Senin, 01 Juni 2015

ESENSI QURBAN DAN KECERDASAN SPIRITUAL


Idul Adha atau hari raya qurban yang setiap tahun dirayakan umat islam dengan menyembelih hewan ternak pilihan seharusnya tidak lagi dimaknai sebagai sebuah ritual, akan tetapi juga sebagai evaluasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
            Qurban berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar). Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984). Sedangkan menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).
            Menurut Imam Syafi’i, hukum qurban adalah sunat muakkad yang sangat dianjurkan kepada mereka yang mampu, termasuk para hujjaj (jamaah haji) yang berada di Mina. Serta umat islam yang berada di daerahnya masing-masing karena ibadah qurban adalah amalan yang sangat dicintai Allah pada hari nahr (Hari Raya). Namun sebagian ulama juga ada yang mengatakan bahwa ibadah qurban adalah wajib kepada mereka yang mampu. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah shalat kepada Allah ( Tuhanmu ) dan berkorbanlah.”
            Untuk memahami esensi ibadah kuraban, bisa kita tinjau dari aspek historisnya. Dalam Al Quran disebutkan bahwa pengurbanan pertama yang dilakukan adalah pengurbanan Habil dan Qabil (Qs. Al Ma’idah ayat 27). Ketika itu keduanya diminta berkurban harta yang dimiliki untuk menentukan pendapat siapa yang paling benar diantara mereka. Sebelumnya, Nabi Adam a.s akan menikahkan kedua putranya tersebut secara silang; bukan dengan saudara kembarnya. Namun Qabil menolak keputusan tersebut sementara Habil menerimanya. Akhirnya mereka diminta untuk berqurban. Qabil mengurbankan sisa-sisa hasil pertanian, sedangkan Habil mengurbankan ternak terbaiknya. Akhirnya pengurbanan habil yang didasari dengan ketaatan dan keikhlasan itulah yang diterima oleh Allah SWT.
            Berdasarkan kisah Habil dan Qabil tentang qurban yang diterima oleh Allah, menunjukan bahwa ketaatan dan keikhlasan adalah hal yang paling utama dalam beribadah.
            Sejarah yang lebih fenomenal adalah kisah Nabi Ibrahim as dan putranya Isma’il. Nabi Ibrahim as tidak pernah berhenti berdoa untuk memiliki seorang anak yang shaleh. Doa ini Allah abadikan dalam Al Quran pada surat As saffat ayat 100. Hampir seabad usia Nabi Ibrahim –menurut Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar ketika itu usia Nabi Ibrahim adalah 86 tahun–  Barulah Allah mengabulkan keinginannya untuk memiliki seorang putra melalui rahim  Siti hajar. Putra itu diberi nama Isma’il. 
Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya, Ismail as. Perintah ini tidak direspon oleh nabi Ibrahim dengan gegabah. Nabi Ibrahim terlebih dulu mengatakan kepada putranya “Wahai putraku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu” Isma’ilpun tidak menjawabnya dengan ego, namun menjawabnya dengan tegas” Wahai Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan (Tuhan) kepada ayah, dan Insya Allah ayah akan mendapati aku dalam golongan orang yang sabar. Tentu ini merupakan sebuah ujian yang berat bagi seorang ayah. Namun karena ketaatan dan kecintaan ayah dan anak itu kepada Allah, maka Nabi Ibrahim dan Isma’il tetap  melaksanakan perintah Allah walaupun ternyata  pada akhirnya Allah mengganti Isma’il dengan seekor domba saat disembelih.
Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian dari Allah, sekaligus perjuangan maha berat seorang nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat jibil untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan  ketakwaan, keikhlasan dan kepasrahan seorang Ibrahim dan Ismail pada perintah sang pencipta.
            Dengan memahami nilai historis ibadah qurban,  kita diharapkan mampu memetik esensi sesungguhnya dari ibadah tersebut yang menguji keikhlasan hati dalam beribadah dan kepedulian sosial dalam setiap aktivitas. Jika pemahaman terhadap ibadah yang diperintahkan Allah dilakukan secara komprehensif, maka setiap ibadah tersebut akan pararel dengan kehidupan sosial; semakin tinggi ketaatan hamba kepada perintah Allah berupa ibadah mahdhah, maka semakin berkualitas pula kehidupan masyarakat di sekitarnya
            Esensi qurban yang disyariatkan di bulan dzulhijah sebagai bulan terakhir dari kalender hijriyah ini, bukan sekedar momentum untuk membagi-bagikan daging kepada fakir miskin, tetapi dibalik itu semua ada nilai-nilai spiritual yang sangat berharga bagi seluruh umat manusia.

Bagi Ali Syari’ati (1997), ritual qurban bukan hanya bermakna bagaiman amanusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akantetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Sementara bagi Jalaludin Rahmat (1995), ibadah qurban mencerminkan dengan tegas pesan solidaritas sosial Islam, mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita yang kekurangan.

            Dengan qurban, kita diminta untuk peka terhadap lingkungan sekitar, peka terhadap kaum proletar yang masih banyak terdapat di sekeliling kita, peka terhadap situasi Negara kita yang semakin sering bermunculan berita mencengangkan sehingga  menambah pengap iklim yang pada dasarnya sudah panas dan pengap.

            Dengan qurban pula kita diminta untuk dapat memanifestasikan rasa syukur dan puncak taqwa. Ia menjadi tanda kembalinya manusia kepada Allah SWT setelah menghadapi berbagai macam ujian berat. Qurban disyariatkan untuk mengingatkan manusia bahwa jalan menuju kebahagiaan yang kekal memerlukan pengorbanan berat. Tentu saja yang diqurbankan bukanlah manusia, bukan pula nili-nilai kemanusiaan, tetapi hewan sebagai pertanda bahwa pengorbanan  harus ditunaikan dan bahwa yang dikorbankan adalah sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia seperti sifat rakus, tamak, ego, mengabaikan norma, nilai dan sebagainya.  Secara harfiyah, kesempurnaan ibadah qurban ini bermakna membunuh segala sifat kebinatangan yang terdapat dalam diri manusia.

            Jika nabi Ibrahim memiliki Isma’il dan ia sangat mencintainya, lalu bagaimana dengan kita? Isma’il merupakan simbol kecintaan Ibrahim selain kecintaanya kepada Allah. Artinya, kitapun sebenarnya mempunyai “isma’il-isma’il” dalam kehidupan ini. Ismail itu dapat berupa uang, rumah mewah, mobil, perusahaan, jabatan, anak, suami atau isteri, atau juga terhadap diri kita sendiri dan segala sesuatu yang menjadikan kecintaan kita di dunia ini, selain kecintaan kita kepada Allah SWT. Sudahkah kita mengorbankan “isma’il-isma’il” kita tersebut untuk Allah dengan ikhlas, sabar dan tawakal? Cara mengorbankannya bukanlah dengan menyembelih atau memusnahkan sebagaimana Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya, Isma’il. Namun mengorbankan “isma’il-isma’il” yang dimaksud adalah dengan menggunakannya untuk kepentingan agama Allah dan berdampak positif terhadap kehidupan sosial.

            Maka betapa wibawanya orang yang sudi mengunjungi saudara-saudara kita yang kekurangan dan bertanya tentang perih kehidupan yang mereka rasakan, lalu membagi sebagian hartanya dengan ikhlas dan diam-diam. Apalagi jika seorang pemimpin yang rela merogoh pundi-pundinya sendiri di saat mereka terhimpit kesulitan. Kunjungan itu membuat mereka merasa hidup ini masih ada yang memimpin, di bawah hujan kesulitan sehari-hari setidaknya tetap terasa masih ada payung yang melindungi nasib mereka.


            Semoga momentum idul Adha kali ini dapat merefleksi kita dan lebih membukakan lagi telinga batin kita yang mungkin mulai tumpul, atau mungkin kecerdasan spiritual kita yang mulai terganggu. Agar bumi yang kita singgahi ini, yang airnya kita minum bersama-sama, semakin nyaman dan enak dihuni. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar