Minggu, 31 Mei 2015

PENDIDIKAN BAHASA ARAB DAN PERKEMBANGANNYA DI ERA NABI MUMAHAMMAD SAW, SAHABAT DAN TABI’IN



A.    Pendidikan Bahasa Arab Pada Nabi Muhammad saw (611M-634M)

Masuknya Islam ke jazirah arab yang di bawa oleh nabi Muhammad saw membawa dampak atau pengaruh yang sangat kontras terhadap kebiasaan-kebiasaan arab pra Islam atau arab pada masa jahiliyah disegala segi kehidupannya, baik dari segi kekuasaan, bahasa dan sastra , dan keilmuan.

Dari segi bahasa dan sastra, bangsa arab yang awalanya berlomba-lomba dalam pembuatan syair yang berisi tentang kebanggaan dan persaingan antar kalibah atau keturan, maka setelah datang Islam kebiasaan ini hampir tak terlihat lagi, dan berganti pada syair-syair yang berisi pujian-pujian kepada Allah SWT. Dan dengan diturunkannya alqur'an kepada bangsa arab juga menambah makna dari kosa kata bahasa arab itu sendiri, contohnya: kata "mukmin yang pada masa jahiliyah diartikan untuk orang yang dapat dipercayai atau orang yang berlaku jujur, maka setelah datangnya Islam, kata mukmin di fokuskan untuk membedaakan anatara mu'min dan kafir, majusi, nasrani.[1]

Pada masa pembinaan umat Islam yang berlangsung pada zaman nabi Muhammad, pendidikan Islam berarti memasukan ajaran Islam ke dalam unsur-unsur budaya bangsa arab pada masa itu, sehingga  diwarnai oleh Islam. Dalam pembinaan tersebut ada beberapa hal yang terjadi, salah satunya yaitu adakalanya Islam mendatangkan sesuatu unsur yang sifatnya memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada, seperti al-Qur’an. al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi pada saat itu untuk dilafalkan dan dipelajari oleh umatnya pada masa itu adalah memperkaya unsur budaya sastra Arab yang pada masa itu mempunyai tinggkatan yang tinggi. Kalau pada mulanya mereka mempunyai kebanggaan untuk membaca dan menglafalkan sya’ir-sya’ir yang indah, maka dengan didatangakan al-Qur’an yang tidak akan kalah keindahannya dari segi sastra itu, berarti mereka merasa unsur budaya mereka diperkaya dan disempurnakan.[2]

Turunnya al-Qur'an dengan susunan bahasa yang sangat indah dan sangat dalam maknanya pada masa itu menjadi suatu bandingan yang tak tertandingi di kalangan arab, sehingga ini membuktikan bahwa al-Qur'an bukanlah buatan Muhammad melainkan wahyu dari pencipta alam semesta. Keindahan bahasa     al-Quran menjadi salah sattu penyebab masuk Islamnya para sahabat. Salah satunya adalah Umar bin Khatab. Gaya bahasa dan makna yang terkandung dalam al-Qur'an menjadi penyebab bergetarnya hati umar ketika mendengarnya dan akhirnya bersaksi kepada Allah dan RasulNya.

Dalam proses selanjutnya, ketikan nabi mulai menyebarkan dakwah dan mengajarkan al-Qur'an suatu kebijakan Nabi Muhammad SAW yang patut dicatat dalam mengahadapi keragaman dialek dari suku-suku bangsa Arab yang ada pada masa itu adalah ketetapannya dalam memperbolehkan al-Quran dibaca tujuh huruf, yang dimaksud dengan huruf adalah cara membaca atau mengucapkan huruf-huruf yang tertentu yang berbeda antara suku bangsa yang satu dengan yang lain dan tujuh huruf yang dimaksudkan adalah dialek-dialek yang berlaku pada suku-suku bangsa Arab pada saat itu. Nabi Muhammad SAW membacakan al-Quran dengan tujuh huruf tersebut adalah pada waktu sesudah hijrah ke Madinah, sedangkan pada waktu sebelumnya al-Quran dibacakan hanya dengan dialek Quraisy karena Alquran pada masa itu diajarkan kebada sebagian suku Quraisy yang Islam. Setelah di Madinah ajaran Islam diterima oleh berbagai macam suku bangsa Arab yang mempunyai dialek yang berbeda dengan dialek Quraisy, dan diperbolehkan membaca al-Quran dengan dialek yang dikalangan uamat islam pada saat itu asal tidak mengubah kalimat dengan susunan yang sudah pasti sebagaimana diajarkan olehnya, sehingga tidak pula mengubah arti dan tujuan.[3]

B.     Pendidikan Bahasa Arab Pada Nabi Sahabat dan Tabi'in (613M-1258M)
Bangsa Arab pada awalnya merupakan bangsa yang memiliki keahlian dalam menggunakan dua bahasa sekaligus, yakni bahasa fasih dan bahasa dialek.. Saat sedang bersantai dengan keluarga misalnya, mereka menggunakan bahasa dialek. Namun apabila pada saat yang lain mereka harus menggunakan bahasa fasih, mereka pun sanggup melakukannya secara sempurna. Al-Qur’an dan sabda Nabi juga disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.
Setelah Islam berhasil melakukan futuh ke berbagai negeri ajam (non Arab), bangsa Arab mau tidak mau harus bergumul dengan bangsa-bangsa yang tidak berbahasa Arab tersebut. Akibat pergumulan yang berlangsung secara intens dan dalam waktu lama, bahasa Arab mulai terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Orang-orang non Arab berusaha untuk berbicara dalam bahasa Arab namun mereka melakukan banyak kekeliruan. Orang Arab sendiri sedemikian toleran atas berbagai kekeliruan berbahasa Arab, baik yang dilakukan oleh orang non Arab maupun oleh orang Arab yang baru belajar berbahasa. Saat itu, kesalahan bukan hanya dilakukan oleh orang awam namun juga oleh orang-orang terpelajar dan para sastrawan. Dikisahkan, bahkan Al-Hajjaj, seorang yang sangat mahir berbahasa, juga sempat melakukan kesalahan. Banyaknya kesalahan, terutama dalam mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an.[4]
Ketika juga mulai menyebar  ke negeri   Persia  dan  Romawi,  dan terjadinya pernikahan   orang    Arab   dengan    orang   non  Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan,  menjadikan  Bahasa   Arab  bercampur  baur  dengan  bahasa  non  Arab. Orang  yang  fasih  bahasanya  menjadi  jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan bahasa Arab menjadi hilang.

Pada masa Umar bin Khattab, bahasa yang keliru di kalangan orang arab semakin menjamur. Hal ini disebabkan karena perluasan daerah kekuasaan Islam sehingga banyak orang-orang ‘ajam yang masuk Islam. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi:
  1. Umar melewati suatu kaum yang buruk lemparan (tombak) nya maka beliau mencela mereka. Mereka pun menjawab:  إِِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْن(Makna yang mereka inginkan adalah: “sesungguhnya kami adalah kaum terpelajar”. Akan tetapi mereka keliru karena  yang benar إِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمُوْن  dengan merofa’kan kata مُتَعَلِّمِيْنَ).
Umar berpaling dari mereka karena marah dan berkata: ”Demi Allah kesalahan kalian pada lisan kalian lebih berat menurutku daripada kesalahan kalian pada lemparan (tombak) kalian“.
  1. Abu musa Al Asyari mengirimkan surat kepada amirul mukminin Umar bin Khathab yang tertulis di situ kalimat
مِنْ اَبُوْ مُوْسَى إِلَى أَمِيْرِ المُؤْمِنِيَْنَ عُمَرٍ بْنِ الخَطَّابِ
(Dari abu musa kepada Amirul mukminin Umar bin Khathab. Namun secara kaidah bahasa, kalimat yang tepat مِن اَبِيْ مُوْسَى  dengan menjarkan kata “اَبُوْ”).
Umar membalas surat tersebut dengan: “Sebaiknya kau cambuk Juru tulis mu (karena keliru)”. Juru tulisnya adalah Abul Hushain Al Anbary.
  1. Seorang laki-laki dari gurun (badui) masuk Islam dan meminta diajarkan sesuatu dari Al Quran. Kemudian seorang kaum muslimin membacakan awal surat At Taubah:




 “Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu ; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”( At Taubah : 3)
Akan tetapi orang tersebut membacanya sebagai berikut:
أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ
Yaitu dengan mengkasrahkan kata رَسُوْلُ”” sehingga artinya berubah menjadi “bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan RasulNya.”
Berkatalah orang badui tersebut: “Apakah benar bahwa Allah berlepas diri dari Rasul Nya?  Demi Allah aku akan berlepas diri dari orang yang Allah berlepas diri darinya.” Ketika Umar mengetahui hal tersebut, ia mengutus seseorang ke orang tersebut dan membenarkan bacaannya dan Ia berseru kepada manusia:”Hendaknya seseorang tidak membaca Al Quran kecuali ia mengetahui bahasa Arab”.
Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu nahwu. Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib.

Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang ayah mengatakan, نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ . “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”. Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”. Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”. Bukan, مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah.
Ini adalah beberapa contoh kekeliruan-kekeliruan yang terjadi pada orang-orang arab disebabkan bercampurnya mereka dengan orang-orang non-Arab.  Kekeliruan ini tidak bisa dibiarkan karena dapat merusak pemahaman kaum muslimin terhadap Al Quran sebagaimana contoh yang disebutkan di atas.
Karena semakin banyaknya kesalahan yang terjadi, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam.

Kemudian disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, Ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab Inna dan saudaranya, bentuk Idhofah (penyandaran), kalimat Ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali,اُنْحُ هَذَا النَّحو َ “Ikutilah jalan ini”. Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘Alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab). Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang. Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[5]
Ada   perbedaan  pendapat  di  kalangan  ulama   nahwu  tentang  siapa pencetus ilmu nahwu. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pencetus ilmu nahwu adalah:
  1. Amirul mu’minin Ali bin Abi Thalib
  2. Abul Aswad Ad Du’aly atas perintah dari Khalifah Umar bin Khathab
  3. Abul Aswad Ad Du’aly atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib atau atas perintah Ziyad, pemimpin Bashrah atau Abul Aswad sendiri yang mencetuskan nya yang dipicu oleh percakapan antara beliau dan anak perempuan nya. Berkata anaknya: “wahai ayahku.. مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ (Apa yang paling indah dari langit?)” – dengan merofa’kan (membaca dhammah)  kata ” أَحْسَنُ ” dan menjarkan (membaca kasrah) kata السَّمَاءِ . Beliau pun menjawab:”Bintang-bintangnya”. Anaknya pun berkata:”Aku bukannya bertanya wahai ayah.. tetapi aku sedang merasa takjub..”. Belaiu pun menjawab:“Kalau begitu seharusnya yang kamu ucapkan adalah.. مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ (betapa langit yang indah!)” – dengan membaca fathah kata “أَحْسَنَ ” dan “السَّمَاءَ “.
  4. Abdurrahman bin Humuz Al A’raj
  5. Nashr bin ‘Ashim Al Laitsy.
Pendapat yang paling kuat dari pendaat-pendapat di atas adalah pendapat  yang menyebutkan bahwa pencetusnya adalah Abul Aswad Ad Du’aly atas perintah dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib ketika terjadi banyak kekeliruan orang arab terhadap bahasa nya sendiri khususnya kekeliruan mereka dalam membaca Al Quran dan Hadits.
Begitulah sejarah lahir nya ilmu nahwu dimana bisa kita baca dengan jelas bahwa tujuan utamanya adalah agar kaum muslimin dapat membaca Al Quran dan Hadits dengan benar sehingga bisa memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf : 2)
Imam Syafi’i rahimahulloh berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih kecuali ketika meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada bahasa Aristoteles (bahasa orang barat).” [Siyaru A’lamin Nubala, 10/74]
Benarlah perkataan penyair yang berkata:
النَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَ..  إِذْ الكَلاَمُ دُوْنَةُ لَنْ يُفْهَمَ..
 (Ilmu nahwu adalah hal pertama yang paling utama untuk dipelajari.. karena perkataan tanpanya, tak dapat dipahami..).[6]
Masa Tabi'in ini diawali dengan dinasti Umayyah yang berlangsung pada tahun 41-132 H. Nama daulah Umayyah ini berasal dari nama Umayyah Ibnu Abdi Syam Ibnu Abdi Manaf yaitu salah seorang pemimpin kabilah Quraisy di zaman Jahiliyah. Diantara kemajaun bahasa Arab yang terjadi pada masa dinasti Umayyah ini diantaranya pada kekhalifahan Abdul Malik dan Alwalid terjadi pengarabisasian meliputi perubahan bahasa yang digunakan dalam Administrasi public (diwan) dari bahasa yunani kebahasa Arab di Damskus, dan dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab di Irak serta penerbitan uang logam Arab. Perubahan bahasa secara otomatis menyebarkan perubahan struktur kepegawaian dan jabatan. Jabatan yang dahulunya dipegang oleh orang Persia diganti dengan orang yang telah menguasai bahasa Arab.[7]

Selain itu juga terjadi pembaharuan dalam bidang bahasa Arab, anak-anak para khalifah diajarkan bahasa arab yang fasih dan mereka disuruh belajar kepelosok daerah Arab atau Badui. Diperbatasan Persia kajian  ilmiah tentang bahasa dan tata bahasa Arab telah dimulai, dan dilakukan terutama untuk para mu'allaf yang ingin mempelajari Alquran, menduduki posisi dipemerintahan, dan bisa berinteraksi para penakhluk. Disamping itu kesenjangan antara bahasa klasik al-Quran dengan percakapan sehari-hari yang telah tercampur dengan bahasa Suriah, Persia, dan dialek lain yang menjadi pemicu munculnya minat pengkajian bahasa. Oleh karena itu, bukan suatu kebetulan jika Abu Aswad Adwali (w.688) berasal dari Bagdad. Menurut Khalilan Ali adalah orang yang pertama yang memberikan landasan bagi Adwali dalam tiga hal yaitu bentukan kata benda, kata kerja dan imbuhan, dan Abu Aswad Adwali berhasil mengerjakan perintah Ali, akan tetapi perkembangan tata bahasa Arab berjalan cukup lambat serta memperlihatkan adanya pengaruh Yunani. Kepeloporan Ad-duwali diikuti oleh Khalil Bin Ahmad seorang ulama Basyrah yang meninggal tahun 786. Khalil inilah yang pertama kali menyusun kamus bahasa Arab kitab Al-'AIN. Dan muridnya dari Persia Siawaih (wafat 793) menyusun buku teks sistematis pertama tentang tata bahasa Arab, yang dikenal dengan sebutan al-kitab (Buku), yang sejak saat itu telah menjadi landasan bagi kajian penting bahasa. Kajian bahasa arab menjadi suatu keniscahyaan untuk mempelajari dan memahami alquran yang berbahasa arab . pada gilirannya kajian alquran dan penafsirannya telah melahirkan dua ilmu kembar yaitu filologi dan lexiologi dan juga literatur yang khas Islam yaitu ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainya.[8]

Bani Umayyah berusaha untuk mempertahankan kemurnian bangsa Arab. Mereka berusaha untuk meningkatkan derajat bangsa Arab sebagai bangsa penguasa diantara bangsa lain yang dikuasai. Krena kefanatikannya kepada bangsa Arab khalifah Abdul Malik bin Marwan mewajibkan bangsa Arab menjdi bangsa resmi Negara sehingga semua perintah dan peraturan serta komunikasi secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya bahasa Arab dipelajari orang. Tumbuhlah ilmu Qaw'id  dan ilmu lain untuk mempelajari bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa resmi di banyak Negara sampai saat ini : Irak, Siria, mesir, Libanon, Libia, Tuinisia, Aljazair, Maroko, disamping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab, dan sekitarnya.
Berikut ini adalah sedikit ringkasan tentang perkembangan ilmu nahwu dari masa ke masa. Perkembangan ilmu nahwu dapat diruntut menjadi tiga periode:
1. Periode Perintisan dan Penumbuhan (Periode Bashrah)
Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad ke satu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.
2. Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)
Periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al-Kisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.
3. Periode Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)
Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.
Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol), lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini. [selesai][9].

Jadi dalam sejarah perkembangan bahasa Arab, terdiri dari beberapa priode, antara lain :

a.       Priode Jahiliyah. Priode ini munculnya nilai-nilai standarisari pembentukan bahasa arab fusha, dengan adanya beberapa kegiatan penting yang telah menjadi tradisi masyarakat Makah . Kegiatan tersebut berupa festifal syair-syair arab yang diadakan di pasar Ukaz, Majanah, Zul Majah. yang akhirnya mendorong tersiar dan meluasnya bahasa arab, yang pada akhirnya kegiatan tersebut dapat membentuk stsndarisasi bahasa arab fusha dan kesusasteraannya.

b.      Periode Permulaan Islam. Turunnya Al – Quran dengan membawa kosa kata baru dengan jumlah yang sangat luar biasa banyaknya menjadikan bahasa Arab sebagai suatu bahasa yang telah sempurma baik dalam mufradat, makna, gramatikal dan ilmu –ilmu lainnya. Adanya perluasan wilayah-wilayah kekuasaan Islam sampai berdirinya daulah umayah . Setelah berkembang kekuasaan Islam, maka orang-orang Islam arab pindah ke negeri baru, sampai masa Khulafaa Al-Al-Rasyidiin.

c.       Priode bani Umayah. Terjadinya percampuran orang-orang arab dengan penduduk asli akibat adanya perluasan wilayah Islam. Adanya upaya-upaya orang arab untuk menyebarkan bahasa arab ke wilayah melalui akspansi yang beradab. Melakukan arabisasi dalam berbagai kehidupan, sehingga penduduk asli mempelajari bahasa arab sebagai bahasa agama dan pergaulan.

d.      Priode bani Abasiyah. Pemerintahan Abasiyas berkeyakinan bahwa kejayaan pemerintahannya dapat bertahan bila bergantung kepada kemajuan agama Islam dan bahasa arab, kemajuan agama Islam dipertahankan dengan cara melaksanakan kegiatan pembedahan Al-Quran terhadap cabang-cabang disiplin ilmu pengetahuan baik ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan lainnya. Bahasa Arab Badwi yang bersifat alamiah ini tetap dipertahankan dan dipandang sebagai bahasa yang bermutu tinggi dan murni yang harus dikuasai oleh putra-putra bani Abas. Pada abad ke empat H bahasa arab fusha sudah menjadi bahasa tulisan untuk keperluan administrasi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan bahas Arab mulai dipelajari melalui buku-buku ,sehingga bahasa fusha berkembang dan meluas.

e.       Priode ke lima. Sesudah abad ke 5 H bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa politik dan adminisrasi pemerintahan, tetapi hanya menjadi bahasa agama. Hal ini terjadi setelah dunia arab terpecah dan diperintah oleh penguasa politik non arab “ Bani Saljuk” yang mendeklarasikan bahasa Persia sebagai bahasa resmi negara Islam dibagian timur, sementara Turki Usmani yang menguasai dunia arab yang lainnya mendeklarasikan bawwa bahasa Turki sebagai bahasa administrasi pemerintahan. Kejak saat itu sampai abad ke7 H bahasa Arab semakin terdesak.

f.       Priode bahasa arab di zaman baru. Bahasa arab bangkit kembali yang dilandasi adanya upaya-upaya pengembangan dari kaum intelektual Mesir yang mendapat pengaruh dari golongan intelektual Eropa yang datang bersama serbuan Napoleon.
    1. Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar disekolah. Waktu-waktu perkuliahan disampaikan dengan bahasa arab.
    2. Munculnya gerakan menghidupkan warisan budaya lama dan menghidupkan penggunaan kosakata asli yang berasal dari bahasa fusha.
    3. Adanya gerakan yang yang telah berhasil mendorang penerbit dan percetakan dinegara-negara arab untuk mencetak kembali buku-buku sastra arab dari segala zaman dalam jumlah yang sangat besar dan berhasil pula menerbitkan buku-buku dan kamus bahasa arab.












PENUTUP
A.    Kesimpulan
Khalifah Khulafa’ur Rasyidin (Abu Bakar, Umar inb Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali Bin Abi Thalib) merupakan khalifah pengganti Rasulullah Muhammad. Dengan semangat untuk menyebarkan Islam mereka berusaha keras dengan menyerang daerah-daerah yang tidak mau masuk Islam.
Walaupun menghadapi rintangan yang sangat berat namun semangat mereka tidak pernah hilang. Justru dengan adanya rintangan itulah umat Islam menjadi lebih bersemangat dalam menyebarkan agama Islam. Penyebaran Islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin ini bergerak di berbagai bidang, baik dari segi Kekuasaan, Politik, Ekonomi maupun Pendidikan.
Sementara sebagai bukti keberhasilan dibidang pendidikan pada masa Khalifah Khulafa’ur Rasyidin adalah adanya Mushaf Al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani, adanya Ilmu Nahwu yang dipeuntukkan orang-orang Islam selain Arab, dan adanya Majlis Khalifah yang digunakan untuk Belajar Umat Islam.
B.     Saran

Kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, dan terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, masukan, perbaikan, serta kritikan dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang
C.    Komentar

Dalam makalah ini dibahas tentang perkembangan bahasa Arab dimasa Rasulullah SAW, sahabat, dan tabi’in. Masa Rasulullah SAW Berlangsung dari tahun 611M-634M, dan masa sahabat tahun 634M-750M, dan masa tabi’in 750M-1258M. Pemakalah menyamakan masa tabi’in itu dengan masa khalifah Umayyah, sebagaimana diketahui bahwa masa umayyah adalah masa kebanyakan tabi’in walaupun ada tabi’tabi’in disana, pemakalah beranggapan bahwa tidak mungkin untuk memisahkan atau membagi-bagi kekhalifahan Umayyah menjadi masa tabi’in dan masa tibi’tabi’in karena hal ini akan mempengaruhi dalam penggambaran perkembangan bahasa Arab itu sendiri, dengan alasan ini maka pemakalah menjadikan msa khalifah umayyah sebagai  perkembangan bahasa Arab dimasa tabi’in.
Dalam makalah ini juga taidak dimasukkan perkembangan dan pembukuan Al-Quran karena menurut pemakalah walaupun bahasa Arab itu berhubungan erat dengan Al-Quran atau bisa dikatakan tidak bisa dipisahkan satu dan lainnya akan tetapi jika dimasukkan perkembangan dan pembukuan Al-Quran akan terjdi ketidak fokusan dalam pembahasan perkembangan bahasa Arab karena adisana akan muncul ahli-ahli tafsir dan yang berhubungan dengan ilmu Al-Quran itu sendiri.
Sebenarnya pendidikan pada masa Rasulullah sampai pada masa Sahabat, pendidikan dilakukan secara langsung (tampa disengaja) melalui interaksi dan komunikasi antara Rasulullah dengan para sahabatnya, sedangkan pada masa Tabi’in sudah ada kutab. Dan pada masa ini pendidikan juga berlangsung dimesjid-mesjid yang tersebar diseluruh pelosok negeri.







[1] جريجى زيدان، تاريخ آداب اللغة العربية، بيروت: دار الفكر. ص. 202-207
[2] Zuhairini dkk, sejarah pendidikan Islam, Jakarta: bumi aksara, 1992. H. 68
[3] Ibit h. 31
[5] http://iqbal1.wordpress.com/category/ilmu-nahwu-sharaf-alat/
[7] Philip K.Hitti, History Of The Arabs, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2005, h.270-271
[8] Ibid, h. 301-302

Tidak ada komentar:

Posting Komentar