Minggu, 31 Mei 2015

SEJARAH SINGKAT PERADABAN ISLAM DI TURKI UTSMANI




A. Asal Mula Kerajaan Turki Usmani
Kerajaan Turki usmani didirikan oleh bangsa pengembara Turki dari kabilah Orguz yang mendiami daerah Asia tengah atau daerah utara Cina. Mereka masuk islam sekitar abad ke-9 atau ke-10. Pada abad ke-13, di karenakan adanya tekanan Bangsa Mongol, atas perintah kepala kabilah Sulaiman Syah, sejumlah kira-kira 400 kepala keluarga yang di pimpin oleh putranya Ertoghul mengungsi ke saudara mereka Turki Saljuk yang berpusat di Konya Anatolia daerah dataran tinggi.[1]
Asia Kecil, dan merekapun mengabdikan diri kepada Sultan Turki Saljuk Alauddin II yang kebetulan sedang berperang melawan kemaharajaan Romawi Timur Bizantim. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin II dapat meraih kemenangan dan Sultan menghadiahkan untuk mereka sebidang tanah di Asia kecil, yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak saat itu merekapun membangun daerahnya dan menjadikan Syukud sebagai ibu kota.
Pada tahun 1289 M Erthoghul meninggal, digantikan oleh putranya Usman sebagai penerus kepemimpinan yang Sebagaimana ayahnya Usman juga banyak berjasa kepada sultan . Kemenangan dalam setiap pertempuran banyak di raih Usman sehingga Sultan pun semakin bersimpati dan banyak memberi hak istimewa pada Usman. Hingga pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang dan mengakibatkan Sultan Alauddin II terbunuh dengan tanpa meninggalkan putra sebagai pewaris tahta.[2]
 Sebab itu Usman pun memproklamirkan kemerdekaan sebagai Padisyah Al Usman dalam kesultanan Usmani. Dalam kepemimpinannya, Kerajaan semakin luas dan kuat sehingga dapat menduduki benteng-benteng Bizantium dan menaklukan kota Broessa yang pada tahun 1326 M menjadi ibu kota kerajaan.[3]

B.  Periodisasi Sultan Dinasti Turki Utsmani
Raja-Raja Turki Utsmani bergelar sultan dan khalifah sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan duniawi sedangkan khalifah berkuasa di bidang agama atau spiritual. Mereka mendapatkan kekuasaan secara turun  temurun, walau tidak harus dari putra pertama. Bahkan dapat diwariskan kepada keluarganya.[4]
Khalifah bani Utsmaniyah tercatat memiliki kurang lebih 38 khalifah.  Adapun penguasa-penguasa/khalifah pada pada era turki utsmani adalah sebagai berikut :
1.      Usman I (Padi syah) (1299)
2.      Urkhan (1326)
3.      Murad I (1359)
4.      Bayazid I (1389-1401)
5.      Muhammad I (1403) (penguasa tunggal (1413)
6.      Sulayman (1403-1410)
7.      Musa (1410-1413)
8.      Murad II (1421)
9.      Muhammad II (1451)
10.  Bayazid II (1481)
11.  Salim I (1512)
12.  Sulayman I (1520)
13.  Salim II (1566)
14.  Murad III (1574)
15.  Muhammad III (1595)
16.  Ahmad I (1603)
17.  Musthafa I (1617), (1622)
18.  Utsman II (1618)
19.  Murad IV (1623)
20.  Ibrahim (1640)
21.  Muhammad IV (1648)
22.  Sulayman II (1687)
23.  Ahmad II (1691
24.  Musthafa II (1695)
25.  Ahmad III (1703)
26.  Mahmud I (1730)
27.  Utsman III (1754)
28.  Musthafa III (1757)
29.  Abd Al-Hamid I (1774)
30.  Salim III (1789)
31.  Musthafa IV (1807)
32.  Mahmud II (1808)
33.  Abd al-Majid I (1839)
34.  Abd al-Aziz (1861)
35.  Murad V (1876)
36.  Abd al-Hamid II(1876)
37.  Muhammad V Rasyad (1909)
38.  Muhammad VI Wahid al-Din (1918-1922).[5]
Dalam sekian lama kekuasaannya, yakni sekitar 625 tahun, tidak kurang dari 38 sultan. Dari 38 sultan yang pernah memerintah Turki Utsmani, Syafiq A. Mughni membaginya ke dalam lima periode:[6]
1.      Periode pertama (1229- 1402 M). Periode ini dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan Timur Lank. sultan-sultan yang memimpin pada periode ini adalah Utsman I, Orkhan, Murad I, dan Bayazid I.
2.      Periode kedua (1402-1556 M). Periode ini ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai pada ekspansinya yang terbesar khususnya pada masa Sultan Salim I putra sultan Bayazid II yang berhasil menguasai Afrika Utara, Syiria, dan Mesir yang pada waktu itu Mesir diperintah oleh kaum Mamluk yang dipimpin oleh al Mutawakkil Ala Allah pada 1517 M. Sultan-sultan yang memimpin pada periode ini adalah Muhammad I, Murad II, Muhammad II, Bayazid II, Salim I dan Sulaiman I Al Qanuni.
Pada periode ini Dinasti Turki Utsmani mencapai masa keemasannnya pada masa pemerintahan Sulaiman I Al Qanuni. Wilayahnya meliputi Daratan Eropa hingga ustria, Mesir, Afrika Utara, Al Jazair, Asia hingga ke Persia; serta melingkupi Lautan Hindia, Laut Arabia, Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Ia dijuluki Al Qanuni karena memberlakukan undang-undang dinegerinya. Orang Barat menyebutnya The Magnificient (Sulaiman yang agung), karena Al Al Qanuni-lah yang menyebut dirinya sultan dari segala sultan.
3.      Periode ketiga (1556-1699M). Periode ini ditandai dengan kemampuan dalam mempertahankan wilayahnya karena masalah perang yang terus menerus terjadi karena alasan domestik, di samping juga gempuran dari daerah luar. Sultan-Sultan yang memimpin pada periode ini adalah: Salim II, Murad III, Muhammad III, Ahmad I, Mustafa I, Utsman II, Mustafa I (yang keduakalinya), Muarad IV, Ibrahim I, Muhammad IV, Sulaiman III, Ahmad II, dan Mustafa II
4.      Periode keempat (1699-1839 M). Periode ini ditandai dengan bersurutnya kekuatan kerajaan dan terpecahnya wilayah di tangan para penguasa wilayah. Sultan-sultannya adalah sebagai berikut: Ahmad III, Mahmud I, Utsman III, Mustafa III, Abdul Hamid I, Salim III, Mustafa IV, dan Mahmud II..
5.      Periode kelima (1839-1922 M). Periode ini ditandai oleh kebangkitan kultural dan administratif dari negara di bawah pengaruh ide-ide Barat. Sultannya adalah Abdul Majid I, Abdul Aziz, Murad V, Abdul Hamid II, Muhammad V, Muhammad VI, dan Abdul Majid II. Sultan sebagaimana yang tersebut terahir hanya bergelar khalifah, tanpa sultan yang akhirnya diturunkan pula dari jabatan khalifah..[7]
Adapun wilayah kekuasaan era Turki Utsmani dapat kita lihat dalam gambar berikut.

Gambar 1
C. Kemajuan Dan Perkembangan Kerajaan Turki Usmani
1. Bidang Kemiliteran Dan Pemerintahan
Kemajuan bidang kemiliterannya adalah seperti keberanian, keterampilan, ketangguhan dan kekuatan militer yang dimiliki kerajaan Turki Usmani yang sanggup berperang kapan dan di mana saja. Kekuatan militer Turki Usmani terorganisir ketika kontak senjata dengan Eropa baik taktik maupun strategi.
Pembaharuan organisasi militer oleh Orkhan dengan mengadakan perombakan dalam keanggotaan dan juga memutasi personil-personil pimpinan. Bangsa-bangsa non Turki dijadikan anggota, anak-anak Kristen dibimbing secara Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini berhasil dengan terbentuknya pasukan Jenissari atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang berhasil menaklukkan negeri-negeri non Muslim.
Ada juga tentara kaum feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat yaitu tentara Thaujiah. Angkatan Laut pun juga dibenahi, yang pada tahun ke-16 AL Turki mencapai puncak kejayaannya dan berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya.
Selain bidang militer, tercipta juga jaringan pemerintahan yang teratur. Dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh shadr al-a'zham (perdana menteri) yang membawahi pasya (gubernur), al-Zanaziq atau al-'alawiyah (bupati).
Untuk mengatur urusan pemerintahan negara, pada masa Sulaiman I disusun kitab undang-undang (qanun) yang diberi nama Multaqa al-Abhur.

2. Bidang Ilmu Pengetahuan Dan Budaya
Kebudayaan Turki Usmani merupakan perpaduan bermacam-macam kebudayaan. Ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja, mereka banyak mengambil kebudayaan Persia. Organisasi pemerintahan dan kemiliteran dari kebudayaan Bizantium. Prinsip-prinsip ekonomi, sosial dan kemasyarakatan, keilmuan dan huruf menyerap dari bangsa Arab.
Karena mereka lebih memfokuskan ke bidang militer, maka bidang keilmuan tidak begitu menonjol, karena itu Turki Usmani tidak pernah ditemukan ilmuwan terkemuka. Namun demikian, mereka lebih berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam, seperti Mesjid Al-Muhammadi atau Mesjid Jami' Sultan Muhammad Al-Fatih, Mesjid Agung Sulaiman dan Mesjid Abi Ayyub Al-Anshari. Mesjid-mesjid itu dihiasi dengan kaligrafi yang indah. Salah satu mesjid yang terkenal keindahan kaligrafinya adalah masjid yang asalnya gereja Aya Sopia.
Pada masa Sulaiman di kota-kota besar dan lainnya banyak dibangun mesjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian umum.
3. Bidang Keagamaan
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam bidang sosial dan politik. Masyarakat digolongkan berdasarkan agama. Kerajaan sangat terikat dengan syari'at sehingga fatwa ulama dijadikan hukum yang berlaku. Karena itu ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan dan masyarakat. Mufti, sebagai pejabat urusan agama tertinggi, berwenang memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa legitimasi Mufti, keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan.
Pada masa Turki Usmani, tarekat juga mengalami kemajuan, seperti tarekat Bektasyi dan Maulawi, kedua tarekat ini banyak dianut kalangan sipil dan militer. Tarekat Bektasyi mempunyai pengaruh yang amat besar di kalangan Jenissari, sedangkan tarekat Maulawi mendapat dukungan dari para penguasa dalam mengimbangi Jenissari Bektasyi.
Kajian-kajian seperti fikih, ilmu kalam, tafsir dan hadits boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. Para penguasa lebih cenderung menegakkan satu mazhab dan menekan mazhab lainnya. Sultan Abd al-Hamid II begitu fanatik terhadap aliran Asy'ariyah. Ia merasa perlu mempertahankan aliran tersebut sehingga ia memerintahkan Syekh Husein al-Jisri menulis kitab Al-Hushun al-Hamidiyah (Benteng pertahanan Abdul Hamid). Akibat kefanatikan yang berlebihan itu, maka ijtihad tidak berkembang. Ulama hanya menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya masa klasik.
Dalam bidang peradaban dan kebudayaan  kecuali dalam hal-hal yang bersifat fisik perkembangannya jauh berada di bawah kemajuan politik, maka selain banyak daerah yang melepaskan diri juga masyarakatnya tidak banyak memeluk agama Islam.[8]
D. Kemunduran Kerajaan Turki Usmani
Kemunduran Turki Usmani terjadi setelah wafatnya Sulaiman Al-Qonuni. Hal ini disebabkan karena banyaknya kekacauan yang terjadi setelah Sultan Sulaiman meninggal dunia, di antaranya perebutan kekuasaan antara putera beliau sendiri. Para pengganti Sulaiman sebagian besar orang yang lemah dan mempunyai sifat dan kepribadian yang buruk. Juga karena melemahnya semangat perjuangan prajurit Usmani yang mengakibatkan kekalahan dalam mengahadapi beberapa peperangan. Ekonomi semakin memburuk dan system pemerintahan tidak berjalan semestinya.
Selain faktor di atas, ada juga faktor-faktor yang menyebabkan kerajaan Usmani mengalami kemunduran, di antaranya adalah :
1.      Wilayah Kekuasaan yang Sangat Luas. Perluasan wilayah yang begitu cepat yang terjadi pada Kerajaan Usmani, menyebabkan pemerintahan merasa kesulitan dalam melakukan administrasi pemerintahan, terutama pasca pemerintahan Sultan Sulaiman. Sehingga administrasi pemerintahan kerajaan Usmani tidak beres. Tampaknya penguasa Turki Usmani hanya mengadakan ekspansi, dan mengabaikan penataan sistem pemerintahan. Hal ini menyebabkan wilayah-wilayah yang jauh dari pusat mudah direbut oleh musuh dan sebagian berusaha melepaskan diri.
2.      Heterogenitas Penduduk. Sebagai kerajaan besar, yang merupakan hasil ekspansi dari berbagai kerajaan, mencakup Asia kecil, Armenia, Irak, Siria dan negara lain, maka di kerajaan Turki terjadi heterogenitas penduduk. Dari banyaknya dan beragamnya penduduk, maka jelaslah administrasi yang dibutuhkan juga harus memadai dan bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Akan tetapi kerajaan Usmani pasca Sulaiman tidak memiliki administrasi pemerintahan yang bagus ditambah lagi dengan pemimpin-pemimpin yang berkuasa sangat lemah dan mempunyai perangai yang jelek.
3.      Kelemahan para penguasa. Setelah Sultan Sulaiman wafat, maka terjadilah pergantian penguasa. Penguasa-penguasa tersebut memiliki kepribadian dan kepemimpinan yang lemah akibatnya pemerintahan menjadi kacau dan susah teratasi.
4.      Budaya Pungli. Budaya ini telah meraja lela yang mengakibatkan dekadensi moral terutama di kalangan pejabat yang sedang memperebutkan kekuasaan (jabatan).
5.      Pemberontakan Tentara Jenissari. Pemberontakan Jenissari terjadi sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1525 M, 1632 M, 1727 M dan 1826 M. Pada masa belakangan pihak Jenissari tidak lagi menerapkan prinsip seleksi dan prestasi, keberadaannya didominasi oleh keturunan dan golongan tertentu yang mengakibatkan adanya pemberontakan-pemberontakan.
6.      Merosotnya Ekonomi. Akibat peperangan yang terjadi secara terus menerus maka biaya pun semakin membengkak, sementara belanja negara pun sangat besar, sehingga perekonomian Kerajaan Turki pun merosot.
7.      Terjadinya Stagnasi dalam Lapangan Ilmu dan Teknologi. Ilmu dan Teknologi selalu berjalan beriringan sehingga keduanya sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Keraajan Usmani kurang berhasil dalam pengembagan Ilmu dan Teknologi ini karena hanya mengutamakan pengembangan militernya. Kemajuan militer yang tidak diimbangi dengan kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan Usmani tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju.[9]










BAB III
TINJAUAN PERKEMBANGAN BAHASA ARAB PADA ERA TURKI UTSMANI

Kehancuran kota Baghdad, menyebabkan kehancurannya pusat ilmu pengetahuan umat Islam. penyerbuan tentara Holakokan ke Baghdad menyebabkan banyaknya para ulama dan penyair yang lari ke Syam dan Cairo, maka pada akhirnya kedua kota ini. menjadi pusat Islam dan bahasa Arab.
Tidak ada aktifitas intelektual pada tingkatan yang cukup tinggi yang diharapkan dapat muncul dibawah kondisi politik, social, dan ekonomi yang berlangsung di Negara arab dibawah kekuasaan Turki Utsmani. Bahkan sumber kejahatan semakin berurat akar. Kecemerlangan kreativitas telah pudar jauh sebelum kemuculan penguasa Turki.[10]
Dari uraian ini, dapat dikatakan bahasa arab tidak mengalami perkembangan, bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran jika dibandingkan dengan era abasiah yang terkenal dengan era keemasan dalam hal keilmuan, di mana pada masa itu banyak lahir tokoh-tokoh kebahasaan dan kesusastraan.
Hal ini disebabkan, seperti yang telah dipaparkan diatas, era turki utsmani lebih berkonsentrasi pada bidang kemiliteran dan kenegaraan serta perluasan wilayah. Namun bukan berarti tidak ada aktivitas kebahasaan sama sekali, sebagai Negara islam yang berasaskan pada al Qur’an dan al hadits yang berbahasa Arab tentu tidak terlepas dari bahasa arab.
Para penulis pada periode ini biasanya- dan umumnya hanyalah para komentator, penyusun, dan peringkas buku. Formalism literer dan kekakuan intelektual menjadi cirri khas karya-karya mereka. Penulis turki yang menulis dalam bahasa Arab di antaranya yang paling terkenal  adalah Hajji Khalfah (W. 1657). Dikenal oleh orang Turki dengan sebutan Katib Chelebi (Penulis Muda), salah satu karyanya berjudul Kasyf al-Zhunun ‘an al-As’ami wa al-Funun,  merupakan salah satu bibliografi dan risalah ensiklopedis yang sangat berharga dalam bahasa arab.[11]
Aktivitas sastra di Mesir diwakili ‘Abdul al-Wahhab al-Sya’rani (W. 1565). Seorang mistikus yang karyanya tidak hanya meliputi bidang mistisme tapi juga tentang ilmu al Qur’an dan linguistic, sebagian dari karya-karyanya yang terkenal  berjudul al thobaqot al Kubra.  Mesir merupakan arena aktivitas ilmiah seorang ahli leksikografi kondang, al Syayid Murtadha ak Zabidi, yang lahir pada 1732 di barat laut india dengan karyanya Taj al Arus  dan juga menulis sebuah uraian yang luas atas kitab ihya’ karya al Ghazali.[12]
Perkembangan Syair di masa ini sangat lemah. Kegairahan penyair untu mencipta jauh berkurang dari masa sebelumnya . Bait-bait syair pada masa itu hanya ditujukan untuk mendekatkan diri pada Khalik.[13]





[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hal.129
[2] Ibid, hal. 130
[3] Busman Edyar ,Ilda Hayati, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, P ustaka Asatruss , 2009) Hal.140
[5] Phillip K. Hitti, History Of The Arabs.Serambi, Jakarta , 2002, hal. 905-910
[6] Op.Cit,supriyana. Hal. 15
[7] Op.cit, Supriatna,  hal.16-17

[8] http://fadliyanur.blogspot.com/2008/02/turki-usmani.html

[9] Badri Yatim,  Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, 2008, Hal., 150-158

[10] Phillip K. Hitti, History Of The Arabs.Serambi, Jakarta , 2002, hal. 950
[11] Ibid, hal : 951
[13] Drs. H. Aminullah, MA, Perkembangan Sejarah Arab, Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab, USU,2002, hal. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar