilingualisme brimplikasi pada bilingualitas
Jika melihat batasan bilingualisme yang dipaparkan oleh Bloomfield (Aslinda, 2007:23), seseorang dapat disebut sebagai bilingual apabila mampu menggunakan B1 (bahasa pertama atau bahasa ibu) dan B2 (bahasa kedua) dengan sama baiknya. Namun, permasalahannya bagaimana cara mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap penguasaan kedua bahasa yang digunakannya? Selanjutnya, yang menjadi permasalahan adalah mungkinkah seseorang dapat menggunakan B2-nya dengan kualitas yang sama baik dengan B1-nya. Apabila ditemui penutur yang mampu menguasai B2-nya sama baik dengan B1-nya, maka penutur tersebut tentunya mempunyai kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menggunakan kedua bahasa tersebut.
Pada pembahasan ini, selanjutnya kita akan membahas pendapat yang dikemukakan oleh Mackey yang menyebutkan bahwa dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran atau alih kode, percampuan atau campur kode, interferensi, dan integrasi.[4]
a.    Masalah tingkat kaitannya adalah dengan sejauh mana sesorang mampu menjadi seorang dwibahasawan atau sejauh mana seseorang mampu mengetahui bahasa yang dipakainya. Masalah tingkat dalam pembahasan bilinguaisme menurut Alwasilah (1990:125) berkaitan dengan tingkat kemampuan berbahasa seseorang. Kemampuan berbahasa seseorang akan nampak dari empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Menurutnya, dalam keempat keterampilan tersebut akan mencakup fonologi, gramatik, leksis, semantik, dan stailistik. Jika diambil kesimpulan, masalah tingkat ini adalah masalah yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap bahasa yang dipakainya.
b.   Fungsi kaitannya dengan pengertian untuk apa seseorang menggunakan bahasa dan apa peranan bahasa dalam kehidupan pelakunya. Hal ini berkaitan dengan kapan seseorang yang bilingual menggunakan kedua bahasanya secara bergantian. Masalah fungsi ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa (Chaer, 2004:88). Penggunaan bahasa pertama oleh seorang penutur, misalnya bahasa pertamanya bahasa Sunda, hanya akan digunakan dengan semua anggota masyarakat tutur yang menggunakan bahasa Sunda pula.
c.    Pertukaran atau alih kode adalah sampai seberapa luaskah seseorang dapat mempertukarkan bahasa-bahasa itu dan bagaimana seseorang dapat berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain. Keempat, campur kode terjadi bilamana seseorang mencampurkan dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa.
d.   Interferensi adalah bagaimana seseorang yang menganut bilingualisme menjaga bahasa-bahasa itu sehingga terpisah dan seberapa jauh seeorang itu mampu mencampuradukkan serta bagaimana pengaruh bahasa yang satu dalam penggunaan bahasa lainnya. Interferensi berarti adanya saling mempengaruhi antarbahasa. Interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata dan makna bahkan budaya – baik dalam ucapan maupun tulisan – terutama kalau seseorang sedang mempelajari bahasa kedua (Alwasilah, 1990:131).
e.    Integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya shingga pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa asing. Pengintegrasian unsur serapan ke dalam suatu bahasa tidak sama pada setiap wilayah. Adakalanya integrasi hanya terjadi pada suatu dialek, bahkan adakalanya integrasi itu terjadi pada sebuah desa asalkan unsur tersebut menunjukkan ciri-ciri integrasi.
Sebagai contoh simaklah ilustrasi alih kode berikut,alih kode yang terjadi adalah dari bahasa Aceh ke bahasa Indonesia.
Latar belakang                                    : Asrama putra Alfaraby komplek ma’had A’ly 
Para pembicara                        : Mahasiswa-mahasiswa Pasca sarjana UIN Malang.Dedy  dan Musa mahasiswa asli orang aceh  sedangkan  Sarifuddin mahasiswa asal aceh tetapi bukan asli orang aceh dan tidak bisa berbicara bahasa aceh.
Topik                                       : Percakapan tentang weekend
Sebab alih kode                       :kehadiran Sarifuddin dalam peristiwa tutur

D         : singeh kajak ikah?
            (Besok kamu pergi  tidak?)
M         : Kukalen ile,man dua teh sagai tajak?
            (Saya liat dulu,jadi hanya kita berdua saja ?)
D         : ko pigi gak bro?
            Kamu mau pergi tidak ?
S          : pergi kemana ?
M         : rencana kita mau weekend ke batu
D         : ken menye jih han dijak,tajak dua teh aju!
            (kalau dia gak pergi,kita pergi berdua saja)

Dari contoh tersebut,terlihat bahwa alih kode terjadi karena hadir nya orang ketiga.alih kode tersebut terjadi dari bahasa Aceh ke dalam bahasa Indonesia.Dedy beralih kode ke dalam bahasa Indonesia karena mitra tutur nya Sarifuddin (orang asli Medan) tidak mengerti bahasa Aceh.

2.      Alih kode ( code switching)
a.   Pengertian Code Switching
Code Switching atau alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubah situasi. Menurut Hymes mengatakan ahli kode bukan hanya terjadi antarbahasa, melainkan juga terjadi antara ragam-ragam bahasa dan gaya bahasa yang terdapat dalam satu bahasa. Dengan demikian, alih kode itu merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa yang terjadi karena situasi dan terjadi antarbahasa serta antaragam dalam satu bahasa.[5]
Pada pengguna bahasa slang dalam peristiwa komunikasi dapat diartikan adanya kegiatan pengalihan kode bahasa, atau yang dikenal dengan istilah code switching. Code switching juga dapat diartikan sebagai pemakaian individual dua atau lebih variasi bahasa dalam satu speech event. Code switching dapat terjadi diantara bahasa atau dialek yang berbeda, registers, atau “levels” bahasa, atau dari gaya bahasa saja. Analisis linguistic menunjukkan bahwa code switching menunjukkan pengguna bahasa bersifat sistematis, terdapat standar skill berbahasa, dan socially meaningful (woolard 2004:94)
Dalam code switching, penutur mengganti bahasa yang digunakannya ke code yang lain (termasuk ragam) karena pertimbangan (1) lawan bicara. (2) penutur sendiri, (3) hadirnya penutur ketiga (misal orang Jawa sama orang Jawa terus datang orang ketiga dari Sumatra maka mereka alih kode ke bahasa Indonesia), (4) menimbulkan rasa humor, atau (5) meningkatkan gengsi,[6] (6) perubahan dari formal ke informal (sebaliknya), dan (7) perubahan topik pembicaraan.[7]

b.   Macam Code Swiching
Berdasarka sebab munculnya, code switching terdiri dari dua macam:
1.      Situasional Code Switching
Pengalihan kode dalam suatu masyarakat multibahasa timbul karena adanya kebutuhan leksikal, hal ini terjadi bila seseorang ingin mengekspresikan sesuatu yang hanya ada pemaknaan dalam satu bahasa tertentu atau ketidak-puasan seseorang dalam pemakaian satu bahasa ketika mengekspresikan satu atau beberapa kata. Code-switching juga terjadi karena mengikuti situasi dalam perubahan topik/permasalahan yang dibicarakan, atau juga merupakan kesengajaan utuk membuat sebuah kode rahasia agar orang lain tidak mengerti isi pembicaraan. Pengalihan kode ini juga dipengaruhi oleh umur, status sosial, latar belakang pendidikannya dan gender.  Kode switching seperti ini disebut dengan Situasional Code Switching.

2.      Methaporical Code Switching
Pengalihan kode bahasa dalam sebuah situasi tunggal tetapi menambahkan makna untuk sejumlah komponen sebagai aturan untuk di ekspresikan, dan mempunyai tujuan tertentu. Pengalihan tersebut merupakan perubahan untuk melibatkan pilihan dalam mengenalkan diri (identifikasi) kepada lawan bicara dalam situsi tertentu.  Perubahan ini disebut dengan Methaporical Code Switching.
Dalam multibahasa komunitas bilingual, switching metafora-kode mengacu pada kecenderungan untuk beralih kode (bahasa atau ragam bahasa) dalam percakapan untuk membahas topik yang biasanya akan jatuh ke lain domain percakapan.Dimana alternatif antara varietas mengubah situasi, menjadi perubahan dalam mengatur norma, dan switching metaforis, mana alternatif memperkaya suatu situasi, memungkinkan untuk kiasan untuk lebih dari satu hubungan sosial dalam situasi. Sebagai contoh, di sebuah makan malam keluarga (di mana Anda harapkan untuk mendengar berbagai L), anggota keluarga yang akan berpindah dari L untuk H untuk membahas sekolah atau bekerja. Di tempat kerja (dimana Anda harapkan untuk mendengar H) lawan bicara dapat beralih dari H ke L keluarga mendiskusikan.[8]
Sebagai contoh simaklah ilustrasi alih kode berikut, dari Penggalan  percakapan di telepon antara Tio dan Rudi pada sore hari :
Tio           : Halo, selamat siang?
Rudi         : Siang?
Tio           : Apakah saya bisa bicara dengan Rudi?
Rudi         : Iya, saya sendiri.  Dengan siapa?
Tio           : Aku Tio Rud,
Rudi         : Oh. Whats up?
Tio           : Kenapa tidak masuk kelas today?
Rudi         : Aku terkena flu berat.
Tio           : Sudahkah periksa ke thabib?
Rudi         : Insya Allah, ntar sore aku ke dokter.
Tio           : Istirahat yang banyak.
Rudi         : Ok.
Tio           : Bye the way, besok lusa ada tugas kelompok,
Rudi         : Oh ya?
Tio           : Kalo masih perlu istirahat tidak apa-apa, ntar kita yang ngerjain.
Rudi         : Syukron.
Tio           : Afwan, cepat sembuh. Assalammualaikum.
Rudi         : Waalaikumussalam.

Analisa:
Latar belakang                                    : Asrama putra Alfaraby komplek ma’had A’ly  dan rumah
Para pembicara                        : Mahasiswa-mahasiswa Pasca sarjana UIN Malang
Topik                                       : pemberitahuan
Sebab alih kode                       : peralihan karena ketidak hadiran Rudi dalam kelas

Percakapan di atas adalah percakapan antara dua orang pelaku yaitu pembicara dan pendengar (lawan bicara) dengan secara tidak langsung yaitu menggunakan telepon.  Percakapan tersebut merupakan percakapan yang bersifat tidak langsung karena menggunakan alat bantu untuk melakukan interaksi.
Percakapan di atas menggunakan beberapa bahasa yaitu bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Inggris. Interaksi ini menyatakan pembicara dan pendengar mempunyai pengetahuan lebih dari dua bahasa dan saling mengerti dan memahami maksud yang dituturkan. Kejadian penggunaan bahasa lebih dari satu dalam sebuah interaksi ini bisa disebut dengan pengalihan kode bahasa atau terkenal dengan istilah Code-switching. Code switching dapat diartikan sebagai pemakaian individual dua atau lebih variasi bahasa dalam satu speech event. Code-switching juga dapat terjadi di antara bahasa atau dialek yang berbeda, register atau “level” bahasa, atau dari gaya bahasa saja seperti contoh di atas,
Tio       : Sudahkah perudsa ke thabib?
Rudi    : Insya Allah, ntar sore aku ke dokter.
Percakapan tersebut menggunakan bahasa utama yaitu bahasa Indonesia. Karena beberapa faktor, pembicara menggunakan alih kode (code switching) yang menurutnya (pembicara), pendengar memahami code-switching tersebut. Pembicara menggunakan pengalihan bahasa karena code-switching menujukan penggunaan bahasa lebih simpel, lebih sistematis, dan terdapat standar  skill berbahasa.
Kata “Thabib” merupakan code-switching pengalihan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab, sedangkan  kata “ntar” merupakan pengalihan gaya bahasa saja yaitu dari bahasa baku Indonesia (bahasa resmi)  ke bahasa pasaran Indonesia (tidak resmi). Percakapan tersebut dalam bahasa baku Indonesia dapat di artikan sebagai berudut:
Tio       : Sudahkah perudsa ke dokter?
Rudi    : Insya Allah, sore nanti aku akan pergi ke dokter.
Pengalihan kode dalam suatu masyarakat multibahasa timbul karena adanya kebutuhan leksikal, hal ini terjadi bila seseorang ingin mengekspresikan sesuatu yang hanya ada pemaknaan dalam satu bahasa tertentu atau ketidak-puasan seseorang dalam pemakaian satu bahasa ketika mengekspresikan satu atau beberapa kata. Code-switching juga terjadi karena mengikuti situasi dalam perubahan topik/permasalahan yang dibicarakan, atau juga merupakan kesengajaan utuk membuat sebuah kode rahasia agar orang lain tidak mengerti isi pembicaraan. Pengalihan kode ini juga dipengaruhi oleh umur, status sosial, latar belakang pendidikannya dan gender.  Kode switching seperti ini disebut dengan Situasionl reasion.
 Pengalihan kode bahasa dalam sebuah situasi tunggal tetapi menambahkan makna untuk sejumlah komponen sebagai aturan untuk di ekspresikan, dan mempunyai tujuan tertentu. Pengalihan tersebut merupakan perubahan untuk melibatkan pilihan dalam mengenalkan diri (identifikasi) kepada lawan bicara dalam situasi tertentu.  Perubahan ini disebut dengan Methaporical Code Switching. hal ini dapat terlihat dalam contoh percakapan di atas (akan dikutip kembali sebagai berikut):
Tio       : halo, selamat siang?
Rudi    : Siang?
Tio       : Apakah saya bisa bicara dengan Rudi?
Rudi    : Iya, saya sendiri.  Dengan siapa?
Tio       : Aku Tio Rud,
Rudi    : Oh. Whats up?
Tio       : Kenapa tidak masuk kelas today?
Penggalan percakapan di atasa menggambarkan Methaporical Kode Switching. pada awal pengangkatan telepon, penelepon yaitu Tio sebagai pembicara menggunakan bahasa baku, hal ini karena pembicara belum mengatahui (tidak mengenal) siapa lawan bicaranya. Setelah interaksi komunikasi berlangsung lama, pembicara mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah temannya Rudi. Dengan begitu pembicara langsung mengalihkan bahasa bakunya ke bahasa pasaran (tidak resmi). Hal ini bisa dilihat pengalihan kata “saya” menjadi “aku”. Pengalihan kode ini dilakukan pembicara untuk mengidentifikasikan diri kepada lawan bicara bahwa si pembicara adalah teman lawan bicara yang mempunyai kesamaan identitas pengalaman, yaitu seusia (umurnya sepadan) dan mempunyai latar pendidikan yang sama. Pembuktian lain dapat dilihat dari penggalan interaksi dengan menggunakan bahasa asing sebagai kode switching yaitu “whats up” dan “today”.
Dalam percakapan di atas, juga terdapat politeness (sopan santun) yang digunakan  pembicara dan pendengar di dalam interaksinya. Konteks atau keadaan pada saat berinterksi dan keadaan lawan bicara juga mengikat dan mempengaruhi politeness. Dari percakapan di atas pembicara menggunakan politeness jenis positive politeness. Pembicara menggunakan bahasa yang sekiranya dapat menyenangkan hati lawan bicara (pendengar) meskipun yang pembicara bicarakan tidak sepenuhnya dikehendaki atau diinginkan, tidak semuanya diungkapkan dengan kejujuran (bersifat mengada-mengada). Hal ini bisa dilihat dalam potongan percakapan di atas sebagai berudut:
Tio       : Bye the way, besok lusa ada tugas kelompok,
Rudi    : oh ya?
Tio       : kalo masih perlu istirahat tidak apa-apa, ntar kita yang ngerjain.
Rudi    : Syukron.
Tio       : afwan, cepat sembuh. assalammualaikum.

Tio sebagai pembicara mengujarkan kalimat kepada lawan bicaranya dengan kalimat “kalo masih perlu istirahat tidak apa-apa, ntar kita yang ngerjain”. Tio bermaksud mengajak lawan bicaranya (Rudi) untuk mengerjakan tugas kelompok bersama-sama dengan bahasa yang lebih sopan dan lebih kepada konotasi positif. Makna atau maksud dalam Kalimat tersebut tidak sepenuhnya diharapkan oleh pembicara, pembicara menginginkan lawan bicara bisa ikut mengerjakan tugas kelompok bersama-sama. Harapan (keinginan) pembicaran terhadap keikut-sertaan lawan bicara untk mengerjakan tugas kelompok bersama-sama dapat dilihat dari kata awal dalam kalimat tersebut “kalo masih perlu Istirahat”. Indikasi harapan pembicara tersebut juga terlihat pada percakapan berudutnya yaitu pembicara mendoakan lawan bicara agar sembuh dari penyakitnya.






3.      Campur kode (code mixing)
a.      Pengertian campur kode
Pembicaraan mengenai alih kode,biasanya diikuti dengan pembicaraan tentang campur kode.campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa,misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia.dengan kata lain,seseorang  yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya,sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebaga sebuah kode.
Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi Informal.dalam situasi bebahasa formal,jarang terjadi campur kode,kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing(Nasabah,1991:32).seorang penutur misalnya,dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan bahasa daerah nya,maka penutur itu dapat dikatakan telah melakukan campur kode.                                                   
Thealander (dalam Chaer dan Agustina,1995:152) mencoba menjelaskan perbedaan antara alaih kode dan campur kode.menurutnya,bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.Akan tetapi,jika dalam suatu peristiwa tutur klausa-klausa dan frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran dan masing-masing klausa dan frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri,maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.dengan kata lain,jika seseorang menggunakan suatu kata/frase dari suatu bahasa ,orang tersebut telah melakukan campur kode.akan tetapi,apabila seseorang menggunakan satu klausa jelas-jelas memiliki struktur suatu bahasa dan klausa itu disusun menurut struktur bahasa lain,maka yang terjadi adalah alih kode.


Contoh percakapan antar mahasiswa tentang campur kode dalam bahasa aceh:
Latar belakang                                    : Asrama putra Alfaraby komplek ma’had A’ly  no. 15
Para pembicara                        : Mahasiswa-mahasiswa Pasca sarjana UIN Malang.Dedy  dan Mutazakkir mahasiswa asli orang aceh .
Topik                                       : Percakapan ketika sedang membuat kopi
Sebab campur  kode                :karena kebiasaan penutur

M         : pue kapeget nyan ?
            ( sedang buat apa kamu?)
D         : peget kupi,ek keuh?
            (buat kopi,kamu mau ?)
M         : oma..jet syit lah...!
            ( …boleh juga lah…!)
D         : nye ek syi cok sendok lam mari!
            (kalau mau,tolong ambil sendok dulu di lemari)
M         : oke,gampang nyan
            (oke,gampang itu)



[1] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 84
[2] Aslinda dan Leni syafyahya, Op.Cit, 24
[3] Arief Hidayatullah, Pengertian Bilingualism/Kedwibahasaan (Maret 31, 2009) (http://mutiaraku.htm)

[4] Http ://kedwibahasaan dan diglosia<<sungaibatinku.Htm
[5] Aslinda dan Leni Syafyahya. Pengantar Sosiolinguistik (Bandung: Refika Aditama, 2007), 85
[6] Code Switching atau Code Mixing  « callhavid.htm
[7] Aslinda dan Leni Syafyahya, Loc.Cit, 86
[8] code-switching-wikipedia.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar